10/10

594 117 137
                                    


Kedua mata Kalandra sudah berkaca. Dia takut pada Jeffrey yang sudah tersenyum tipis padanya. Sembari berjalan pincang ke arahnya.

"Jeffrey---"

Justin langsung berdiri di depan Kalandra. Wajahnya juga sudah pucat pasi sekarang. Sebab takut wanita yang dicinta diapa-apakan.

"Jeffrey, aku yang salah. Aku yang menggoda Kalandra. Jangan sakiti dia, dia sedang mengandung anakku sekarang."

Jeffrey tertawa sumbang. Membuat Justin mundur perlahan. Begitu pula dengan Kalandra yang sudah ketakutan di belakang.

"Sejak kapan? Sejak kapan kalian bermain belakang?"

Tanya Jeffrey sembari menatap lautan. Memalingkan wajah dari Justin yang sedang menatap takut dirinya. Serta Joanna yang mungkin saja sedang mengasihaninya.

"Satu tahun yang lalu. Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu ini salah. Aku juga akan bertanggungjawab. Aku akan menikahi Kalandra jika kamu ceraikan."

Plak...

Bukan, bukan Jeffrey pelakunya. Namun Joanna. Dia menampar Justin di tempat. Dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Sebab dia benar-benar merasa sakit hati sekarang.

Merasa dikhianati juga. Padahal, seharusnya dia senang, bukan? Karena hidup Jeffrey tidak jauh lebih baik darinya.

"Kalian berdua benar-benar menjijikkan! Justin, sampai hati kamu mengkhinati Jeffrey? Bukankah kalian teman baik? Kalian bahkan sudah berteman sejak kecil! Tapi, bisa-bisanya kamu melakukan ini!"

Joanna mendorong Justin, membuat tubuh Kalandra terlihat olehnya saat ini. Membuatnya tersenyum getir. Serta, menatap tajam Kalandra yang sudah menangis sembari memegangi perut yang sedikit membuncit.

"Kukira kamu wanita baik-baik. Padahal, aku sempat kagum padamu karena telah membesarkan Raja dengan baik meskipun hidup pas-pasan bersama Jeffrey. Tapi ternyata aku salah. Karena kamu tidak lebih baik dari PSK yang suka menjajahkan diri di jalan. Kenapa? Mau marah? Aku benar, kan? Kamu melakukan ini demi uang, kan? Karena Justin akan menjadi kepala sekolah. Itu sebabnya kamu rela mengangkang di depannya! Melupakan suamimu yang tidak pernah libur kerja! Bahkan sakit saja tidak dirasakan!"

Pekik Joanna sembari melirik kaki Jeffrey. Karena darah sudah memenuhi aspal yang dipijak saat ini. Jeffrey bahkan tidak bergeming. Tidak memaki apalagi memukul Justin. Membuat Joanna geram sendiri dan akhirnya ikut campur seperti ini.

"KAMU TIDAK PERLU IKUT CAMPUR! KAMU TIDAK TAHU BETAPA MENDERITANYA AKU YANG TELAH HIDUP DENGAN SUAMIKU BERTAHUN-TAHUN! MENIKAH DI USIA DUA PULUHAN! MENGONTRAK DAN HIDUP PAS-PASAN! SERING DITINGGAL SENDIRIAN! KESEPIAN DAN MASIH BANYAK YANG LAINNYA! BELUM LAGI KETIKA TAHU SUAMIKU MASIH SERING MENCARI NAMAMU DI SEARCHING BAR! KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA MERASAKAN PENDERITAAN YANG KURASAKAN! HIDUPMU SEMPURNA DAN TIDAK PERNAH MENDERITA!"

Joanna maju satu langkah. Mendongakkan kepala dan melipat kedua tangan di depan dada. Seolah menantang Kalandra yang memang jauh lebih tinggi darinya.

"Hidupku sempurna dan tidak pernah menderita? Kalau hidupku sempurna, aku pasti sudah menikah dan memiliki anak! Dan kalau aku tidak pernah menderita, aku pasti tidak akan minum banyak obat demi bisa tidur setiap malam! Kamu bahkan tidak tahu apa yang telah kukorbankan untuk mencapai titik ini. Masa mudaku, kesehatanku dan waktu bersama keluargaku! Kalandra, semua orang berjuang! Kamu, aku, Jeffrey dan Justin! Semuanya! Selama ini kamu hanya berfokus pada dirimu saja dan menolak menatap sekitar! Bertingkah seolah kamu adalah orang yang paling menderita, padahal fakatnya tidak! Kamu hanya ingin mencari kambing hitam karena enggan disalahkan!"

