Salju Tak Tersentuh

45 2 0
                                    

Seorang laki-laki tiga puluhan menghembus asap rokoknya yang terakhir sebelum puntung rokok dia campakkan ke tong sampah besi. Dia kaitkan kancing kemejanya yang terlepas, lalu dia tata ulang kucir rambutnya yang gondrong. Sampai di lantai tiga, dia beserta tubuh berototnya masuk ke sebuah ruangan yang tak dikunci. Tersenyum miring menatap seorang pria paruh baya tengah tergeletak di lantai dalam keadaan tertelungkup.

Sepertinya ada darah di hidungnya.

“Kasus apa lagi nih?” tanyanya pada perempuan yang sedang duduk anggun di sofa tunggal seraya mengitari pria malang itu. Di belakang perempuan itu terdapat dinding kaca yang sebagian besar ditutupi gorden.

Perempuan itu tak serta-merta menjawab. Dia perlu mengetuk tiga jarinya ke lengan sofa sebelum berkata, “Dia netesin cairan aneh ke teko sirup.”

Laki-laki gondrong itu tertawa. Kakinya berhenti dan matanya tertuju pada si perempuan. “Dan lo mikir kalo cairan itu ... obat perangsang?”

Ivanna, perempuan dengan topeng masquerade yang masih menyamarkan wajah cantiknya itu lantas membuat suara ‘klik’ pada lidahnya. Mengangguk singkat. Membuat laki-laki gondrong itu semakin terbahak-bahak.

“Well, gue nggak perlu cemas lagi soal ini karna ... yeah, lo lebih tau apa yang harus lo lakuin ke buaya-buaya ini ketimbang gue,” ujar Geri—si lelaki gondrong—sembari menyentuh lengan pria yang tergeletak menggunakan ujung sepatu kets-nya. Dia menghela napas panjang. “Kayaknya sebelum klien masuk, mereka mesti digeledah, deh. Pastinya gue nggak mau ada kejadian kayak gini lagi.”

“It’s okay,” ucap Ivanna, tersenyum tipis. “Itu bukan masalah besar. Obat perangsang nggak ada apa-apanya dibanding sepuluh kapak yang pernah ngincar kepala aku waktu kecil dulu.”

Geri tersenyum. Dia lirik jam tangannya kemudian bersiul. Menaikkan sebelah alisnya ketika wajahnya kembali mengarah pada Ivanna.

“Klien kedua bentar lagi datang.”

Meski hanya duduk anggun, Ivanna membuat damage besar hanya dengan menghela napas.

“Come on, Geri. Cucian aku lagi numpuk!”

Geri menunjuk Ivanna dengan dua telunjuknya. “Dia klien termuda dalam sejarah. Artis terkenal. Kali aja lo tertarik.”

Ivanna menatap tajam. “Geri.”

“Santai, Van. Kalo dia anak baik, apa salahnya? Udah saatnya juga lo keluar dari trauma konyol yang bikin elo terjebak dalam pekerjaan kayak gini.”

“Geri!”

Geri lantas angkat tangan. Menyeringai. “Sori.”

**

Di lain tempat, seorang pemuda sedang berjalan menunduk melewati cewek-cewek seksi yang lalu-lalang. Tudung topinya terlalu tertunduk hingga yang kelihatan dari wajahnya hanya puncak hidung mancung dan bibir sensual merah delima. Jaket hitamnya kebesaran, dan kedua tangannya bersembunyi di dalam masing-masing saku. Tubuh jangkung serta kulit putih itu sedikit menarik perhatian pekerja komersial yang dia lewati.

Cowok itu menaikkan tudung topi hitamnya sedikit untuk melihat ruangan yang sedang menjadi tujuannya. Netra hazel-nya malah menangkap seorang pria kekar tengah membawa pria paruh baya berbusana kantoran dengan darah di hidung.

“Oh, kenceng juga, ya? Gue kira lo bakal telat lima menit,” kata Geri pada cowok yang berhenti di depannya.

Cowok itu kembali menutup sebagian wajahnya dengan tudung topi. Lesung pipinya kelihatan ketika sudut bibir merah itu terangkat.

“Kamarnya di mana?”

“Tuh, dua pintu lagi.” Cowok berpakaian serba hitam itu berdeham sebelum kembali berjalan. Sebelah tangan kekar Geri lantas mencegat lengan cowok itu, berbisik, “Sesuai perjanjian, lo nyewa dia dan ngantri selama dua bulan bukan untuk ngeluarin benih. Kalo lo berani macam-macam ... lo bakal lebih babak-belur ketimbang ini Oom.”

Cowok itu menepis kasar tangan kekar Geri, mendecak pelan. Balas berbisik, “Sebelum ke sini gue udah ngeluarin sendiri, asal lo tau.”

Terenyak hingga cowok itu berlalu darinya, Geri lantas ambruk bersama pria paruh baya lalu tertawa keras hingga berguling-guling di lantai.

Sementara, cowok yang Geri tertawakan tetap berjalan menuju tujuan. Sampai di pintu yang dimaksud, cowok itu sedikit menghela napas sebelum akhirnya berani masuk. Dia merasa baik-baik saja selama di perjalanan karena dia mampu menepis khayalan dan ekspektasi tingginya. Namun, begitu pintu terbuka dan aroma lembut itu mulai menguar, sekelebat bagian-bagian tubuh mulus mulai memantik api dalam dadanya.

Cowok itu menghembus napas. Menepuk kedua pipi. Ingat, tujuannya ke sini bukan untuk hal kotor! Dia ke sini untuk berkonsultasi pada satu-satunya perempuan yang mungkin menjadi orang pertama yang tak menganggapnya gila.

Devil Behind YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang