Setelah tiga bulan lamanya Arin memilih untuk hidup berjauhan dengan Arka. Ia merasa kondisi hatinya lebih membaik, meskipun penyakit beratnya masih belum sembuh total. Sekarang, ia hidup dengan keluarga Ayra. Iya, benar. Sahabatnya itu sudah memiliki seorang pendamping hidup. Siapa lagi kalau bukan Kak Angga.
Jujur, semenjak laki-laki itu bersedia menjabat tangan wali nikah ketika akad. Arin merasa sangat bahagia. Akhirnya, setelah penantian panjang Ayra bertemu dengan pangeran impiannya. Sosok yang selalu ada ketika mereka sedang menempuh pendidikan di Singapura. Sosok yang selalu memberikan semangat untuk keduanya di sana.
Takdir memang tidak bisa ditebak untuk kita akan jatuh cinta kepada siapa. Cinta kita akan berlabuh ke mana.
Jodoh itu kayak kita lagi nonton pertunjukkan sulap. Kita nggak tau rahasia apa yang bakal terjadi selanjutnya. Contohnya Kak Angga dan Ayra. Mereka yang memilih bersatu dalam ikatan halal. Berjalan dan belajar bersama.
Setelah lama dipelajari. Ternyata orang bukan takut dengan namanya cinta. Hanya saja mereka takut bertemu orang yang salah. Semua orang ingin merasa dicintai. Cinta dan setia akan selalu menjadi dambaan bagi siapa saja.
Kini, mereka mengikrarkan untuk memelihara cinta, rasa, dan setia dalam ikatan halal ini.
Sebenarnya, ia sudah sering mengulang permohonan untuk tinggal sendiri di rumah lain kepada Ayra. Namun, sahabatnya sama sekali tidak memberi izin untuk hal tersebut. Ada rasa cemas, khawatir, dan takut untuk melepas Arin seorang diri. Apa lagi Arin masih berstatus sebagai pasien pengidap kanker otak stadium 3.
Keadaan fisik Arin sekarang sangat jauh dari kata baik. Terkadang kakinya tidak bisa dibawa untuk berjalan. Begitu pula dengan ingatannya yang kadang baik dan kadang sebaliknya. Sampai beberapa waktu ia lupa tentang segala hal. Namun, yang paling membuat keadaannya semakin memburuk adalah saat ini Arin dalam keadaan hamil. Kondisi itu yang membuat Arin bertambah lemah. Ia juga tidak mau kehilangan anaknya.
"Hai, Arin!" sapa Ayra ikut duduk di samping sahabatnya.
"Hai, Bestie. Bahagia banget nih sahabat aku satu ini. Ngapain ke sini?Kak Angga mana?" tanya Arin mencari keberadaan seseorang.
"Harus bahagia dunk. Gue mau lihat sahabat gue yang keras kepala dulu nih. Kebetulan Kak Angga kerja, jadi bebas deh."
Iya, memang mereka berdua berada dalam satu rumah yang sama. Namun, Kak Angga memberikan Arin di bagian belakang dengan semua fasilitas yang lengkap. Jadi mereka semua tetap memiliki privasi masing-masing. Tidak ada yang merasa tidak enak dan tertekan. Jadi, Arin bebas melakukan apa saja di dalam rumahnya tanpa ada gangguan dari keluarga kecil Ayra dan begitu pula sebaliknya.
"Lo lagi ngapain tuh?" tanya Ayra penasaran.
"Nggak ada, tadi gue gabut. Trus ingat deh mau jahit baju buat anak gue. Biar dia bisa pakai baju buatan emaknya sendiri. He he." Arin menunjukkan rajutan yang ada di tangannya.
Ayra tersenyum lebar mendengar jawaban sahabatnya. Arin selalu bahagia saat diajak berbicara tentang anaknya.
"Ra," panggil Arin.
"Hm?"
"Nanti waktu bayi gue lahir dan gue nggak bisa untuk diselamatin. Gue minta tolong kasih dia ke ayahnya, ya. Ntar kalau Mas Arka nggak mau nerimanya atau dia udah bahagia bersama Kak Nadia dan keluarga kecilnya yang baru. Gue minta tolong lo kasih dia ke orang tua gue ya, Ra. Jangan pernah lo titip dia ke panti asuhan. Gue mau anak gue nanti nggak ngerasa jadi anak terbuang. Gue nggak mau juga nanti dia ngerasa nggak punya keluarga. Gue percaya sama lo."
"Bisa nggak lo berhenti ngomong itu. Gue yakin lo pasti kuat kok," ketus Ayra dengan mata berkaca-kaca.
Batin Ayra terasa sangat terluka mendengar kata-kata yang terlontar dari sahabatnya. Dari SMP ia terus mendampingi Arin hingga sekarang.
Apakah persahabatan mereka berakhir dengan kesedihan yang seperti itu?
Apa Ayra harus merasa kehilangan saat itu?
Apa Ayra siap menerima kenyataan bahwa kisah akhir sahabatnya adalah kematian?
Dokter berulang kali mengatakan bahwa untuk kondisi Arin tidak memungkinkan lagi untuk hamil dan melahirkan, karena kondisinya yang cukup lemah dan rentan. Banyak risiko besar yang akan ia hadapi nantinya. Namun, sesering itu juga Arin membantah bahwa ia pasti bisa melahirkan generasi baru yang akan melanjutkan estafet kehidupannya.
"Kapan sih lo mau bilang sama Kak Arka soal kehamilan ini?" tanya Ayra.
"Jujur, gue mau banget bilang ke dia soal ini. Dulu Kak Arka nunggu ini, Ra. Sekarang, gue takut aja kalau berita ino bisa merebut kebahagiaan dia bersama Kak Nadia." Arin menghentikan aktivitasnya.
"Kenapa sih lo yakin banget kalau Kak Arka sama Kak Nadia. Gue tau lo kecewa sama dia. Gue tau lo marah sama dia. Tapi, lo juga nggak bisa ngambil kesimpulan semudah itu. Lo ingat kan apa yang dia bilang sama Kak Nadia dulu? Dia berharap sama perempuan itu dan dia juga pernah menyimpan rasa sama Kak Nadia. Namun, ada bahagia lain yang harus dia pertahanin. Ada hati lain yang harus dia jaga. Lo harus ingat dua kalimat terakhir dia, Rin. Itu tandanya Kak Arka sayang dan cinta banget sama lo. Dia nggak mau ngerusak kebahagiaan lo. Dia bakal jaga hati buat lo," jelas Ayra sedikit amarah.
"Jelas-jelas dia bilang itu, Rin. Mungkin benar dia ada rasa sama Kak Nadia, tapi dia sadar diri akan posisinya saat ini. Dia mau berjuang buat pernikahannya, Rin. Jadi, kenapa sih lo masih aja egois dan mikir kalau dia punya hubungan sama Kak Nadia sekarang. Gue sih yakin kalau Kak Arka masih mau berjuang buat lo. Dia nggak bakal mencari sosok baru yang gantiin posisi lo sekarang. Bahkan, mungkin sekarang dia lagi frustrasi cari keberadaan lo," timpal Ayra dengan nada tinggi.
Ayra sangat kesal harus mendengar jawaban dari sahabatnya yang selalu menyebut nama Kak Nadia di setiap pembicaraan. Seperti tidak ada sosok lain lagi yang membuatnya percaya akan sosok Arka.
"Kamu kenapa sih, Ra. Terus aja bela Kak Arka," ucap Arin kesal.
"Bukannya membela sih, Rin. Gue cuma mau buat lo sadar kalau Kak Arka masih sayang sama istrinya yang keras kepala ini," sahut Ayra tersenyum tipis.
"Ayra, lo harus dengar gue. Kalau memang kakak kelas lo itu masih sayang sama gue. Dia nggak bakal bilang perasaannya sama Kak Nadia," ketus Arin.
"Hm, menurut gue itu bukan mengatakan perasaan sih. Dia bilang gitu supaya Kak Nadia sadar aja kalau memang Kak Arka mau menjaga lo dengan sempurna tanpa campur tangan perempuan itu. Sejenis penegasan gitu." Ayra menaikkan salah satu alisnya.
"Terserah lo, deh. Heran, punya teman bukannya bela sahabat sendiri malah bela yang lain," jawab Arin berlalu meninggalkan sahabatnya.
Sebenarnya alasan Ayra bicara seperti itu bukan karena ia membenci Arin. Hanya saja dua hari lalu ia menerima surat kabar yang bertajuk pencarian atas nama Arin. Nama pencari yang tercantum di sana adalah Abdurrahman Arka Ramadhan. Namun, ia dan Kak Angga masih mencoba merahasiakan surat kabar ini dari Arin. Ia ingin membawa Arin mengobrol secara santai dulu. Ia juga ingin membuat Arin sadar kalau sosoknya masih dibutuhkan oleh Kak Arka.
To be Continue!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
RomanceKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...