Gellert Grindelwald

496 42 5
                                    

-Credit to the artist on Twitter- (I forgot the username)

Gellert Grindelwald, merupakan seorang lelaki paruh baya yang diminta bekerja di sebuah café oleh bibi yang selalu mengurusnya hingga kini, Bathilda. Setelah beberapa tahun bekerja, Gellert menjadi seorang barista yang cukup disukai dan dinikmati setiap minuman buatannya di café itu oleh beberapa pelanggan lama. Gellert bekerja setelah dia harus diberhentikan dari kampusnya menempuh pendidikan karena kerap membolos dan malah melakukan hal lain yang tidak berkaitan dengan pendidikannya.

Bisa dibilang, Gellert lebih menikmati hidup diluar lingkungan sekolah dibandingkan di dalamnya. Walau begitu, Gellert merupakan pribadi yang cerdas dan luar biasa. Pengetahuannya dalam banyak hal membantunya untuk bisa bertahan hidup ketika dia harus ditendang dari keluarganya sendiri dan diurus oleh bibinya yang sabar kini, sekaligus ditendang dari dunia pendidikan.

Gellert sendiri terlihat tidak keberatan.

Pemilik café menoleh mendapati beberapa pelanggan lama mulai berdatangan, menikmati makan malam di café itu bersama rekan dan sanak keluarga.

"Mr. Graham! Aku datang nih!"

Pemilik café yang dipanggil dengan sebutan Mr. Graham itu hanya mengangguk sebelum menyilakan pelanggan lamanya untuk duduk di kursi yang diinginkan. Kebetulan café sedang kosong dan sepi pengunjung.

"Trims, sudah datang"

Mr. Graham menoleh pada Gellert yang sedari tadi hanya sibuk mengelap gelas dan piring yang disediakan di café untuk digunakan sebagai tempat menyimpan makanan dan minuman yang dipesan.

"Oh! Ada Grindelwald juga." Gellert hanya tersenyum menanggapi kebahagiaan di wajah salah satu pelanggan itu.

"Ohh! Aku jadi rindu minuman buatanmu, Grindelwald!"

Gellert membungkuk lagi seraya tersenyum. "Bila Mr. Graham tidak keberatan aku membuatkan minuman untuk anda sekalian, akan saya lakukan."

"Asyik!"

Mr. Graham terkekeh. "Tentu saja, Gellert. Tolong ya."

Gellert tersenyum saat pemilik café memanggilnya dengan nama dan nada yang lembut. Dia pun kembali membungkukkan badan.

"Akan segera saya siapkan."

"Menunya yang biasa, kau tahu bukan?"

Gellert menyentuh pelipisnya dengan ekspresi jahil. "Takkan pernah saya lupakan, para pelanggan lama yang setia."

Gelak tawa pun terdengar, dan kini hanya pelanggan lama dari pemilik café yang mengisi suasana dalam café tempatnya bekerja selama 4 tahun itu.

Gellert mendongak keluar jendela seraya suara ramai dari pelanggan lama itu mengisi bagian belakang kepalanya yang sedang berpikir. Sudah hampir setengah tahun Gellert melajang, bukan berarti dia tidak tertarik dengan perempuan atau cinta ataupun ingin berada dalam sebuah hubungan. Menurut Gellert, dia hanya belum menemukan orang yang pas untuk itu. Gellert berpikir, bisa saja dia berakhir sendirian sampai akhir hayatnya, seraya menemani bibinya yang sudah lama mengurusnya dengan sabar.

Gellert pernah berpacaran, berada dalam sebuah hubungan yang hampir membawanya ke dunia pernikahan, hanya saja sayang, Gellert tidak sampai ke tahap itu. Semuanya selalu berakhir di tengah-tengah, atau hampir menuju akhir. Gellert tidak keberatan, namun karena lelah mencoba memaksakan diri berhubungan, membuat Gellert pun berpikir untuk tidak memaksakan perihal itu lagi.

Gellert akan menunggu saat yang tepat dan juga orang yang tepat.

Suara bel tanda pelanggan masuk ke dalam café pun terdengar. Gellert dengan cepat mendongakkan kepalanya, melihat siapakah pelanggan yang datang malam hari itu, apakah pelanggan lama seperti teman-teman pemilik café atau bukan. Gellert terkejut melihat seorang pemuda yang cukup tinggi dan gagah, memasuki café seraya menoleh kesana kemari. Karena hari itu hanya ada dirinya dan pemilik café, tidak ada pelayan lain yang menyilakannya menuju meja dan kursi ataupun memberinya buku menu.

Never too Late to Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang