"Apaan tuh?" Aku menunjuk satu buah kardus yang baru saja Mas Dewa masukkan ke dalam rumah.
Setelah mengusap peluhnya, Mas Dewa menjawab,"Oh itu bak mandi bayi. Kamu mau lihat?"
Ku anggukan kepala sebagai tanda setuju. Mas Dewa membawa kardus itu mendekat ke arahku. Wajahnya begitu sumringah.
"Kamu beli di mana?"
"Tadi, di baby shop dekat kantornya Dean. Baru buka beberapa hari yang lalu tapi yang jadi ambassador udah artis-artis."
Aku hanya menjawabnya dengan Oh panjang saja sambil memperhatikan tangan Mas Dewa yang dengan lincah sedang membuka kardusnya.
Di lihat dari bungkusannya yang rapi dan tersegel itu, jelas tidak mungkin Mas Dewa membeli bak mandi duduk seperti kepunyaan ku zaman dulu ketika aku bayi. Tingginya saja hampir menyerupai nakas di kamar.
Saat atasnya terbuka, aku langsung menemukan sebuah bak berwarna putih. Yang ini agak slim , tapi aku tahu kalau di dalamnya pasti ada kegunaan-kegunaan tersembunyi. Oke, mari kita dengarkan Mas Dewa menjelaskannya.
"Bak mandi ini di lengkapi teknologi yang bisa menghasilkan air panas, jadi enggak perlu repot-repot ambil air panas dari shower terus bak mandinya di desain dengan berbagai kelebihan, salah satunya bisa membuat bayi nyaman saat mandi. Begitu kata penjualnya. Gimana? Recommended enggak?"
Aku meringis mendengarnya. Begitu detail sekali informasi yang di berikan Mas Dewa. Tapi kembali lagi, harganya cuma satu jutaan kan? Tapi...
"Untung tadi dapat diskon dari tokonya."
"Diskon berapa?"
"Sejuta."
Loh-loh, kalau kisarannya jika sesuai prediksi ku, harganya sejuta, kenapa diskonnya sejuta? Enggak mungkin jadi gratis kan.
"Emangnya harga semula berapa? Kok baik banget ngasih diskon sampai sejuta, Mas?"
"Harga awalnya? Oh 30-an. Terus di diskon jadi 29-an aja. Katanya buat pengunjung baru, tadi aku juga dapat kartu voucher diskon lagi dengan minimal belanja sejuta. Kapan-kapan aku ajak kamu ke sana deh."
"Tunggu-tunggu, 30-an itu?"
"30 juta."
Brak!
Buku kehamilan yang berada di tanganku jatuh begitu saja. Mungkin dia juga merasa kaget dengan penuturan Mas Dewa. Aku tahu sih akhir-akhir ini, Mas Dewa kerap menyisihkan penghasilan nya untuk bersedekah. Kemarin saja, dia menyerahkan banyak baju dan sepatu yang sudah tidak di pakainya untuk Pak Hardi dan satpam kompleks.
Dan ku kira, gila belanja nya sudah sembuh eh kenapa malah kambuh lagi.
"Terus kamu beli bak ini 29 juta dong?"
Mas Dewa yang cengengesan langsung mengangguk.
Aku menghela nafas berat.
"Mas-mas, tobat mu kapan coba? Jangan-jangan nanti pas anak kita masih balita udah di beliin helikopter lagi!"
"Rencananya sih gitu..."
"Mas!" Aku menghardiknya," aku enggak mau ya anak kita tumbuh jadi anak pemalas dan manja. Nanti waktu dia udah besar, kalau mau apa-apa harus usaha dulu, kecuali kebutuhan pokoknya. Biar dia bisa menghargai proses."
"Aku kan enggak bilang mau bikin anak kita jadi manja, pemalas dan gimana-gimana. Aku cuma berusaha menyalurkan kasih sayang aja."
"Kasih sayang itu enggak melulu soal materi, Mas. Kamu nemenin dia main, bacain dongeng sebelum tidur atau antar dia ke sekolah, itu udah termasuk salah satu hal untuk menunjukkan kasih sayang."
"Pokoknya belanja-belanja perlengkapan bayi udahan. Lagian semuanya sudah kebeli. Belinya lagi kalau dia udah gede, bayi kan biasanya pertumbuhannya cepat."
"Siap, Macan."
"Apa? Macan? Kamu ngatain aku macan karena aku suka ngomel-ngomel ya?"
"Ish, bukanlah. Macan itu singkatan dari Mama cantik!"
"Dih, alay tahu!"
"Terus bak puluhan juta itu mau di kemanain semisal anak kita udah gede?"
"Mas-mas, daripada beli bak seharga motor itu, kenapa enggak beli motor aja?"
"Ya kan skala prioritas kita buat anak. Enggak boleh perhitungan dong."
"Tapi kalau di beliin motor bisa dapat dua, Mas. Ngapain coba buat beli bak mandi bayi."
Mas Dewa duduk di sebelahku, menyeruput es jeruk yang tinggal setengah.
"Di kasih ke orang juga boleh. Kata kamu kan kita harus sering-sering berbagi. Oh iya, kamu enggak usah masak makan malam. Aku mau ngajak kamu makan di luar."
"Ngidam lagi?" Aku langsung menebaknya demikian karena di lihat dari wajahnya, Mas Dewa terlihat kepengen sesuatu.
"Kayaknya iya, dari kantor tadi aku udah kepikiran sama soto lamongan. Kayaknya malam-malam makan soto enak juga."
Asyik mengobrol, aku sampai menghiraukan bunyi notifikasi dari ponsel. Untung Mas Dewa menyadarkan ku.
Begitu aku menyalakan layar ponsel, mataku langsung membulat.
"Ngapain kamu transfer uang 30 juta ke rekening aku, Mas?!"
"Biar enggak marah-marah terus."
Aku meredakan emosi di dada. Mas Dewa ini benar-benar sesukanya sendiri.
***
"Mas, hari ini aku izin ikut senam Ibu Hamil ya?"
"Iya, mau di antar enggak?" Mas Dewa menyerupai kopinya sebentar lantas bersiap berdiri.
Karena rencananya, aku ingin berangkat bersama Melia, maka aku menolak tawarannya.
"Kebetulan di kelas itu ada kegiatan senam zumba nya juga, Mas. Jadi aku mau berangkat bareng Melia. Paling nanti selesai jam sepuluhan."
"Oh ya sudah hati-hati. Bilang sama Melia, jangan ngebut-ngebut."
"Beres."
Setelah Mas Dewa pamit pergi bekerja, tak lama kemudian mobil Melia langsung datang. Teman ku selama di kompleks ini itu sudah nyentrik dengan pakaian senam nya. Akhir-akhir ini, Melia memang rutin ikut kelas zumba setelah dia mengeluh kepadaku mengenai kenaikan berat badannya.
"Sudah siap, Nyonya Alfian?"
"Dari tadi dong. Eh, situ beneran rutin ikut zumba buat ngecilin berat badan?" Aku masuk ke dalam mobilnya.
Melia meringis.
"Sebenarnya ada alasan lain, sis."
"Apa?" Aku mengaitkan sabuk pengaman.
"Instruktur zumba nya ganteng banget."
"Eh, kok gitu. Gue bilangin suami lo ya."
"Suami gue udah tahu. Doi tahu sih kalau gue ini enggak benar-benar suka sama instruktur senam nya, sekedar kagum aja. Tapi awalnya sih doi cemburu berat sampai ngelarang aku kemana-mana."
"Gila lo!"
"Ya sekali-kali ngetes suami kan enggak masalah. Buat ngukur seberapa cintanya suami ke kita."
"Ya tapi kagak pakai cara ngecengin instruktur senam juga dong, curut. Heh, gue enggak bisa bayangin kalau suami lo itu Mas Dewa. Udah kebakaran jenggot pasti!"
"Entar lo lihat sendiri."
"Maksud lo?" Aku hampir aja meninju lengan Melia setelah melihat seringai licik di bibirnya.
"Baru aja gue bilang sama Dewa kalau instruktur senam hamil lo si Ferdi, instruktur senam gue yang ganteng itu."
"Heh gila ya lo! Hapus cepetan pesannya."
"Yah sayang, Dewa udah baca pesan dari gue."
"Ih, Melia!"
Gila ya dia. Gimana kalau Mas Dewa datang ke tempat senam dan mengacau di sana, yang jelas itu bisa di lakukan Mas Dewa kapanpun dia mau. Oh Tuhan, kenapa hamba di beri teman sejenis Melia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Richie Hubby [Terbit Ebook]
Romance[Terbit Ebook] Ebook bisa dibeli di: https://play.google.com/store/books/details?id=_XmXEAAAQBAJ&PAffiliateID=1101l7N6J "when two humans are brought together in a bond called marriage"