e m p a t

204 31 4
                                    

Bayangan Aya sekarang hanyalah kasur yang empuk. Kakinya juga pegal setelah bolak-balik mencari gaun yang pas untuk tubuh pendeknya. Namun, sesampainya di rumah Rudy, ia malah membantu Hesti di dapur untuk menyiapkan makan malam. Tadi Aya juga sudah menyempatkan izin kepada ibu asrama karena harus pulang telat.

"Kamu goreng dadar jagungnya, Tante mau nyiapin bumbu buat sayur lodeh," kata Hesti, lalu duduk di meja makan untuk menyiapkan sayuran serta bumbu.

"Iya, Tante." Aya hendak memulai menyiapkan alat untuk menggoreng, tapi sebagai tamu ia tidak tahu tempatnya.

"Wajan sama sutilnya ada di lemari bawah kompor. Kalau minyaknya ada di lemari atas kamu itu," kata Hesti yang seolah mengerti kebingungan Aya.

"Baik, Tan." Perempuan itu menghela napas karena tak pernah segugup ini sebelumnya. Rasa lelah dan juga kantuk seakan lenyap saat berduaan dengan calon mertua.

Setelah semua siap dan minyak sudah panas, tangan Aya mulai menuangkan adonan dadar jagung dengan ukuran sesuai yang biasanya ia buat. Tak ingin banyak tanya demi mengurangi rasa canggung.

Sembari menunggu gorengan jagung tersebut siap dibalik, Aya mencuci piring dan gelas kotor yang menumpuk di bak cuci piring. Pandangannya selalu siaga pada atas kompor dengan api kecil tersebut lantaran bahan yang ia goreng sangat sensitif pada kegosongan.

"Katanya kamu tinggal di asrama, ya? Kegiatannya di sana ngapain aja? Sama kayak di ma'had apa nggak?" Hesti mulai memulai sesi interogasi.

"Iya, Tante. Biasanya saya bantu-bantu di dapur, karena kebetulan yang punya asrama itu teman ayah. Kalau kegiatan pastinya nggak ada, Tan. Beda sama yang di ma'had harus pinter bagi waktu antara tugas kuliah dan ma'had. Kalau saya cuma fokus di kuliah saja, Tan." Aya menjawab sembari mengangkat dadar jagung yang sudah matang.

Hesti melirik Aya sekilas, pantas saja jika perempuan itu masak dengan cekatan. "Terus itu asrama khusus perempuan atau campur?" tanya Hesti lagi.

"Khusus perempuan, Tan. Ada yang sekamar sendiri, ada juga yang berdua. Terserah yang mau tinggal." Lalu, perempuan itu mendekati Hesti dan bertanya, "Ada yang bisa aku bantu lagi, Tan?"

"Ini kamu potong pakai tangan aja biar sedap, panjangnya dua ruas." Hesti menyerahkan sayur kacang panjang seraya menjelaskan bagaimana dia harus memotongnya.

"Baik, Tan."

***

Setelah makan malam, Rudy baru mengantarkan Aya kembali ke Malang bersamaan jalanan yang padat. Membuat perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh sebentar menjadi dua kali lipat.

"Ada sesuatu yang mau kamu beli nggak? Mumpung lagi di luar." Rudy bertanya saat kendaraan roda empat miliknya kembali berhenti kesekian kalinya di lampu merah.

"Nggak ada, Mas. Udah kenyang juga," jawab Aya yang sebenarnya sudah sangat mengantuk.

"Kopi?" tanya lelaki yang malam ini mengenakan kaos abu-abu lengan panjang. Aya yang tenaganya tinggal sedikit hanya menggeleng karena sekarang yang ia butuhkan hanya kasur.

Hampir satu jam berdesakan di jalanan, mobil Rudy pun sampai di tempat Aya tinggal. Perempuan itu sendiri sudah tertidur saat mereka terjebak kemacetan di fly over Singosari.

"Aya, bangun, Ay. Udah sampai," panggil Rudy, tapi lebih tepatnya berbisik.

Lelaki itu mengamati sekitar, mungkin saja ada seseorang yang melihatnya di sana. Mungkin karena sudah larut, keadaan asrama sudah tampak sepi. Dengan sedikit keberanian, tangan Rudy menyentuh lengan Aya dan kembali memanggil dengan suara sedikit keras.

Usaha Rudy berhasil di percobaan kedua. Aya menggeliat sebelum mengerjapkan mata untuk memastikan dia tengah berada di mana.

"Udah sampai, ya? Udah lama, Mas? Maaf, malah ketiduran," ucap Aya sembari membenarkan penampilan yang takut berantakan.

"Nggak apa-apa, baru juga sampai, kok. Mau aku anterin ke dalam?" tawar Rudy dan sukses membuat mata Aya terbuka lebar.

"Nggak usah, Mas. Tadi saya udah izin sama ibu. Kalau begitu saya pamit masuk dulu, Mas. Terima kasih sudah dianterin."

Perempuan itu segera turun saat Rudy mengangguk sambil tersenyum. Namun, sesampainya di depan gerbang, Aya tetap bergeming sembari menatap pintu Rudy.

"Kenapa nggak masuk?" tanya Rudy setelah membuka kaca jendela di sisi penumpang.

"Nungguin Mas pulang, baru aku masuk," jawab Aya dengan menundukkan kepala.

"Kamu aja yang masuk duluan, aku tungguin," kata Rudy yang tak mau mengalah juga.

"Mas Rudy aja yang jalan duluan." Masih sama dengan keputusan yang pertama, tapi setelah mendapat tatapan bingung dari Rudy akhirnya Aya setuju untuk masuk lebih dahulu.

"Hati-hati, Mas," pesan Aya sebelum berlalu ke dalam bangunan bertingkat di hadapannya.

Rudy meninggalkan halaman asrama dengan perasaan bahagia karena bisa menghabiskan waktu hampir seharian dengan Aya. Berbagi sedikit cerita sebagai bekal pendekatan.

Lantai bawah yang dikhususkan untuk keluarga pemilik asrama sekaligus dapur umum untuk penghuni asrama sudah tampak sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, di suasana yang seperti itu pendengaran Aya masih bisa menangkap suara grasak-grusuk dari dapur pribadi.

Karena penasaran, perempuan itupun melangkah menuju ke sana sambil memikirkan siapa gerangan yang masih berkeliaran. Akan tetapi, siapa sangka kalau suara berisik di dapur adalah ulah dari Fahad dan seorang perempuan tak asing lagi.

"Kalian ngapain?" tanya Aya dengan suara serak dan wajah pucat. Napasnya seolah tercekat karena shock.

Percumbuan keduanya langsung berhenti, mereka menatap Aya dengan napas memburu dan mata sayu. Pemandangan itu jelas saja membuat kepala Aya pening.

"Udah pulang?" sapa Fahad sambil mengusap bibirnya yang basah.

Tak ada kata yang bisa diucapkan oleh Aya, perempuan itu langsung melangkah ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Sesampainya di ruangan berukuran 3×4 meter tersebut, Aya masih mengatur napasnya dengan bayangan Fahad mencium perempuan lain terus berputar di otaknya.

Kakinya yang terasa kebas dipaksa berjalan ke atas tempat tidur untuk meredakan degup jantung yang tak kunjung tenang.

"Apa benar itu tadi Mas Fahad? Jangan-jangan jin penunggu dapur. Kenapa tadi nggak coba aku tampar, ya?" tanyanya yang seolah tak percaya dengan sikap Fahad.

Tanpa disadari sebuah kristal hangat jatuh di atas punggung tangannya. Apa pun yang ia lihat, tidak mungkin salah. Namun, bagaimana dengan ajakan lelaki itu minggu lalu?

Aya menggeleng kuat saat suara isakan melesat dari bibirnya. Ini pasti salah. Fahad tidak mungkin seperti itu. Selama ini Fahad hanya miliknya. Lelaki itu juga yang sudah mengambil ciuman pertamanya.

Tubuh perempuan itu langsung berbaring dan memeluk erat guling berbentuk panda. Mungkin untuk kali ini saja tak ada ritual ke kamar mandi dan ganti baju. Hati dan pikirannya masih sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat.

 Hati dan pikirannya masih sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf, kalau masih banyak ada typo

Dosenku, LelakikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang