Aldevan berdiri memandang langit sore itu, memikirkan kembali hal hal yang terjadi belakangan ini.
"Apa gua keterlaluan ya?" tanyanya pada diri sendiri
Sedikit rasa bersalah terbersit dihatinya, kemarin dia begitu memaksa Giwang untuk meminta maaf. Memang harusnya dia mencoba berbicara dengan Igemi terlebih dahulu, mencari kebenarannya tapi sudah terlambat. Pertengkaran itu telah berlalu dan sekarang dia merasa sudah baik baik saja.
Giwang datang, berlari menghampiri Aldevan, "Ayo pulang" ucapnya dengan senyum, hal yang tidak biasa Aldevan saksikan
"Kenapa lo? Senyum senyum"
"Engga" Giwang lantas berjalan masuk menuju busway yang sudah datang, disusul Aldevan yang sedikit berlari mengejarnya.
Tidak pernah Giwang menampakkan emosinya, rasa sakit, kesedihan, kesepian, kemarahan, kesenangan, sulit sekali baginya untuk memperlihatkan itu semua. Belajar yang selalu dia lakukan adalah untuk pendidikan, bukan untuk mengerti kehidupan. Senyum yang Giwang tunjukkan kali ini adalah bentuk kekecewaan dan kesedihan. Memang bukan emosi yang tepat untuk dia tunjukkan, harusnya dia marah, dia sedih, dia kesal, tapi Giwang tidak bisa memilih emosi yang benar untuk situasi ini. Psikologisnya terguncang menerima kenyataan.
Sepanjang jalan Giwang memikirkan banyak hal tentang Theo, mencerna apa yang terjadi dan menganalisis semua kejadian kemarin. Mungkin ada salah paham, tapi sepertinya Giwang memilih bungkam.
Di rumah, bunda sedang bercakap dengan ayah, sambil meminum teh dan kopi. "Memang sudah menawarkan diri tapi kalo nggak dapat kerja sama dari perusahaan ini, bakal susah buat perusahaanku. Kerja sama kemarin ada masalah, ayah bilang lebih baik memutusnya daripada timbul masalah yang lebih parah" kata Amina
"Ya, tidak apa apa. Selagi kamu sudah usaha, coba saja semua kemungkinan yang ada"
Setelah Aldevan dan Giwang masuk, mereka menghentikan obrolannya
"Oh anak ayah. Gimana sekolahnya?"
"Biasa aja Yah, tapi ada yang menarik" Yang Aldevan maksud adalah permintaan maaf Giwang, saat mereka berdebat di lapangan belakang sekolah.
"Apa yang menarik? Dapet selingkuhan?"
"AYAH!"
"Mana ada yang namanya Aldevan selingkuh, si paling setia nih" ucapnya dengan bangga"Tapi kalo ketemu yang cakep dikit dipepet"
"Sembarangan, jangan jangan ayah bukan ayah asli Devan ya? Masa anak sendiri ditindas terus"
"Ayah nemu dikolong meja pasar waktu itu, karena kasihan jadi ayah bawa pulang" Ucap Robi menggoda Aldevan, tidak kakak tidak ayah, sama saja, suka menjahilinya.
"Jadi kalo kakak ngatain Aldevan anak temuan itu bener? Jahat banget keluarga ini"
Giwang yang mendengar obrolan ayah dan anak itu hanya bisa diam, berpura pura tidak tahu. Perbedaan bodoh dan polosnya Aldevan ternyata setipis kertas ulangannya.
"Belajar Wang" ucap Bundanya dan dibalas helaan napas pelan oleh Giwang, "Iya bunda, Giwang mandi dulu ya"
"Belajar Wang" ejek Aldevan menirukan bunda, sambil berlari mendahului Giwang di depan kamar.
---
Disisi lain, dirumah Nizam. Rumah besar hunian keluarga Aznawi yang ditinggali oleh sepasang suami istri dan ketiga anaknya. Keluarga paling normal diantara Giwang, Aldevan, Theo dan Zayyan.
"Minggat sih minggat, tapi jangan disini juga lah" protes Nizam
"Rumah lo yang paling aman, soalnya nggak banyak yang tahu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Brothers : Escape Room
FanficDua anak laki laki dengan kepribadian bertentangan disatukan dalam sebuah ikatan keluarga dan berteman dengan tiga remaja lainnya. Hidup tanpa masalah tidak akan menarik bukan? Masalah teman, asmara, orang tua, dan hubungan saudara menjadi konflik u...