📙 14. Istikharah?

182 8 0
                                    

Satu Bulan Kemudian ...

Maira menautkan kerudung warna putihnya dengan peniti, ia berjalan menuju kelas madrasah diniyahnya. Maira kini terlihat semangat, walau sejatinya Maira lelah karena barua saja pulang dari kuliah.  Namun, hal itu menjadi rutinitas Maira di dalam hidupnya.

"Maira hafalan tajwidnya sampai mana?" tanya Qamaria di hadapan bangku Maira.

"Alhamdulillah hafal semua, Ning," kata Maira diakhiri dengan senyuman manis, lalu Qamaria ikut tersenyum.

"Saya tes dulu, ya. Kalau Mai bisa jawab pertanyaan saya dengan benar  semua, nanti maghrib bisa tes kelas tiga kilat ke Gus Wafa," kata Qamaria lalu tersenyum hangat, Maira mengangguk.

Maira memang diikutkan tes kilat oleh Qamaria, karena Maira sudah fasih dan hafal soal tajwid. Mengingat, pelajaran kelas 2 hanya mengenai seputar tajwid saja, jadi Maira dikatakan pantas untuk ikut di kelas 3 kilat. Maira mampu menyelesaikan kelas 2 hanya dalam satu bulan, seharusnya kelas 2 harus ditempuh dalam 1 tahun. Berhubung Maira adalah anak yang cerdas, ia bisa menyelesaikannya dalam 1 bulan.

"Maira, Laila, Alivia, Cici, Sila, Winda sama Najiya tes kelas tiga kilat nanti habis maghrib sama Gus Wafa. Saya harap kalian bisa naik ke kelas 3 kilat."

🕊🕊🕊

Maira masuk ke dalam kamar, ia mendapati Kanzha yang duduk di ranjang sedikit lesu. Ada apa dengan dia? Tidak biasanya ia sepulang diniyah wajahnya masam seperti itu, biasanya ia gembira karena bisa berjumpa dengan Gus Wafa, laki-laki idaman Kanzha sejak awal masuk pesantren.

"Assalamualaikum," kata Maira dijawab oleh Kanzha, Jeni dan Nafisah. Jeni san Nafisah adalah santri yang sekamar dengan Maira dan Kanzha, ia baru saja kembali dari pondok setelah satu bulan penuh sakit.

"Zha? Kenapa?" kata Maira sambil meletakkan buku setorannya di rak, kemudian ia duduk di samping Kanzha. Maira merangkul pundak Kanzha lalu mengelusnya teratur.

"Allah enggak izinin Kanzha jatuh cinta kali, ya? Setiap Kanzha udah mati rasa dan jatuh cinta sama seseorang, pasti seseorang itu pergi dari kehidupan Kanzha. Sebenarnya ini takdir atau memang Kanzha yang berlebihan aja menanggapinya," kata Kanzha dengan suara serak, ia sedang menahan air mata sekarang.

"Kenapa? Gus Wafa nyakitin kamu?" kata Maira dengan nada pelan, ia memang tau kalau Kanzha memang mencintai Gus Wafa sedari lama. Kanzha bercerita sendiri kepada Maira secara terang-terangan soal perasaannya itu.

"Gus Wafa enggak pernah yang namanya nyakitin Kanzha, Gus Wafa juga enggak pernah anggap Kanzha ada di hidupnya, Gus Wafa sampai kapanpun enggak akan pernah balas perasaan Kanzha. Mungkin, ya Gus Wafa udah punya pilihan," kata Kanzha dengan lirih, menatap lurus ke depan. Matanya sudah berkaca-kaca sekarang.

"Kata Gus Wafa di pengajiannya kemarin di musholla, kekuatan doa itu memang ada dan nyata. Tapi sekarang apa? Kanzha setiap doa gak pernah absen sebut nama Gus Wafa,  Kanzha minta dia bisa menjadi jodoh Kanzha. Kalau Kanzha tau mencintai Gus Wafa sesakit ini, Kanzha dari awal gak akan mencintai Gus Wafa sedalam ini," kata Kanzha dengan air matanya yang luruh, Maira langsung menarik Kanzha ke dalam dekapannya. Air mata Kanzha pecah di bahu Maira.

"Jangan gitu, kamu jangan berpikir gitu. Kalau kita berusaha tapi belum ada hasilnya mungkin itu adalah benih yang ada masanya berbuah. Jangan nangis selarut ini, Zha. Aku enggak mau kamu terlarut dalam kesedihan. Ayo, jangan nangis lagi, Allah udah siapin yang terbaik buat kamu," kata Maira sambil mengelus pundak Maira teratur, lalu melepas dekapannya.

Hug Me When Halal (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang