Sebuah Ultimatum

14 1 1
                                    

"Baca ini." Mama menyerahkan benda pipih ke tanganku. Iya memperlihatkan sebuah pesan dari seseorang.

"What? Aku harus mengajar hari Senin? Di SMA Binar Bangsa?"

Kurasakan suaraku meninggi dan jantungku berdegup lebih kencang. Ada rasa takut, gugup, kaget dan bingung. Semuanya bercampur aduk. Kulihat mama mengangguk dan menatapku seolah berkata jangan membantah.

"Kenapa, Ma? Zizah belum siap. Dan juga kenapa tidak bilang sama Zizah dulu."

Hati ini serasa seperti bara, panas tak terkira. "Kan Zizah yang bakal jalani. Mama tidak boleh begitu, mengurus agar Zizah bisa ngajar." Kurasakan kedua alisku bertaut.

"Sudahlan Zizah. Mama sudah terlanjur bicara sama tante Fadillah. Lagian, kalau kamu tidak mulai sekarang, kapan lagi kamu mendapat pengalaman mengajar. Mama sekolahkan kau supaya jadi guru. Bukan urus artis Alena eh Alesha. Apa yang kamu dapat dari dia."

Aku memandang mama dengan tatapan tidak mengerti.

 "Mama boleh tidak setuju Zizah urus artis, tapi paling tidak mama bicara dulu sama Zizah kalau menyangkut mengajar. SMA Binar Bangsa bukan sekolah biasa, Ma." Hatiku berkecamuk.

 Mama sejak lama tidak suka kalau anaknya ini wara-wiri di dunia keartisan. Sebenarnya yang saya lakukan selama ini tidak persis mengurus Alesha, bintang yang sedang naik daun itu. Aku hanya menjadi ketua komunitas Alesha fans club. Cuma memang cukup menyita waktu. Aku sebagai ketua komunitas harus turut serta dalam menyukseskan acara Alesha di kotaku. Aku harus ikut bantu promo jadwal panggung dia serta mengkoordinir para fans agar tidak terlalu histeris saat bertemu. Alesha ingin fansnya adalah orang yang tenang. Mudah saja bagiku untuk berhenti dari Alesha fans club se Indonesia. Hanya saja, mengajar di sebuah SMA terutama sekolah top seperti SMA Binar Bangsa akan menjadi tantangan besar buatku. Hm, aku menghela napas panjang. Ini semua karena aku sering pulang larut malam dan Mama tentu saja tidak suka.

 Baju kerja sudah mama siapkan. Kamu sisa persiapkan diri saja." Kata-kata Mama membangunkan lamunku.

Aku menghela napas berat. Apakah ini jalan hidup yang harus kulalui atau bisakah tugasku ini ditunda?

"Jangan mencoba menawar. Jadwal mengajar sudah dibuatkan khusus untukmu. Jangan buat repot orang lain. Syukur kamu dapat kesempatan di SMA Binar Bangsa." Mama berbicara seperti ia tahu isi kepala ini.

"Dan satu lagi, ingat. Tidak ada lagi pulang tengah malam." Mama mengunci kalimatnya.

Aku duduk terpaku dan bimbang. Bisakah aku menjadi guru yang baik? Haruskah diri ini berhenti terlibat pada komunitas Alesha? Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepala ini.

***

"Ini semua gara-gara kamu, Rin." Aku langsung masuk ke kamar dan melemparkan badanku ke tempat tidur.  Aku merasa perlu berbicara dengan seseorang mengenai ultimatum mama tadi pagi. Rini sahabatku yang tinggal di kosan menjadi pilihan utama.  Aku merasa perlu curhat kepada sahabatku ini. Rini teman kuliahku dulu dan ia yang  menjerumuskanku ke dunia komunitas fans club.

"Lo, kenapa saya?"  Rini, sahabatku protes. Ia yang sedang menonton drama korea di laptop terpaksa berbalik ke arahku. 

"Coba kamu tidak memaksa aku gabung, tentu aku tidak akan terlibat di komunitas Alesha. Sekarang, saya harus bagaimana? Mama tiba-tiba saja menyuruh saya mengajar di SMA Bibang."  

"Wow, itu keren. Binar Bangsa tempat aku magang ngajar. Hebat kau bisa tembus di situ."

Di luar dugaan, Rini malah excited dengar aku diterima di Binar Bangsa.

Aku menatap langit-langit kamar kos Rini. Hatiku dipenuhi banyak pertanyaan tentang SMA tersebut. Bagaimana siswanya? Apa mereka akan menganggapku sebagai guru atau hanya seorang guru honorer sederhana. Rasa tak percaya diri membuatku ragu.

"Ayolah, kamu nurut mamamu dulu. Soal Alesha,kita pikir nanti saja. Menuruti perkataan orang tua itu hukumnya wajib." Rini seolah menggurui.

"Tapi, Rin, apa kira-kira aku mampu di sekolah sana? Aku mengungkapkan ragu yang menggerogotiku sejak Mama mengultimatum diri ini untuk mengajar di SMA Binar Bangsa.

"Coba saja dulu. Kamu pasti bisa. Kamu kan disiplin, tegas, dan cerdas. Pasti kamu mampu menguasai kelas."

 Gadis tinggi semampai itu berusaha menyakinku. Aku melihat tatapannya. Ada tanda kejujuran di sana. Aku tahu kalau ia tahu kelemahanku, tapi ia terlihat yakin saat berbicara. 

Arrgh

Aku mnghela napas berat. Wajah mama yang memberiku ultimatum terbayang di kepala. Sepertinya tidak ada pilihan. Aku harus menerima tawaran eh ultimatum mama.





Bu Guru AzizahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang