Lembar 14: Terkadang Perlu Untuk Dilawan

460 55 3
                                    

Langkah tegas milik Rangga seketika terhenti, tepat di saat indra pendengarannya menangkap suara tawa yang menggema. Ia lalu menoleh ke arah dapur, dua orang itu, tertawa riang tanpa menyadari keberadaannya. Ada bongkahan batu yang menghimpit kuat kalbunya. Menyiksanya kuat, hingga sulit untuk bernapas.

Padahal, semenjak keluarganya hancur lebur tak karuan. Dia dan sang kakak, sudah sangat jarang bersama. Jarang bercanda ria bersama. Tapi mengapa, kakaknya itu justru kini bersenang-senang, dengan sosok yang jelas-jelas sangatlah ia benci. Ia yakin betul, Reyhan pasti menyadari betapa Rangga sangat membenci kehadiran Aldebaran.

Melihat semua ini, benar-benar membekukan tubuhnya. Ia ingin pergi dari sini, tapi rasanya begitu sulit. Sebab rasa sakit itu selalu menahannya, membuat luka yang ia simpan itu terus bertambah. Sampai beberapa menit berjalan, dia masih saja diam di tempat sedari awal dia menyaksikan, menyaksikan bagaimana mereka sedang mempersiapkan makan malam dengan tawa yang ceria.

Seolah kehadiran dirinya tidak penting di sana.

Rangga berdecih, ia sangat kecewa sekarang. Rasanya ingin berteriak pada semua orang, bahwa ia sedang terluka di sini. Tapi ia pikir, semuanya akan percuma. Siapa yang mau mendengar ketika dia menangis?

Maka detik itu pula, kaki miliknya yang sedari tadi telah membeku, ia paksakan untuk mengambil langkah berikutnya, namun, dengan sedikit hentakkan kaki. Agar mereka tahu, bahwa dia di sini terluka. Dan tepat ketika langkahnya akan segera menaiki anak tangga. Suara Reyhan yang lembut menyapa, sedikit membuatnya dirinya tenang. Sudah lama ia tak mendengar panggilan lembut itu.

"Dek, sini makan bareng."

Rangga tak ingin munafik, ia juga ingin di sana. Menikmati santapan makan malam bersama dengan sang kakak, tanpa adanya kehadiran orang lain. Hanya itu. Tapi jika Aldebaran di sana, lebih baik dia tak makan. Karena percuma saja. Nafsu makannya akan langsung hilang disaat ia menatap wajah yang sangat dibencinya itu.

"Gak usah kak, Rangga gak laper."

Dia ingin melanjutkan langkahnya yang tertinggal. Namun, kembali terhenti pada suara Reyhan yang terdengar tak bisa dibantahkan. Membuatnya menoleh penuh pada Reyhan yang menatapnya, dan Aldebaran memilih untuk tak menatap Rangga.

"Ayo sini. Kakak tau kamu itu laper."

Rangga menghela napas kasar, "Gak, kak!"

Pada akhirnya, Reyhan pun tidak bisa menahan diri lagi, "Rangga!" sentak Reyhan.

Rangga berdecih, "Selama anak itu ada di sana. Jangan harap aku bakal ada di sana juga, kak!"

Reyhan tampak menghela napas, berusaha keras agar tidak kelewatan batas dalam menghadapi adiknya yang memang sangat keras kepala ini. Ia bangkit dari posisi duduknya, berjalan pelan mendekati sang adik, adik kecilnya yang kini sudah bertambah besar.

"Ayolah Ngga, lupain semuanya, semakin kamu menolak, semakin kamu ngerasa gak enak. Apa kamu mau terus-terusan kayak gini? Jangan sampe penyesalan yang nyadarin kamu."

"Aku gak pernah nyesel buat terus benci anak itu kak. Lihat aja, sekarang hubungan kita jadi renggang itu kan karena dia!"

"Itu menurut kamu aja Ngga. Hubungan kita itu masih baik-baik aja kok!"

Rangga berdecak kesal, "Terserah kakak aja! Aku capek, kak!"

Kini Rangga benar-benar meninggalkan Reyhan yang masih memanggil namanya. Ia tak ingin peduli lagi, dia sungguh lelah dengan perdebatan ini yang selalu mencakup hal yang sama berulang kali. Apalagi bila perdebatkan itu mengenai hal yang sangatlah ia benci. Maka ia memilih melarikan diri, ketimbang harus membiarkan rasa bencinya terus menguap.

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang