"Ustad, di sini kamarnya. Nanti, kalau butuh apa-apa panggil saya saja ya. Assalamualaikum," kata seorang abdi ndalem bernama Ifan dengan sopan, ia berjalan mundur dari hadapan Wafa yang kini ada di ruang tamu sebuah rumah yang memang disiapkan untuk Wafa. Sampai di pintu, Ifan membalikkan badannya dan berjalan seperti biasanya.
Wafa masuk ke dalam kamar, menata beberapa pakaian dan barang-barangnya. Wafa mencharge handphonenya yang sedari pulang kuliah tadi kehabisan baterai. Sementara itu Wafa sempat duduk di ranjang, kemudian bangkit dan langsung ambil wudhu untuk sowan ke maqom kyai pesantren Al-Ulum yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu.
Wafa kini sudah di pesantren Al-Ulum, suasana pesantrennya memang sangat berbeda dengan pesantren At-Tahrim. Namun, Wafa terus saja mencoba beradaptasi dengan lingkungan di sini. Wafa kini berjalan menuju maqom kyai yang letaknya ada di belakang musholla, sedikit dekat dengan asrama putri. Hanya dibatasi dengan pagar tinggi warna hitam.
Untuk sowan ke maqom, memang dibagi waktu untuk santri putra dan putri, hal itu dilakukan agar tidak terjadi bentrokan. Wafa membuka pintu maqom yang dominan warna putih polos itu dengan mengucap basmalah dalam hatinya.
Bersamaan dengan itu, pintu maqom dari arah putri juga dibuka. Menunjukkan seorang bercadar warna kopi dengan gamis berwana hitam. Wafa sejenak terpaku, wanita tersebut juga sama. Sementara itu Wafa langsung buang muka dan wanita tersebut langsung menutup pintu dan pergi.
"Siapa dia? Ini, kan waktu jam sowannya laki-laki," batin Wafa.
Wafa menghilangkan pikirannya, ia kini membaca tahlil dan yasinan di maqom dengan khusyu'. Sekitar tiga puluh menit di sana, Wafa kini beranjak menuju rumahnya tadi untuk mengambil wudhu dan sholat berjamaah bersama para santri.
"Ifan, tolong kamu beri tahukan kepada pengurus asrama masa bakti sekarang supaya berkumpul di kantor pengurus, bilang sama mereka kalau ada hal yang harus dibicarakan," kata Wafa kepada Ifan dengan nada pelan. Ifan mengangguk pelan seraya tersenyum tipis.
Wafa berjalan ke musholla, kala iqamah dikumandangkan. Banyak santri putra menyambut Wafa dengan bersalaman dan mencium tangannya. Wafa seraya tersenyum tipis, sambil menyentuh pundak santri yang salim kepadanya.
"Monggo, Ustad," kata Rama dengan ta'dim sambil menunjuk pengimaman dengan jari jempolnya. Menunjukkan bahwa Rama adalah santri yang sopan.
Wafa segera mengimami sholat, ia mengerjakan gerakan-gerakan sholat dengan baik dan benar. Usai sholat Wafa memimpin wiritan sholat ashar tersebut.
"Nuhun atuh Ustad, Ifan hendak bertanya," kata Ifan setelah menghidangkan kopi di hadapan Wafa yang sedang duduk klesehan di kantor pengurus.
"Iya. Tanya apa, Fan?" kata Wafa sambil mendekatkan kopi yang letaknya agak jauh darinya.
"Eh, Ustad mau minta makan berapa kali sehari? Nanti saya biar bisa konfirmasi sama mbak-mbak masak, supaya ngirim makanannya teratur," kata Ifan dengan nada suara yang rendah.
"Pagi sama sore saja, saya kalau siang makan di kampus. Oh, iya jangan lupa beri tahu yang tukang masak, kalau saya tidak elergi dengan makanan apapun, jadi tidak perlu ragu untuk mengantar makanan dengan jenis apapun," kata Wafa lalu meminum secangkir kopi yang dihidangkan Ifan.
"Baik, Ustad."
🕊🕊🕊
"Eh, ini beneran ya? Dia cucu kyai dari pesantren At-Tarhrim yang pindah tugas ke sini buat gantiin Ustad Tamim? Gak nyangka, masih mudah banget dia, Jel," kata Nomara-cucu kyai yang sering berkelahi dengan santri putri lainnya hanya karena masalah kecil.
"Ihh, udah aku bilangin dari tadi juga. Masih nanya lagi, nanya lagi. Capek aku jawabnya. Emang kenapa, sih? Heran deh sama kamu, selalu aja heboh kalau ada orang ganteng," cetus Jelita yang sedang fokus menghafal nadzomannya, karena habis ini ia harus setoran kepada Wafa yang kini duduk di meja guru dengan segala ketampanan dan kegagahannya.
"Ya, Nomara cuman mastiin aja. Kalau dia emang guru tugas dari pesantren sebelah, jadi dia dong yang kabar-kabarnya mau dijodohin sama Mbak Rara," kata Nomara dikahiri dengan menggebrak meja sedikit keras.
Semua mata kini menatap Nomara yang duduk di pojok sendiri dengan tatapan yang tidak mengenakkan. Nomara hanya memutar bola matanya malas, mengambil kitab dan menutup mukanya dengan kitab.
"Mitha Nomara Abrory," kata Wafa memanggil nama Nomara dengan tatapan yang cukup dingin. Nomara langsung panik dan memukul kepalanya sendiri pelan.
"Hafal enggak, Nom? Dari tadi suruh hafalin malah bicara aja terus. Sekarang mampus, panik," ejek Jelita yang ada di sebelahnya itu dengan sedikit terkekeh kecil.
"Huh! Masa iya abis ini aku kena hukum lagi. Semoga dia ustad yang baik dan penyayang, tidak seperti Ustad Tamim yang pol killernya," gerutu Nomara sambil berjalan ke depan, menuju letak Wafa dengan wajah sedikit takut.
"Ya kulu rojiro matal qodiri, ay ahmadu ... eh apa yaa? Ay ahmadu ... duh sulit banget sih," kata Nomara yang kini sedang duduk berhadapan dengan Nomara, mungkin jarak satu meter.
"Sulit karena kamu tidak menghafalkannya, begitu bukan?" kata Wafa unjuk gigi, Nomara langsung gelagapan. Memang benar adanya apa yang dikatakan Wafa.
"Eh, iya. Nomara sibuk ngurusin ayang, jadi enggak ada waktu," kata Nomara-gadis berumur tujuh belas tahun itu dengan sejujurnya, membuat Wafa menggelengkan kepalanya pelan.
"Btw, ustad kah yang mau dijodohin sama Mbak Rara? Iya, kan?" tanya Nomara seperti kepada menghadapi temannya sendiri. Wafa hanya diam saja, ia menulis sesuatu di kertas lalu menyuruh Nomara berdiri di depan kelas sebagai hukumannya sampai maghrib.
"Wah? Enggak kelamaan tuh? Bisa patah-patah kaki saya. Kasih keringanan dong, saya ini adek ipar ustad nantinya. Kasih saya keringanan, ya? Wahai kakak ipar," kata Nomara memohon-mohon kepada Wafa.
"Enggak. Cepat lakukan," kata Wafa dengan dingin, Nomara memutar bola matanya malas sambil keluar dari kelas.
Wafa tiba-tiba saja teringat kepada Maira yang sering memintanya keringanan ketika dihukum. Memori itu berputar di otak Wafa seperti kaset rusak. Wafa mencoba fokus dan menghilangkan Maira dari pikirannya.
"Ustad, saya cuman setor satu baris enggak apa-apa, kan?" kata Jelita menegoisasi Wafa yang memasang wajah dingin itu, sebenarnya Jelita takut hendak berbicara namun ia kumpulkan keberaniannya dan unjuk gigi.
"Enggak apa-apa, dari pada enggak hafal satu baris pun."
Jelita menoleh kepada Nomara yang kini sedang mengintip dari jendela. Jelita memajukan lidahnya beberapa centi ke depan, dengan maksut untuk menghina Nomara. Nomara mengepalkan tangannya disertai dengan tatapan tajam.
T B C
Janlup votmen, semoga menghibur . Papay🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Hug Me When Halal (END)
Ficção Adolescente📚Teenfic-Spiritual "Terima kasih, sampai detik ini gus masih baik banget sama Maira. Maira enggak pernah nyangka kalau gus masih mau nolongin Maira. Maira tau semuanya tentang apa yang membuat gus menjauh dari Maira. Kita sama-sama berkorban, ya...