Setelah berkata seperti itu, Joanna langsung pergi. Meninggalkan mereka yang mungkin akan berdebat lagi. Mengingat Justin tampak ingin mengatakan sesuatu pada Jeffrey. Namun tidak dengan Kalandra yang sepertinya sudah malu saat ini.

Satu tahun kemudian.

Jeffrey dan Kalandra sudah bercerai. Kalandra juga sudah melahirkan anak Justin. Karena mereka telah menikah dua bulan setelah Kalandra diceraikan Jeffrey.

Raja, dia ikut bersama Kalandra. Sebab Jeffrey memang lebih memilih kembali merantau di luar kota. Mengingat Raja sudah memiliki ayah baru sekarang. Kepala sekolah pula.

"Masakan Tante tidak enak. Keasinan! Enak masakan Mama!"

Komentar Raja pada Joanna. Karena saat ini mereka sedang liburan di Bali bersama. Mengingat Jeffrey dan Joanna memang sudah berdamai sejak insiden di dermaga.

"Raja!"

Tegur Jeffrey pada anaknya. Karena saat ini dia memang sengaja membawa Raja dan Amara liburan bersama. Mengingat mereka sudah naik kelas tiga dan sebentar lagi akan sibuk ujian.

"Memang benar, kok! Amara, coba rasakan! Pasti tidak enak, kan?"

Amara yang sedang memainkan ponsel langsung mengangguk singkat. Karena spaghetti buatan kakaknya memang keasinan. Masih mentah pula. Itu sebabnya dia malas makan.

"Ya sudah, aku pesankan saja. Kalian mau makan apa?"

Joanna langsung berjalan menuju telepon rumah yang ada di penginapan. Berniat memesan sarapan saja. Mengingat usahanya untuk memasak gagal total.

"Tidak ada pesan-pesanan! Kalian harus belajar untuk tidak buang-buang makanan! Kalian kira mencari uang untuk makan mudah!?"

Jeffrey yang melihat banyak makanan di maja makan yang hampir terbung sia-sia langsung turun tangan. Memasak ulang spaghetti buatan Joanna. Hingga rasanya enak sesuai selera anak-anak.

Setelah sarapan, Raja dan Amara berenang di kolam. Sedangkan Jeffrey dan Joanna duduk di tepi saja. Mengawasi mereka yang tampak begitu senang karena bisa liburan setelah sekian lama mendekam di desa.

"Aku tidak menyangka kamu bisa memiliki adik seumuran Raja."

"Aku juga tidak menyangka kamu bisa menikah muda."

Jeffrey terkekeh pelan. Lalu bercerita tentang masa lalunya. Tentang dia dan Kalandra yang kenal di sosial media. Bertemu pertama kali di Jakarta. Dan menikah beberapa bulan kemudian karena hamil Raja.

"Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan lagi? Menyusul pacarmu di Aussie?"

"Dia bukan pacarku."

Jeffrey terkekeh pelan, karena sejak dulu dia memang suka menggoda Joanna. Suka dengan reaksi wajahnya yang begitu lucu menurutnya.

"Lalu?"

"Salah satu teman baikku."

Jeffrey mengangguk singkat. Agak merasa cemburu juga. Karena selama satu tahun ini mereka memang kembali dekat. Namun hanya berteman saja. Sebab Joanna memang selalu menghindar jika digoda lebih dekat.

"Kalau hanya teman, tidak mungkin kamu sampai mengirim email untuknya setiap hari seperti itu."

"Kita juga hanya teman. Tapi aku mengizinkanmu tinggal di tempatku."

Jeffrey bungkam. Karena sampai kapanpun juga dia tidak akan pernah bisa mendebat Joanna. Mengingat wanita itu memang suka memutar ucapan.

"Setelah dari Bali, aku akan pindah. Aku sudah menemukan tempat tinggal dekat pabrik."

Jeffrey bangun dari duduknya. Membuat Joanna merasa bersalah padanya. Padahal, Joanna sama sekali tidak keberatan jika Jeffrey ikut tinggal di apartemennya. Mengingat di sana ada Merida juga.

"Jeffrey, bukan begitu maksudku. Aku tidak bermaksud---"

"Aku juga tidak bermaksud apa-apa. Karena aku memang sudah merencanakan ini sejak lama. Lagi pula, aku sudah jadi supervisor sekarang. Kalau untuk menyewa tempat tinggal saja, masih bisa aku lakukan. Tenang saja, aku janji akan sering mengunjungi kamu dan Merida."

Joanna tersenyum tipis. Bangga juga dengan Jeffrey yang bisa bangkit secepat ini. Karena dia memang pekerja keras sekali. Tidak heran jika dia bisa naik jabatan meskipun belum ada satu tahun kerja di pabrik.

Tbc...

SOURCE OF HAPPINESS [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang