Ditelan Hujan Badai

2 0 0
                                    

Warga dusun Bala Alas yang harus ke luar rumah di bawah hujan mengenakan topi bambu selebar bahu agar tidak basah diguyur air yang tertumpah dari langit. Tara memakai merapatkan topi bambu yang dipinjamnya dari nenek di rumah Pak Sam. Topi bambu itu masih terlalu besar untuknya sehingga harus dipegangnya kuat-kuat. Kaki Tara melangkah menyusuri jalanan dusun Bala Alas yang berbatu-batu besar, menuju rumah Pak Sepuh. Sebagai sesepuh desa tertinggi, rumah Pak Sepuh terletak di wilayah dusun yang paling dalam. Tara ingin menjumpai Dame dan Rheus untuk menanyakan tentang pecahan kristal yang tergantung sebagai bandul di kalungnya.

Beberapa saat yang lalu Tara merasakan kristal ungu yang dipakainya berdenyut. Tara sadar, batu tak mungkin berdenyut, tapi itulah yang dirasakan. Batu miliknya berdenyut dan kadang terlihat mengeluarkan pendar keunguan yang tipis. Karena Pak Sam sedang menjemput tamu yang ingin bertemu para sesepuh, maka Tara memutuskan untuk mencari sendiri rumah Pak Sepuh. Tetapi sulit sekali menemukan rumah Pak Sepuh di antara barisan rumah panggung di dusun Bala Alas yang semuanya serupa, berdinding bambu dan menghadap ke arah yang sama, tanpa dipisahkan pagar satu sama lain. Karena tidak ada tanda khusus pada rumah Pak Sepuh, Tara menggantungkan pencariannya pada sosok Dame atau Rheus yang mungkin bisa dilihatnya.

Hujan deras membuat sebagian besar warga berdiam diri di bilik di dalam rumah dan menutup pintunya, namun Tara melihat ada beberapa orang yang berkumpul di teras salah satu rumah. Napas lega terembus ketika Tara melihat Pak Sam di antara orang-orang tersebut. Jari-jari Tara yang basah oleh air hujan mempererat pegangannya pada topi bambu dan melangkah mendekat.

Suara percakapan terdengar tumpang tindih dengan bunyi air hujan yang jatuh di atap rumah. Kedua pihak yang sedang berbicara tak hanya berusaha mengatasi suara hujan melainkan juga seperti beradu mendominasi pembicaraan.

Ini bukan suara percakapan yang akrab, pikir Tara ragu untuk mendekat. Tetapi mata tajam Pak Sam terlanjur menangkap sosoknya yang menggigil dalam hujan. Pak Sam segera menuntunnya naik ke teras. Dame dan Rheus terlibat pembicaraan di dalam rumah. Pak Sepuh, Dame, dan Rheus duduk bersila bersama dua orang laki-laki. Keduanya berbadan tegap mengenakan pakaian yang mirip, seperti semacam seragam. Yang satu memiliki bekas luka besar di pipi. Diam-diam Tara menandainya sebagai si Pipi Codet. Mereka berdua bukan orang Bala Alas, Tara menyimpulkan dalam hati setelah memindai orang-orang tersebut dengan seksama dari baju mereka.

Tara mendengar Pak Sepuh berbicara dengan suara bergetar kepada tamunya.

"Kami tidak mungkin menyerahkan Selo Giri ke tangan orang lain, Pak. Gunung batu itu sudah ada sejak zaman leluhur kami masih hidup!"

Salah satu dari kedua tamu menjawab dengan suara keras, "Kami tidak minta Bapak untuk menyerahkan tanah leluhur, Pak. Yang kami harapkan dusun Bala Alas ini bisa berbagi manfaat gunung itu untuk lebih banyak orang. Jika kami yang kelola, maka akses menuju ke dusun ini juga terbuka, warga dusun bisa menolong banyak orang dari manfaat gunung itu. Gunung itu tidak akan kemana-mana, bahkan kami harap semua warga tetap menjaga Selo Giri dengan bekerja di pertambangan."

Bandul kristal yang melingkar di leher Tara berdenyut pelan, mengirimkan denyutan yang sama di kepala Tara yang terasa berputar mendengar perkataan tamu Pak Sepuh. Apa maksudnya orang itu mau membeli gunung untuk dijadikan tambang?

"Kami tidak menjual peninggalan leluhur," ujar Pak Sepuh dingin.

Tara nyaris menggigil mendengar nada suara Pak Sepuh yang selama ini selalu ramah. Rupanya kedua tamu yang datang juga merasakan hal yang sama sehingga keduanya beranjak dari posisi duduknya, berpamitan, kemudian melangkah ke pintu. Ketika melihat Tara di teras, langkah kedua lelaki itu terhenti, terpaku pada Tara.

"Dia anaknya?" Salah satu dari kedua lelaki itu bertanya kepada Pak Sam.

Mata Pak Sam melotot. "Apa maksudnya?"

"Apa akibatnya kalau warga Bala Alas yang seharusnya menjaga hutan larangan Alas Tuwa dan Selo Giri ternyata bahkan tidak mampu menjaga seorang tamu?" tanya seorang lelaki tamu itu kepada yang lain.

Temannya, pemiliki bekas luka di pipi, mengangkat bahu, "Mungkin dusun Bala Alas bakal kena tulah karena tidak mampu menjaga tamu?"

"Apa maksud kalian?" bentak Pak Sam.

"Kalian baru saja menolak tawaran murah hati dari kami. Mungkin tawaran berikutnya tidak akan sebagus ini," jawab si Pipi Codet.

"Kami tidak menerima tawaran apa pun untuk menukar Selo Giri!" tukas Pak Sepuh.

"Oh ya? Bagaimana kalau ditukar dengan salah satu tamu Bala Alas, yang meneliti batu-batuan?"

Di belakang Pak Sepuh, Dame menahan Rheus yang sudah mengepalkan tangannya.

Si Pipi Codet membungkukkan tubuhnya, memandang langsung pada Tara. Berkata-kata dengan bisikan halus yang masih bisa didengar semua orang di dekatnya.

"Kami minta persetujuan sesepuh untuk melepaskan hutan larangan sebagai ganti ibumu."

Tara menjerit. Bandul kalungnya berdenyut tak tertahankan dan kata-kata si Pipi Codet seperti menusuknya. Tepat di jantung.

Mereka menahan mama Dhin?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 12, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TerranovaWhere stories live. Discover now