"Yayu'!" Gadis berparas cantik dengan tubuh mungilnya itu memekik saat mendapati seorang gadis beralmamater MPK berdiri di depan kelas sembari menyandarkan tubuhnya di tembok. "HAPPY B'DAY!" pekik Melly, menerjang daksa Rahayu yang hampir kehilangan keseimbangannya.
"Hati-hati, Mel," gerutu Ayu.
Melly terkekeh, masih memeluk Ayu dengan eratnya. "Yayu', gue lupa beli cake buat lo!" Melly mengembungkan kedua pipinya, seakan merasa bodoh dengan kecerobohannya.
Gue gak suka kue, Mel. "Yahh... gak usah." Ayu lebih memilih menggandeng tangan sahabatnya dan berjalan pelan menuju kantin kejujuran.
"Anak IPS pada kenapa sih?" dumel Melly, memperhatikan tempat sampah yang terjatuh karena koridor IPS dipenuhi oleh para remaja santai dengan masalah sosialnya.
"KAK, GUE UDAH BILANG JANGAN DITENDANG TEMPAT SAMPAHNYA!" Rijal menggeram, saat Melly tidak sengaja menabrak tempat sampah yang membuat isinya bertebaran di depan kelasnya.
Melly mendengus, menahan emosinya. "GUE GAK SENGAJA!" sentaknya.
"INI LO BILANG GAK SENGAJA, KAK? ULANGAN GUE NANTI SOSIOLOGI!"
"Belajar."
Ayu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan sudah lelah dengan setiap perang yang terjadi di dalam hidupnya. Gadis itu lebih memilih mengintip di dalam kelas Sosial yang terlihat menyejukkan karena persaudaraan terasa begitu kental. Seperti layaknya saudara, kelas Sosial selalu bertengkar karena mereka sama. Atensi Ayu terrcuri kepada dua remaja yang berada di sudut belakang kelas sosial tersebut.
"Nah, Mahen. Perkembangan sosial menurut para ahli itu berbeda-beda, salah sat—" Ucapan gadis berparas cantik dengan rambut yang dikepang satu itu terhenti saat mendengar suara bel. Pandangannya kini beralih pada seorang lelaki yang masih memandanginya dengan saksama.
"Kenapa berhenti?"
Lentera refleks terkekeh, mengusap pelan tengkuknya yang tidak gatal. "Sudah jam pulang, Mahen." Gadis itu lantas meraih kotak pensil berwarna merah jambunya, dan memasukkannya ke dalam tas.
"Penjelasan lo belum selesai, Tera."
"Kan, bisa dilanjut besok, Mahen."
"Besok hari minggu."
Lentera mengerucutkan bibir merah ranumnya. "Ini sudah jam dua lewat, Mahen. Jam belajarku itu dari jam tujuh pagi sampai jam dua siang, lalu dilanjut lagi saat jam delapan malam sampai jam sepuluh. Jangan merusak jam yang sudah aku susun dengan rapih!"
Mahen mengangkat satu alisnya, menurunkan kacamata baca yang bertengker di hidung bengirnya. "Selesaikan sesuatu yang lo kerjakaan sampai selesai, bukan sampai waktu yang selesai." Lelaki itu menunjuk materi sosiologi yang ada di depannya.
"Masih ada hari esok, Mahen." Jadwal Lentera setelah pulang sekolah adalah pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu yang mencuri perhatiannya, namun Mahen sudah menghabiskan limabelas menit waktu berharganya. "Bagaimana kalau kita bertemu besok di Kafe?" usul Tera, ini adalah suatu siasat supaya menghabiskan akhir pekannya bersama cinta pertamanya.
"Gue mau ngantar Mami arisan," ujar Mahen, menolak. Karena mengetahui niat licik sang gadis, ia tidak ingin memberikan ruang kepada gadis blok utara semakin menyukainya. Mereka berbeda.
"Ke mana?"
"Jauh."
"Jauhnya ke mana, Mahen?"
Mahen menghembuskan tawanya saat menyadari bahwa Lentera yang ia paksa untuk menjauhinya, kini benar-benar menjauh. Sangat. Bubur ayam yang menjadi alasan ia menahan Lentera hari itu kini sudah dingin. Tidak ada Lentera yang selalu mengoceh saat ia membuat kesalahan akan apapun. Kehidupan sosial yang dipelajari keduanya di kelas IPS kini sudah menghilang di kehidupan Mahen. Ia sudah menjauhi kehidupan sosial setelah dunianya pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED: MAYBE, IN ANOTHER LIFE
General FictionSebuah janji dari dua manusia di kehidupan terdahulu, membuat keduanya harus menebus janji sekaligus dosa yang membawah dendam. Dendam yang kembali memaksanya untuk memenuhi janji yang bukan tanggung jawabnya. "Kita berdua dilahirkan untuk menebus j...