☆Khawatir Menyesal

2 2 0
                                    

Jangan khawatirkan rasamu tak akan bahagia
Takutlah pada penyesalan yang menantimu diujung waktu

Untuk menemukan kebahagiaan, kenyataan memang tidak selalu harus sama dengan harapan. Sebelum memulai, harusnya kita memikirkan resiko apa yang akan kita terima pada akhirnya. Dan jalan mana yang harus kita lalui setelah dibuat patah. Sebab dalam menaruh harap, selalu ada kecewa yang mendampingi.

Sama seperti melangkah, resiko untuk jatuh akan tetap ada. Namun, kita bisa menghindari dengan lebih berhati-hati, dan ketika jatuh pun kita sudah siap menopang diri sendiri untuk bangkit kembali.

Tapi, bagaimana denganku yang terlanjur menaruh harap. Bahkan sudah bertahun lamanya pada orang yang ternyata tidak menganggapku lebih dari sekedar teman. Apa yang harus kuperbuat saat hatiku benar-benar telah patah seperti ini?

Sembilan tahun bertahan dalam diam bukanlah hal mudah. Dan aku yakin, dari seratus perempuan di luar sana hanya satu yang mungkin bisa melakukannya. Yang dipendam bukan hanya cinta dan rindu, tetapi juga cemburu.

"Mungkin dia sengaja, cuma mau lihat cemburu kah Zahra.."

"Bagaimana bisa saya tunjukkan cemburuku, sedang tidak ada seorang pun yang tau dengan rasaku. Termasuk dia" jawabku

"Na ini kutaumi."

"Tapi belum tau siapa orangnya toh?"

"Tidak penting siapa orangnya, yang lebih penting itu perasaannya Zahra.. Nda tega loh kudengarnya"

Memang hanya dia yang selalu peduli. Andai aku memiliki perasaan untuknya, mungkin aku akan lebih memilih dia. Sekali pun Rahmat datang memintaku bersamanya.

"Eh tapi serius itu Ra, sudah 9 tahun mencintai dalam diam? Wah, bisa jadi 9 buku kalau ditulis tiap hari itu" lanjutnya, tapi ia terdengar menahan tawanya di akhir kalimat.

"He'em 9 tahun. Hitung mi dari awal kita ketemu"

"Heh, jangan-jangan saya mi orangnya ini. Baru Zahra nda bilang-bilang" ia tertawa, tapi aku yakin ia pasti mulai mencari tahu setelah ini

Itu percakapan terakhir dua bulan lalu yang masih kuingat. Setelah malam itu, tidak ada lagi komunikasi sama siapa pun. Selain..

"Ra.. Zahra?" suara mama terdengar semakin dekat. Tapi, saat tiba di depanku ternyata ia sedang menelepon "ini Zahra, bicara mi" kata mama seraya menyerahkan ponselnya

"Halo, assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam, Zahra. Maaf, saya nda bisa bicara lama-lama. Ini cuma mau minta tolong kirim data diri, KTP sama pas photo ukuran 4 x 6 dalam bentuk pdf, ya" ucapnya dengan tenang, meski cara bicaranya terdengar sedikit buru-buru dari biasanya

"Oh iye"

Hanya kata singkat itu yang sempat kuucapkan sebelum menjawab salam darinya lalu menutup sambungan telepon.

Sekali lagi, kupejamkan mata sedikit lebih lama seraya menarik napas dalam-dalam. Aku takut menyesal. Tapi aku juga tidak punya keberanian yang cukup untuk menanyakan langsung padanya.

Kemarin aku sempat mengintip sosial medianya, di sana ada postingan beberapa bulan lalu dengan kode inisial Z. Dan beberapa hari setelahnya, ia membuat sebuah puisi di akun youtube miliknya. Dalam bait terakhir, ia seakan memperjelas maksud dari postingan di akun instagramnya.

Puisi itulah yang selalu kudengar dan kujadikan sebagai pengantar tidur, meski tidak pernah berhasil membuat mataku terpejam untuk tertidur. Karena setiap kali aku mencobanya, selalu saja bulir bening itu menerobos keluar dari kedua sudut mataku.

Taukah
Aku telah kehabisan kata
Sungguh, aku tidak tau lagi

Belum cukupkah isyarat yang kutunjukkan
Kurang jelas kah semua tanda yang kuberikan
Hingga matamu tak dapat melihat
Dan rasamu tak bisa tersentuh, walau sedikit saja

Walau aku terlihat tak peduli
Terlalu sering mengabaikanmu

Tapi, aku ingin kau tau ini
Cinta tak pernah memilih di mana ia akan hadir
Aku adalah salah satunya
Dan kamu yang tak pernah bisa menyadari

Sekali lagi aku mendengar dan memastikan bahwa puisi itu memang untukku. Ya, sipemilik inisial Z. Zahra. Batinku tersenyum

Dan kali ini, aku tidak ragu lagi menebak jika memang Rahmat juga diam-diam memiliki rasa yang sama denganku.

Seolah aku merasakan wajahku berseri karena bahagia, telah berhasil menyusun potongan demi potongan peristiwa yang aku pikir adalah isyarat darinya, termasuk pesan singkat dan sikapnya selama ini.

"E'eh nda lama saya bawa ke rumah ini" ucapnya saat itu

Dan setiap kali aku jalan bersamanya, ia selalu menarikku untuk berjalan di sampingnya. Memberiku buku untuk belajar, lalu mengantarkan hingga bertemu langsung dengan keluargaku. Ditambah lagi dengan beberapa postingan di akun sosial medianya, juga puisi yang sudah pasti untukku. Ku pikir itu semua sudah lebih dari cukup

☆☆☆

Beberapa saat menimang, aku putuskan untuk menghubungi Darul. Kali ini tekadku sudah bulat, akan kukatakan sejujurnya.

"Sebelumnya saya minta maaf memang di'.." kataku, sesaat setelah telepon terhubung

"Iya nda papa, kenapa Zahra?" Jawabnya dengan lembut

"Mm.. anu, ini.. e.."

Mengapa lidahku terasa kelu? Padahal tinggal bilang aja, aku tidak ingin menikah denganmu. Beres. Tapi, ternyata tidak semudah itu, aku tidak bisa jika persoalan hati yang hendak dimainkan seperti ini

"Iye, apa itu?"

Huft. Mendengar suara lembut itu membuatku semakin tidak enak mengatakannya. Aku harus bagaimana? Membiarkannya tetap seperti ini justru akan menyakiti lebih banyak hati lagi. Mungkin tidak mengapa jika aku hanya mengorbankan satu hati untuk kebahagiaan hati yang lainnya.

Tunggu beberapa saat, aku kembali menarik napas sebelum mengutarakan maksudku.

"Mm.. ada je mau saya bilang ini. Tapi, jangan ki marah di'.." cicitku

"Iye, nda.. apa itu?"

Ya Allah, suaranya masih sama. Tetap tenang dan lembut.

"E.. anu-"

"Maaf Zahra, saya nda bisa lama-lama menerima telepon" ujarnya dengan cepat memotong ucapanku

"Astagfirullah, iye maaf.." jedaku, aku rasa ini adalah kesempatan yang baik "cocokmi, cari mi pale perempuan yang lebih baik dari saya"

Akhirnya, aku benar-benar mengatakan hal itu. Hatiku terasa lega, tapi anehnya sebagian lagi terasa berat. Ah, mungkin karena tidak enak saja. Pikirku

"Astagfirullah.." desahnya, namun suaranya masih terdengar tenang "Maaf Zahra, maksudku bukan-"

"Iye, saya paham. Tapi seriuska ini, kayaknya saya nda bisa sama kita" aku melirih di akhir kalimat seakan tak ingin jika ia mendengarnya

Sesaat aku menunggu, ingin mendengar suaranya lagi. Tapi sepertinya ia lebih memilih diam. Hanya terdengar helaan nafas di seberang sana

"Maaf di' assalamu'alaikum.." aku bahkan memutus sambungan telepon tanpa menunggu balasan salam darinya

Aku jahat kah? Tidak. Aku hanya ingin menyelamatkan hatinya, hatiku dan.. Rahmat. Ya, aku melakukannya demi kebaikan bersama. Dengan melepaskannya, ia bisa mencari yang lebih baik dariku, bukan? Jelas itu bukan suatu kejahatan.

Untuk sekarang, aku tak akan memikirkan perasaan orang lain lagi. Perasaanku memang lebih penting, seperti yang dikatakan Wahyu saat itu.

Sebelum dan SesudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang