Yaksok

50 5 0
                                    

Dia berbeda. Namun, tidak ada yang salah dari kelebihannya. Bahkan aku tidak pernah menganggap itu semua adalah kekurangannya. Ketika semua orang menganggap aneh, sedangkan aku selalu terkagum kepadanya.

"Jangan dekat-dekat dia lagi! Sudah berapa kali mama ingatkan?" titah mamaku.

"Apa yang salah dari dia, Ma? Dia sama seperti kita," ujarku.

"Dia kelainan, sayang. Pokoknya sampai Mama lihat kamu bertemu dengannya, tidak ada lagi uang sakumu!" seru mamaku.

Aku ceritakan tentang dia, yang membuat mama melarang bertemu dengannya. Namanya Park Jihoon. Lelaki dengan sejuta bakat dan kejeniusan. Dia tidak pernah turun dari juara satu olimpiade fisika tingkat internasional sejak kelas 10. Bayangkan saja di kelas 10 ia telah menguasai fisika modern, fisika kuantum dan banyak lagi yang bahkan namanya saja asing ditelingaku. Ia juga pernah memenangkan juara satu karya tulis ilmiah dan mengambil tema teknologi tepat guna, yang konsepnya di luar nalar, meskipun aku ada dalam timnya.

Kecerdasannya yang di luar nalar itu, menjadikan dirinya diperlakukan berbeda. Bukan hanya sekali dua kali, perencanaan mengasingkannya. Tetapi untungnya itu semua tidak pernah terwujud. Puncaknya saat ia baru menginjak kelas 7 SMP, ia berhasil membuat ponsel tiruan. Sejak saat itu orang tuanya memperlakukan layaknya orang yang memiliki kelainan. Setelahnya ia tidak pernah menunjukkan hasil karyanya selain kepadaku. Pada kelas 8, ia memberiku ponsel yang dapat disentuh layarnya. Sangat canggih pada masa itu. Ketika ponsel yang beredar hanya bisa digunakan untuk menelepon dan bertukar pesan.

Bukan hanya mamaku yang melarang bertemu dengannya. Orang tuanya pun terus saja menghasut aku untuk menjauhi anaknya itu. Hal yang selalu mereka katakan ketika bertemu denganku.

"Kenapa masih main sama anak saya? Dia kan memiliki kelainan, kok kamu mau si?"

Atau begini

"Temanmu mau saya bawa berobat di tempat jauh. Jadi, bisa bujuk dia?"

Pernah sekali aku diajak berbincang dengan mereka. Isinya sudah pasti tentang kehebatan dan kejeniusan temanku ini.

"Sudah saya ingatkan ya. Jihoon berbahaya untukmu. Atau memang kamu sengaja memanfaatkan kecerdasannya. Saya tahu kamu cerdas di sekolah, apa berteman dengan anak saya membuatmu mendapatkan peringkat 2? Kamu takut jika kamu menjauh akan tertinggal?" ujar beliau.

"Maaf sebelumnya, Pak. Saya berteman dengannya bukan karena ingin memanfaatkan bahkan hal itu sama sekali tidak terpikirkan. Dan lagi, saya tidak pernah menganggap teman saya berkelainan," ujarku.

"Saya kira kamu benar-benar pintar. Ternyata hanya numpang dengan kecerdasan anak saya. Kalau kamu pintar seharusnya kamu tahu tentang kelainan yang dialaminya," ujar beliau.

"Saya tidak bodoh untuk mengerti bahwa anak bapak tidak memiliki kelainan apapun. Sesuai perkataan psikiater yang menanganinya. Kecerdasannya murni berasal dari sifatnya yang tekun dan pekerjaan keras," jelasku.

Sampai mulutku berbusa menjelaskannya tidak pernah didengar oleh para orang dewasa tentang ini. Padahal aku mengingat jelas bahwa temanku tidak mengidap apapun. Jika perlu bukti, suratnya pun masih ada di dalam kamarnya.

Seharian ini aku belum melihat keberadaan dari temanku. Selain sedang libur sekolah, proteksi dari ibuku juga menghalangi untuk bertemu dengannya.

"Ji!" sapaku

Aku mengabaikan perintah dari ibu untuk tidak bertemu dengannya. Lagian, apa yang salah dengan berteman dengan orang yang tingkat kecerdasannya mungkin mengalahkan Einstein.

Ia menengok ke kanan dan ke kiri melihat keadaan. Dirasanya aman, ia berkata, "Jangan ubah nomor ponselmu sampai aku kembali. Aku janji kita akan bertemu lagi."

Kisah JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang