14. Kuda Hitam

350 28 0
                                    

Vote sebelum baca!

~•~

Kuliah kamis ini tetap masuk. Di papan tulis—dengan tulisan besar—ditulis oleh sekretaris "Hari ini dosen sedang menghadiri pertemuan di Jayapura, Papua". Ketika Tima baru saja masuk, senyumnya terhunus bagai panah yang menembus awan. Benarkah ini? Jika benar, mungkinkah akan diberikan tugas saja?

"Tima, ini dosen beneran enggak masuk apa hanya prank seperti biasa?" tanya Noor. Mimiknya agak khawatir, disusul suara tegukan saliva.

Tima hanya menggeleng.

"Kalau benar, hari ini aku mau cerita!" terang Noor.

Tima menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ha? Iya iya. Kebetulan aku juga mau cerita!"

"Bagaimana kalau kita ke lobi saja? Lumayan sepi di sana. Takut banyak yang dengar!" anjur Noor.

Tima hanya mengangguk, kemudian menggelayuti lengan Noor, membawanya cepat pergi dari kelas. Lumayan, jam kosong.

Tak sampai 20 meter, Tima kini duduk bersama Noor saling berhadapan. Noor merapatkan dahinya. Matanya pun menyempit, menatap Tima tajam. Seperti ada hal serius yang ingin ia ceritakan.

"Apa kau bermimpi aneh semalam?" tanya Tima seakan sudah tahu topik apa yang akan dibahas.

Noor mengangguk. "Aku bermimpi aneh, Tima."

Tima menarik napas panjang. Sudah kuduga. Aku tahu apa yang terjadi!

"Ka-kau bermimpi apa?" tanya Tima kemudian mengerutkan dahinya. Kepalanya agak maju menatap serius sahabatnya.

"Selamalam, aku melihat kuda itu. Kuda hitam. Kuda itu full hitam seakan-akan tak terlihat dan tertutup kabut malam. Samar-samar. Hanya tampak matanya saja yang bersinar. Merah terang. Seakan menatapku. Dibawa oleh seorang wanita. Tubuhnya agak gemuk. Sama seperti kuda itu, wajahnya samar. Diikat pada sebuah pagar coklat. Sampai sekarang aku tak tahu rumah siapa itu? Siapa yang tega mengikat kuda hitam itu? Mana serem lagi!"

Noor tak dapat menahan buliran air yang menetes dari dahinya. Beberapa kali ia mengusap dahinya itu yang basah. Tremor. Menyeramkan. Seperti trauma. Noor tak pernah menangani kasus sampai berderai-derai keringat seperti ini. Tandanya ada energi negatif yang sangat kuat kontak dengan jiwa Noor yang memiliki kemampuan lebih.

"Noor? Kuda itu? Aku jadi ingat sosok andong pocong yang sesekali lewat sini. Entahlah, ibuku pernah bercerita bahwa sosok itu sering terlihat dengan kuda hitamnya," terang Tima, kemudian kepalanya agak mundur sedikit.

Tima mengusap tengkuknya, kemudian meneguk salivanya. "Mimpimu aneh Noor!"

Noor dibuat geleng-geleng kepala. "Aku takut kita akan ma—"

Tima mendesis. "Sssttttss! Jangan ngomong gitu! Kita akan baik-baik aja!"

"Tapi kita sudah terlalu jauh, Tima? Apa kita mundur saja dari desa itu? Kau tak pernah tahu akibatnya! Firasatku tak enak," jelas Noor.

"Kita sudah sejauh ini, tapi kamu mau berhenti? Apa aku tak salah dengar?" Tima mempertanyakan semua.

Noor membuang napas. "Kau terlalu pemberani, Tima. Namun kau tak tahu akibat yang akan timbul nanti."

"Akibatnya, desa itu akan makmur kembali. Teror akan hilang. Otomatis kita akan membantu orang banyak!" debat Tima.

"Baiklah-baiklah, Tima! Aku ingin bercerita satu hal lagi! Semoga cerita ini dapat mengubah pola pikirmu itu!" jawab Noor.

Tima menghela berat.

"Aku melihat dua makam aneh dimimpiku. Satu laki-laki dan satu perempuan. Ya, sepertinya begitu. Di sebuah rumah. Entah rumah bagian mana. Tempat itu adalah tempat kuda yang kuceritakan tadi diikat. Aku mengingat namanya dengan jelas. Mereka adalah Herry dan Lila," imbuh Noor.

Tima mendelik, "Herry? Lila? Nama-nama itu adalah nama orang yang ada di mimpiku semalam. Mereka datang, lalu ...."

Tima tak sanggup bercerita. Paru-parunya menguap-uap. Napasnya terengah. Tampak antusiasme membara di matanya.

"Tenang Tima, aku akan mendengarkanmu!" cetus Noor.

"Aku melihat mereka saling meluapkan hubungan mereka. Hubungan cinta mereka. Herry memberikan kejutan kepada Lila dan Lila menyukainya. Sampai akhirnya ...."

Tima menopang kepalanya. Nanar.

"Lanjutkan Tima ...," pinta Noor.

Air mata Tima mengalir membasahi pipinya. "Mereka melakukan hubungan suami istri di sana ...."

"A-aku tak habis pikir. Mereka adalah kekasih dan mungkin ini pertama kalinya mereka berpacaran. Mengapa dengan berani mereka melakukan itu?" imbuhnya.

Noor berdiri, berjalan ke arah Tima. Noor mengusap pundak temannya itu. "Kamu pasti patah dengan semua ini. Tima, aku akan bantu kamu! Aku tak akan mengundurkan diri dari misi ini. Sebahaya apapun, aku ingin membantumu! Aku akan bersedia!"

~*~

Bintang masih berkelip. Bintang di atas cukup jadi pertanda bahwa hari sudah gelap. Udara justru lebih panas dari biasanya. Anehnya angin di luar masih kencang. Bagaimana daerah ini bisa menjadi panas, bukanya dingin?

Tima keluar menghirup udara segar. Duduk di kursi kayu sambil bersila. Seperti anak laki-laki. Mengaduk kopi hitamnya sambil menyeruput sedikit demi sedikit.

Gonggongan anjing itu cukup mengejutkan Tima. Ya, baru saja Tima mendengar suara itu. Selama di sini, Tima tak tahu ada yang memelihara anjing. Bahkan anjing itu hanya terdengar suaranya saja, tetapi tak muncul wujudnya. Betapa terkejutnya Tima waktu itu.

Segera ia berdiri. Meletakkan secangkir kopi itu di atas kursi tempat ia duduk tadi. Perlahan ia menyusuri indekos. Melihat ke kanan dan kiri. Hanya terdengar sayup-sayup embusan angin. Gonggongan anjing itu tak terdengar lagi.

Suara kuda? Dari mana suara itu berasal? Tima mendengar suara tapak kaki kuda berjalan mendekat. Suaranya semakin lama semakin dekat. Tima heran, mengapa setelah suara anjing itu hilang, kini ia malah mendengar suara tapak kaki kuda. Begitu juga dengan suara pekikan kuda yang mulai terdengar jelas.

Tima meneguk salivanya. Ia mengangkat segelas kopi yang ditaruh di kursi tadi, kemudian duduk kembali. Berusaha menghiraukan suara-suara aneh itu. Namun Tima tak dapat menyangkalnya karena semakin lama suara itu semakin keras. Anehnya, suara itu mengarah kepadanya saat ini. Dalam hati Tima berpikir, apakah hanya aku yang mendengar suara tapak kaki kuda itu?

Seekor kuda hitam mulai muncul. Berjalan mendekati indekosnya. Mata Tima mendelik. Tak dapat berkedip walau sedetik. Tima merasa dejavu. Seperti pernah mendengar kuda seperti itu sebelumnya. Benar saja, itu adalah kuda yang baru saja diceritakan Noor tadi pagi. Kuda bermata merah, seluruh badannya hitam, dan suaranya melengking keras.

Mati kon! (Mati aku! ). Batin Tima meronta-ronta. Ingin rasanya memanggil Noor sekarang juga, tapi takut mengganggu tidurnya karena besok adalah hari jum'at. Ngomong-ngomog hari Jum'at, berarti malam ini adalah malam jum'at.

Tima penan-pelan berdiri. Membuka pintu rumahnya yang tertutup karena angin kencang barusan. Tima membuka jendelanya. Berusaha mengintip dari dalam. Matanya tak sengaja melihat seorang wanita di sana. Ia membawa kuda itu dengan mengalungkan tali di lehernya. Anehnya kuda itu menurut saja dan tidak berontak.

Tima semakin nanar. Ia meneguk salivanya. Keringatnya sudah mendidih. Wanita gemuk itu membawa kudanya ke arah rumah yang sudah tak asing lagi. Rumah Bu Zul. Ngapain orang itu? Jangan-jangan mau apa-apain Bu Zul? Santet?

Tima tak dapat keluar. Ia hanya menunggu di dalam sambil merangkul tubuhnya yang dingin. Malam semakin malam saja. Tepat pukul 12 malam. Suara kuda itu semakin keras. Keras sekali. Seperti meminta tolong, memekik kesakitan.

Ada apa dengan kuda itu?

~*~

Bagaimana dengan part ini?
Coba komen yaa!
Vote juga!

Sidoarjo, 28 Mei 2023

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang