99. Merasa Bersalah

35.7K 2.2K 172
                                    

Intan pun menceritakan permasalahan yang sedang mereka hadapi sambil sesegukan.

"Aku takut banget, Pah. Aku gak bisa lihat Mas Zein kayak gitu," lirih Intan.

"Sini! Lebih baik kamu duduk dulu!" ucap Muh. Ia mengajak Intan duduk.

"Dalam rumah tangga, pasti ada pasang surutnya. Pertengkaran itu biasa. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Wajar jika kamu marah atas apa yang telah suami kamu lakukan. Dia memang pantas untuk mendapat hukuman," ucap Muh.

Dalam masalah ini, ia tidak bisa membenarkan perbuatan Zein.

"Tapi ... meski sedang marah, kamu sebagai pasangan jangan sampai mengabaikan pasanganmu. Marah boleh. Tapi tetap harus ada batasannya. Apalagi kalau dia sudah minta maaf dan menyesal seperti itu."

"Allah saja maha pemaaf. Masa makhluknya tidak mau memaafkan?" tanya Muh. Ia sangat hati-hati dalam menyampaikan pendapatnya pada Intan.

"Iya, Pah. Makanya aku nyesel banget. Seandainya aku gak terlalu keras hati, mungkin kejadiannya gak akan kayak gini," ucap Intan.

"Kamu tau, gak? Mamah juga sering marah sama Papah. Tapi, meskipun sedang marah, Mamah tidak pernah mengabaikan kewajibannya. Dia tetap melayani Papah, bahkan kami tetap tidur sekamar."

"Oya?" tanya Intan.

"Iya. Sebab Mamah sadar, bahwa setan akan bahagia jika suami istri bertengkar. Apalagi kalau sampai pisah ranjang, bukannya cepat damai, yang ada kalian malah akan makin dihasut oleh bisikan setan untuk saling membenci."

"Naudzubillah," lirih Intan.

"Sekarang kita sama-sama berdoa aja! Semoga yang terbaik untuk Zein. Papah yakin, Zein pria yang kuat. Jadi dia pasti bisa cepat pulih kembali," ucap Muh.

"Aamiin," sahut Intan, lemas.

Meski begitu, hatinya tetap tidak tenang sebelum mendengar kabar bagaimana kondisi suaminya.

Tak lama kemudian, Rani pun datang. "Pah, gimana kondisi Zein?" tanyanya, panik.

Muh dan Intan pun menoleh. "Zein masih ditangani oleh dokter, Mah. Mamah kok ada di sini?" tanya Rani.

"Iya tadi Mamah baca di grup rumah sakit, katanya Zein pingsan. Kebetulan Mamah tadi abis ketemuan sama orang catering di deket sini, jadi langsung ke sini, deh," jelas Rani.

"Ya udah, kita tunggu aja!" ucap Muh.

"Tapi Mamah gak tenang, Pah. Gimana kalau Zein kenapa-kenapa? Mana Intan lagi hamil. Kamu yang sabar ya, Intan!" ucap Rani. Ia memang selalu heboh.

"Mah! Jangan ngomong aneh-aneh gitu, ah! Papah yakin Zein akan baik-baik aja," ucap Muh.

"Iya, Pah. Tapi kan ...."

"Udah, gak ada tapi-tapian! Tunggu sambil doa!" ucap Muh, tegas.

"Iyaa!" sahut Rani dengan ekspresi murung.

Tak lama kemudian Dimas keluar dari ruangan IGD.

"Gimana kondisi Zein, Dim?" tanya Muh sambil berdiri dan mendekat ke arah Dimas.

"Sepertinya Zein kelelahan dan kurang tidur, Pak. Jadi sementara biarkan dia istirahat dulu! Alhamdulillah, tidak ada masalah serius yang perlu dikhawatirkan. Ini murni karena kelelahan," jelas Dimas.

"Alhamdulillah," ucap Intan sambil mengembuskan napasnya. Ia memejamkan mata karena air matanya tak mau berhenti.

"Syukurlah kalau begitu, Mamah lega," ujar Rani. Ia pun memeluk Intan.

"Sekarang Zein sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Jadi Bapak dan Ibu bisa langsung menyusulnya ke sana," ujar Dimas.

Sebagai pemilik rumah sakit, Zein tidak perlu mengurus administrasi lagi. Sehingga ia bisa langsung dipindahkan ke ruang perawatan saat itu juga.

Berbeda dengan pasien umum yang masih harus menunggu di ruang IGD saat proses administrasi belum selesai. Bahkan terkadang sudah membayar pun belum tentuh bisa langsung pindah karena staf rumah sakit harus menyiapkan ruangannya lebih dulu.

Meski begitu, team medis yang menangani Zein akan tetap dibayar sesuai dengan prosedurnya.

"Ya udah kita ke sana sekarang, yuk!" ajak Rani.

"Dokter Dimas, terima kasih, ya," ucap Intan.

"Iya, sama-sama," sahut Dimas.

Muh dan Rani pun mengucapkan terima kasih pada Dimas. Kemudian mereka pergi ke lantai suite room.

"Emangnya Zein abis ngapain ya? Kok bisa sampai kelelahan begitu?" tanya Rani tanpa dosa.

Muh langsung menyenggol Rani dengan sikutnya. Sebab ia tidak enak hati pada Intan. Muh khawatir menantunya itu semakin merasa bersalah.

Rani pun mengerucutkan bibirnya. Ia paham apa yang dimaksud oleh suaminya itu. Sementara Intan sudah terlanjur merasa bersalah.

"Maafin aku ya, Mah. Mas Zein pingsan gara-gara aku," ucap Intan.

"Udah, gak usah dipikirin! Yang penting sekarang suami kamu udah selamat. Kita tinggal tunggu dia siuman aja," ucap Rani sambil merangkul Intan.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di ruangan Zein.

Intan yang sejak tadi mengkhawatirkan suaminya itu pun langsung mendekat dan memeluk Zein. Ia tak malu meski ada mertuanya di sana.

"Maafin aku ya, Mas. Aku janji gak akan marah lagi. Sebenarnya aku juga udah maafin kamu dari beberapa hari lalu. Cuma masih kesel aja kalau inget kejadian itu," lirih Intan sambil memeluk suaminya.

Rani mengusap punggung Intan. "Sudah, Tan! Biarkan Zein istirahat dulu! Mamah yakin Zein gak akan mau melihat kamu menyesal seperti ini," ucap Rani.

"Tapi gimana aku gak nyesel, Mah? Suamiku pingsan gara-gara aku. Hampir seminggu aku nyuekin Mas Zein. Aku berdosa banget," ucap Intan.

Ketika sedang marah, Intan lupa akan dosa. Namun saat sudah sadar, ia baru ingat bahwa dirinya tidak boleh terlalu lama marah seperti itu.

Rani ternganga. "Seminggu?" tanyanya. Ia tak menyangka Intan bisa bertahan sampai se-lama itu.

"Iya, Mah. Bahkan kami tidur di kamar yang terpisah," lirih Intan.

"Waduh! Zein kan gak bisa tidur kalau gak ada kamu, Tan," ucap Rani. Ia tidak heran jika anaknya itu sampai pingsan.

"Iya, makanya aku nyesel bangat. Gimana caranya aku nebus dosaku ke Mas Zein?" tanya Intan. Ia kembali menangis karena merasa sangat berdosa.

Rani menghela napas. "Zein itu cinta banget sama kamu. Mamah yakin, tanpa kamu minta maaf pun, dia pasti udah maafin kamu," ucap Rani sambil mengusap punggung Intan.

Intan pun memeluk mertuanya itu. "Terima kasih ya, Mah. Maafin aku karena aku bukan menantu yang baik," ucap Intan.

"Siapa bilang? Kamu itu menantu terbaik, kok. Mamah sayang banget sama kamu," sahut Rani. Ia tidak ingin Intan semakin tertekan. Sebab Rani khawatir akan kandungan menantunya itu.

"Ini, lebih baik kamu minum dulu! Dari tadi kamu nangis terus, pasti lelah," ucap Muh sambil memberikan segelas air pada menantunya.

Intan menoleh ke arah Muh. "Terima kasih, Pah," jawabnya. Kemudian ia mengambil gelas itu, lalu mencari kursi untuk duduk.

Setelah itu Intan duduk di kursi sambil meneguk airnya.

"Huuh!"

Ia mengembuskan napas karena dadanya terasa sesak setelah menangis sejak beberapa menit yang lalu.

"Sayang!" ucap Zein saat membuka matanya.

***

Hai ... terima kasih atas supportnya, ya. Aku gak selemah itu, kok. Hehehe. Tadi cuma iseng aja, pingin nyentil yang udah bully. Biar bisa lebih menghargai perasaan orang lain lagi. Kan gak enak udah capek nulis malah dibully. Maaf ya udah bikin heboh.

Yuk, saling menghargai! Kalau mau kasih krisan, tolong yang sopan, hehe.

See u,

JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang