Bab 1 Mati Suri

207 16 2
                                    



“Ah, Sayang. Kamu benar-benar luar biasa.” Adisti melenguh puas setelah percintaannya dengan Abimanyu mencapai puncak. Suaminya mampu memuaskan dirinya yang selalu haus belaian.

“Tentu saja. Aku bukan seperti manusia yang lemah, Sayang.” Abimanyu membelai pipi Adisti pelan. Rasanya ia selalu tidak puas bercinta dengan Adisti yang selalu liar dan menggairahkan saat bercinta.

“Aku percaya,” bisik Adisti. Tangan kanannya membelai dada Abimanyu yang memiliki rambut lebat. Ia menyukai Abimanyu karena fisiknya yang nyaris sempurna dan permainan di ranjang yang menggairahkan. Seolah tidak memiliki lelah barang satu menit saja.

Mereka kembali melakukan pergumulan dahsyat. Berkali-kali Abimanyu melenguh dan mendesah nikmat tanpa berpikir jika perbuatannya adalah salah.

Tiba-tiba suara pintu rumah Adisti diketuk kencang. Suara Kartilan terdengar nyaring memanggil nama Adisti.

Adisti dan Abimanyu menghentikan kegiatan mereka lalu saling berpandangan. Adisti bergerak cepat menghentikan pergumulan mereka. Segera ia memakai daster lalu mengenakan jaket untuk menutupi lekuk tubuhnya yang tidak memakai apa pun.

Sebelum membuka pintu, Adisti merapikan anak rambut yang mengganggu mata. Setelah memastikan penampilannya tidak mencurigakan, barulah ia membuka pintu.

Ceklek!

Tampak Kartilan menatap cucunya curiga. Samar ia mencium bau sangat harum dari rumah Adisti. Sejak beberapa hari yang lalu, Kartilan mencium bau harum dari rumahnya yang berada di sebelah kanan rumah Adisti. Bau harum menyengat seperti bunga melati dan kamboja.

“Ada apa, Mbah?” tanya Adisti mencoba bersikap tenang.

Kartilan melongok melihat isi rumah Adisti. Tidak ada apa pun yang mencurigakan di sana. Ia menghela napas, lalu bertanya, “Aku mencium baru harum akhir-akhir ini dari rumahmu. Apakah kamu tidak apa-apa?”

Adisti terperanjat. Mungkinkah Abimanyu sumber bau wangi itu? Pikir Adisti cemas.

“Bau harum?” tanya Adisti memastikan. Ia sedang mencari alasan yang tepat agar kakeknya percaya.

“Iya. Biasanya bau ini dari makhluk tidak kasat mata, alias bangsa demit.” Kartilan duduk di kursi yang berada di teras. Adisti mengikuti duduk di seberang.

“Gak ada, Mbah. Itu ... bau parfum Adisti. Ya, itu bau parfum terbaruku, Mbah.” Adisti bersorak senang telah menemukan jawaban yang tepat.

“Benarkah itu?” tanya Kartilan memastikan. Walaupun ada keraguan dari suaranya, ia mencoba percaya dengan ucapan cucunya.

“Benar, Mbah. Adisti suka bau harum itu, jadi sebelum tidur biasanya aku semprot ke seluruh kamar,” jawab Adisti tenang. Ia mulai bisa mengontrol dirinya setelah menemukan alasan yang tepat. Adisti merahasiakan keberadaan Abimanyu pada siapa pun.

Kartilan mengangguk-angguk. “Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa, Nduk.”

Kartilan beranjak dari tempat duduknya. Laki-laki tua berumur 60 tahun itu pulang, yang berjarak lima langkah saja dari rumah Adisti.

Adisti membuang napas lega. Segera ia masuk lalu mengunci pintu. Abimanyu telah berdiri di tengah pintu kamar dengan pandangan kesal.

“Lama sekali sih?” keluh Abimanyu. Ia meraih tubuh mungil Adisti ke dalam pelukan lalu menggendongnya.

“Maaf, Mbah Lan memang begitu.” Adisti mengalungkan tangan ke leher Abimanyu. Ia bisa mencium bau harum dari tubuh suaminya itu.

Abimanyu merebahkan Adisti di atas ranjang. Dengan kasar ia merobek daster dan memaksa istrinya itu melepas daster dari tubuhnya.

“Cepatlah, Sayang. Aku sudah tidak sabar.” Abimanyu sudah siap kembali bercinta. Ia merebahkan tubuh di atas ranjang sembari menunggu Adisti membuka baju.

“Kau dihukum. Puaskan aku, Baby,” bisik Abimanyu di telinga Adisti yang sudah berada di atas tubuhnya.

Adisti menuruti ucapan Abimanyu yang meminta dipuaskan. Hanya dirinya yang bisa melihat keberadaan suaminya itu. Karena Abimanyu bukanlah manusia.

---

Tiga hari yang lalu.

“Adisti hidup lagi,” teriak salah seorang warga yang memandikan jenazah Adisti.

Kartilan mengernyit. Cucunya kembali hidup setelah dinyatakan meninggal setelah kecelakaan tinggal? Benarkah?

Kartilan memaksakan kaki tuanya untuk berjalan cepat melihat keadaan Adisti. Kebetulan jenazah Adisti dimandikan di antara rumahnya dan Adisti. Sehingga ia tidak perlu berjalan jauh untuk memastikan keadaan cucunya.

Mata Kartilan melotot saat melihat Adisti sudah mengenakan jarik yang menutupi dada sampai betis. Pundaknya yang putih bersih terekspos sempurna.

“Nduk! Kamu hidup lagi?” tanya Kartilan mematikan. Ia mengucek mata memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.

“Mbah. Apa aku sebelumnya mati?” tanya Adisti. Ia menatap orang-orang di sekelilingnya yang sedikit menjauh.

Kartilan mengangguk. “Jadi, kamu hidup lagi? Kamu mati suri?” tanyanya.

“Mungkin, Mbah. Aku tidak ingat apa pun.” Adisti menunduk. Ia hanya ingat, sempat bertemu ibunya sebelum membuka mata. Ia merengek meminta ikut bersama, tetapi ibunya berkata bahwa belum waktunya Adisti berada di sana.

Kartilan merangkul pundak cucunya lalu membawa gadis berumur 20 tahun itu masuk ke rumah. Beberapa tetangga masih mengikuti langkah Adisti dalam jarak yang lumayan jauh, mereka masih takut. Baru kali ini mereka melihat kasus mati suri.

“Ganti baju dulu. Setelah itu kita mengobrol di depan. Mbah panggil Ustaz Samsudin dulu.” Kartilan menutup pintu kamar Adisti pelan lalu meminta seseorang memanggil Ustaz Samsudin.

Beberapa menit kemudian Adisti keluar dari kamar mengenakan kaos oblong dan celana pendek sebatas lutut. Ia duduk di sebelah sang kakek yang sudah menyalakan rokok di sela jemarinya.

“Kamu tidak ingat sebelumnya sudah mati, Nduk? Kamu menghindari kucing yang menyeberang  dan banting setir menabrak tiang listrik.”

Adisti mencoba mengingat, tetapi gagal. “Tidak ingat, Mbah,” jawabnya singkat.

Tak lama kemudian Ustaz Samsudin datang. Ia menatap Adisti sekilas lalu menyalami Kartilan dan menangkupkan kedua tangan di depan dada pada Adisti.

Setelah basa-basi sebentar dengan Kartilan, Ustaz Samsudin memeriksa keadaan Adisti dari punggung gadis itu. Ia memejamkan mata, melihat apakah ada sesuatu yang berbeda dalam diri Adisti.

“Mata batinmu terbuka, Nak,” ucap Ustaz Samsudin membuka percakapan. Ia telah kembali ke tempatnya duduk.

Beberapa warga masih menonton di teras. Terdengar masak kusuk di sana, yang mengatakan Adisti titisan hantu, bahkan ada yang menyebut Adisti adalah anak hantu.

Adisti mencoba menutup telinga. Apa salahnya mati suri? Toh bukan dirinya yang meminta. Allah yang sudah menggariskan hidupnya seperti ini.

“Maksudnya dia bisa melihat makhluk tidak kasat mata?” tanya Kartilan memastikan.

Ustaz Samsudin mengangguk. “Iya, Mbah.”

Setelah berbincang sejenak, Ustaz Samsudin pamit pulang karena masih ada urusan di desa sebelah.

“Nduk, mulai sekarang kamu harus Hati-hati. Jika ada sesuatu yang mencurigakan segera bilang ya?” punya Kartilan waswas.

Adisti mengangguk. “Baik, Mbah. Tapi, kira-kira apa yang akan Adisti temui, Mbah?” tanyanya heran. Baru kali ini ia mengalami mati suri dan terbukanya mata batin. Sesuatu yang masih asing di telinganya.

“Mungkin saja ada jin, atau makhluk tidak terlihat yang menemuimu, Adisti. Kamu harus hati-hati.”

“Apa tidak bisa mata batin ini ditutup saja, Mbah?” tanya Adisti sedikit takut.

“Bisa! Malam nanti aku akan memberimu sebuah mantra agar tidak ada yang mengganggu.”

Adisti mengangguk ragu. Bukan tidak percaya dengan ucapan kakeknya, tetapi khawatir pada dirinya sendiri. Jika bertemu dengan makhluk tidak terlihat, apakah dirinya siap? Membayangkan saja membuatnya merinding.

Beberapa menit kemudian semua orang kembali ke rumah masing-masing, tinggallah Adisti seorang diri. Ia menatap sekeliling rumahnya yang sudah bersih. Beberapa tetangga membantu membersihkan rumah bekas memandikannya. Keranda yang dipinjam pun sudah dikembalikan ke kuburan.

“Apa yang akan terjadi dalam hidupku setelah ini? Apa aku bisa menjalani kehidupan yang normal?” gumam Adisti.


PERNIKAHAN DUA ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang