Dewi mengecek kembali isi tasnya untuk memastikan agar tak ada yang tak tertinggal. Baru saja ia hendak membuka pintu, tanpa sengaja ia melihat Mala yang sedang menyiram tanaman di depan rumah. Akhirnya ia menyimpan tasnya di dalam mobil dan memutuskan untuk menghampiri wanita itu.
Sementara itu Mala menghentikan kegiatannya usai mendengar seseorang yang menyapa. Ia kemudian berbalik dan mendapati Dewi di sana.
"Maaf mengganggu waktunya sebentar," ujar Dewi.
"Eh, iya, enggak apa-apa kok. Tumben Bu Dewi belum berangkat."
Dewi kemudian tersenyum tipis, "Ini baru mau berangkat. Lagi enggak banyak kerjaan juga jadi bisa agak santai."
Mala mematikan selang air yang tengah ia pegang lalu mengajak Dewi duduk di sebuah bangku yang ada di sana.
"Ngomong-ngomong ada perlu apa, ya?"
Pertanyaan dari Mala membuat raut wajah Dewi berubah. Wanita itu kemudian menghela napasnya berat, "Saya ... mau minta maaf perihal Mentari."
Kening Mala mengerut, "Mentari?" Ia membeo. "Kenapa memangnya sama Mentari? Kenapa Anda tiba-tiba minta maaf?"
"Saya baru tahu kalau ternyata Mentari memiliki fobia yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. Beberapa waktu lalu saat saya menemani Alan ke rumah sakit, dokter sempat menyinggung soal pasien pengidap heliofobia dan ternyata itu adalah Mentari. Saya benar-benar tidak tahu soal fobia itu. Jika saya tahu, waktu itu saya pasti tidak akan menyuruh Mentari untuk pergi ke sekolah bersama dengan Alan. Saya benar-benar menyesal dan minta maaf." Dewi meraih kedua tangan Mala dan menggenggamnya erat. Raut penyesalan begitu kentara di wajahnya.
"Ti-tidak apa-apa, Bu. Kejadiannya sudah lama sekali. Anda tidak perlu meminta maaf sampai seperti ini."
Dewi menggelengkan kepalanya pelan. "Saya masih merasa menyesal hingga sekarang. Alan bilang waktu itu Mentari terkena serangan panik begitu sampai di sekolah. Karena Alan masih baru di sini dan daya ingat dia juga sedikit bermasalah, jadi mereka saat itu sempat salah jalan. Saya benar-benar minta maaf."
Mala menatap Dewi yang tampak bersungguh-sungguh dan mengusap bahu wanita itu karena tak tega melihatnya.
"Tidak apa-apa, Bu. Sesekali Mentari memang perlu melawan rasa takutnya sendiri meskipun sulit. Dokter bilang kondisinya perlahan mulai membaik dan dia juga mulai bisa pergi sendirian di siang hari meskipun masih saya bekali sunscreen dan juga obat-obatan. Alan juga cukup banyak berperan dalam perkembangan kondisi Mentari. Mereka beberapa kali pulang sekolah bersama. Bahkan di satu hari, Mentari pernah terlihat begitu senang begitu sampai di rumah dan dia bilang kalau dia senang bisa naik motor. Walau saat itu langit sedang mendung, tapi rasa takut Mentari masih ada. Namun Alan bisa meyakinkannya. Sayalah yang berterima kasih pada Alan. Itu adalah pertama kalinya saya melihat Mentari sebahagia itu karena dia bisa merasa bebas saat siang hari." Mala tersenyum, bahkan tanpa sadar kedua matanya sudah berkaca-kaca.
"Putri Anda ... pasti mengalami banyak kesulitan selama ini."
Mala mengangguk pelan. Ia mengusap kedua matanya yang kian basah. "Kondisinya membuat anak itu tak bisa memiliki banyak teman. Dia dulu beberapa kali menangis setiap pulang sekolah dan mengalami perundungan sampai tak mau berangkat ke sekolah. Saya sempat putus asa dan hampir memilih cara home schooling, tapi saya berpikir kalau jika saya membiarkannya diam di posisinya saat itu, maka ia akan kalah dengan fobianya. Walau sedikit, tapi dia harus punya teman. Dokter juga menyarankan hal yang sama, karena memang hal seperti itu masih terbilang wajar saat seorang anak yang memiliki perbedaan mencoba berbaur dengan lingkungan luar."
"Mentari gadis yang kuat, Bu," ujar Dewi. "Saya yakin jika suatu saat nanti dia bisa menang melawan fobianya."
Mala mengangguk pelan. "Saya juga berharap begitu," ujarnya pelan. "Maaf sebelumnya karena saya membahas ini. Semalam Mentari sempat bercerita kalau sedari kemarin dia pergi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan saya. Awalnya saya mengira dia ke sana untuk memeriksakan diri, tapi ternyata perkiraan saya salah karena dia ke sana justru untuk menanyakan kondisi Alan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Novela JuvenilVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...