Jangan lupa follow.
Jika ceritanya menarik, berikan vote.
Kalau buruk berikan komen.
____
Sudah seminggu sejak kedatangannya ke rumah waktu itu, aku tidak menerima pesan atau telpon dari I am. Mungkin dia sibuk dengan tugas kuliah. Atau masih marah? Pikirku geli dan masa bodoh mengingat wajahnya yang berubah kaget, bingung dan keras saat mendengar cerita konyol tentang Alifa yang kukarang dan kuungkap kepadanya. Aku punya anak dan tak punya suami? Ih, aku sendiri ngeri membayangkan keadaan seperti itu akan menimpaku. Jangan sampai. Na'udzubillahi.
Dan aku yakin dia akan segera mengorek keterangan dari Mita dan akhirnya tahu mengenai kebenaran ceritaku yang sesungguhnya. Pasti dia memaki-maki kesal sendiri. Biar saja dia kesal. Tak bisa kubayangkan seperti apa wajahnya saat menemuiku nanti.
Selesai kuliah aku keluar kelas bareng Mita. Begitu sampai di depan ruang kuliah, mataku terpaku pada sosok yang berdiri tak jauh dari tempatku berpijak. Kurasa pandangan Mita juga menemukan sosok yang sama. Namun tak kusangka ia cepat bereaksi.
"Ilham!" serunya spontan dan girang sambil berjalan cepat meninggalkanku untuk menyongsong seseorang di depan sana.
Aku masih sambil terpana tetap melangkah lambat-lambat mengikuti Mita. Namun saat mereka dekat, kulihat I am hanya melewati Mita, dan berjalan lurus ke arahku. Aku diliputi heran dan nggak percaya melihat teman kecilku itu makin mendekat dan tanpa berbasa basi menggamit tanganku.
"Sorry, Mit, kami duluan!" ucapnya ketika kembali melewati tempat Mita. Kulihat Mita bengong. Dan aku sendiri bingung. Merasa nggak enak sama Mita, dan kesal sama I am yang seenaknya membawaku entah ke mana.
"I am!" teriakku jengkel sambil sekuatku melepaskan tanganku dari cengkeramannya.
Dan di kantin kampus dia memaksaku duduk di hadapannya. Dua teh botol tersaji di atas meja. Matanya menyorot lurus ke arahku. Wajahnya jangan ditanya. Dongkol, benci dan keki.
"Kamu bohong, kan?" serangnya langsung.
"Kamu juga!" balasku ketus tak mau kalah.
"Aku bohong apa sama kamu?"
"Waktu itu aku tanya kamu tinggal di mana, kamu bilang jauh, jauh banget."
"Jadi kamu balas dendam?"
"Ya!" jawabku sambil meraih teh botol dan menghisap isinya lewat sedotan tanpa menunggu dipersilakan. Kuteguk teh hingga hampir habis hingga hausku langsung hilang.
Dia diam sambil mengawasiku. "Aku terus kepikiran kamu selama berhari-hari setelah pulang dari rumahmu. Aku nggak bisa membayangkan kamu punya anak dan nggak punya suami, Ai," kata I am perlahan seolah masih merasakan bekas-bekas khawatir dan bingungnya.
"Lagian mana mungkin, sih, Am?" sahutku geregetan dengan sikap yang ditunjukkannya. "Kamu nggak tahu setiap kali mendengar berita tetangga atau saudara yang hamil di luar nikah, ibuku pasti sudah langsung ngomel dan cerewet mengingatkanku agar jangan sampai mengalami hal kayak gitu. Sampai merah telingaku," kataku sekaligus meluruskan apa yang dilihat di rumahku kemarin itu. "Dan kamu pikir aku tega mencoreng muka ayah dan ibuku setelah apa yang mereka lakukan padaku? Mereka memungutku, lalu merawatku seperti anak sendiri. Mereka juga mengkuliahkanku. Aku takkan bisa membalas jasa mereka."
I am pasti ingat asal usulku dan latar belakang kehidupanku yang kadang jadi bahan omongan tetangga kami.
"Karena itulah sejak awal aku nggak yakin kalau anak itu benar anakmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati Ai [ Selesai ]
RomanceSebenarnya cita-cita Tari sejak dulu begitu sederhana. Menjadi seorang ibu. Sebuah keinginan yang semua perempuan normal bisa menjalaninya. Dan sepertinya Allah menerima dan mengabulkan keinginan mulianya itu. Seorang bayi merah dan mungil tiba-tib...