Arin lama terdiam mendengar satu per satu kalimat yang diucapkan Ayra. Ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa sahabatnya akan membela Kak Arka dengan segitunya.
"Btw, keknya gue harus ke depan dulu deh. Gue harap lo bisa mikir pembicaraan tadi dengan baik. Gue cuma nggak mau lo salah ambil kesimpulan. Tenang aja, gue akan tetap sama lo kok," ucap Ayra meninggalkan Arin.
Ayra bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu. Sepertinya memberi waktu berpikir untuk Arin adalah pilihan yang tepat.
"Ayra ..."
Langkah Ayra terhenti saat mendengar panggilan yang terlontar dari sahabatnya. Ia menoleh dan mengedikkan kedua bahunya seolah bertanya maksud dari panggilan tadi.
"Apa gue boleh ikut sama lo ke depan? Habisnya gue bosen nih di sini sendiri," tanya Arin meminta persetujuan dari sahabatnya.
"Boleh dong. Kuy."
Ayra menyuguhkan tangan kanannya menunggu sambutan dari Arin. Ia selalu berharap persahabatan yang sudah mereka jalin sedari masa SMP ini tidak hancur begitu saja. Mereka harus bisa mempertahankan hubungan ini sampai kapan pun.
"Wait," ucap Arin menghentikan langkahnya.
Sorot mata Arin tertuju ke meja di depan tv. Entah apa yang saat ini sedang ia lihat. Sepertinya itu adalah sesuatu yang sangat penting. Sampai-sampai bisa mengalihkan pandangan Arin. Ayra mengikuti arah tatapan sahabatnya. Sontak ia menepuk dahinya keras. Betapa cerobohnya ia menaruh kertas penting itu di meja tv.
"Bentar deh, itu bukannya koran? Kok ada foto gue, Ra?" tanya Arin penasaran mendapati fotonya.
"Ah, iya. Gue tadi udah baca itu. Katanya lo hebat bisa nyelesaiin program pendidikan di luar negeri dengan status pengidap kanker," sahut Ayra mencari alasan lain sembari menyimpan cepat surat kabar tersebut.
Ayra mengajak sahabatnya untuk berpindah tempat menuju ruang tamu untuk mengalihkan pembicaraan. Namun, ternyata ajakannya mendapat penolakan dari sosok Arin. Perempuan itu masih penasaran dengan foto dirinya yang terpampang di surat kabar. Ia memaksa Ayra untuk memperlihatkan berita dirinya.
"Sini! Gue mau lihat beritanya," paksa Arin meraih koran.
"Nggak ada hal penting di sini, Rin. Ini aja mau gue simpan ke kamar. Lagian punya Kak Angga," sahut Ayra berbohong.
"Biarin. Gue cuma mau lihat fotonya doang," sahut Arin berhasil meraih koran.
Ayra mendadak panik melihat koran tersebut berada di tangan Arin. Ia tidak bisa berbohong lagi. Mau tidak mau Arin sudah melihat berita rahasianya.
"ORANG HILANG?"
"Abdurrahman Arka Ramadhan?"
"Maksudnya?" tanya Arin bingung membacanya.
Ayra menarik napas dalam mendengar pertanyaan dari sahabatnya. Kini, ia tidak bisa mengelak dengan berbagai alasan lagi.
"Maaf gue udah bohong. Iya itu maksud gue di belakang tadi. Lo nggak bisa ngambil kesimpulan kalau Kak Arka bahagia tanpa lo. Lo juga nggak bisa egois bilang kalau Kak Arka milih Kak Nadia. Buktinya itu, dia khawatir dengan keadaan lo, Rin. Dia takut lo kenapa-napa. Dia juga rindu sama hadirnya lo dalam hidupnya. Dia berjuang untuk ketemu sama lo melalui surat kabar itu. Harapannya besar buat ketemu lo. Jarang banget orang yang buat berita kayak gitu," jelas Ayra.
"Kenapa lo nggak jujur aja sih sama gue kalau ada berita ini?" tanya Arin dengan suara serak.
"Maaf, gue mau bilang ini kalau hati lo udah lapang nerima dia. Gue nggak mau pas gue bilang ini lo masih keras kepala dengan opini-opini yang lo buat sendiri. Gue mau mancing lo buat percaya lagi sama sosok dia, Rin. Nggak selamanya apa yang lo pikir itu terbaik," sahut Ayra.
Arin berulang kali menggeleng menatap surat kabar di tangannya. Ia tidak pernah menyangka kalau Kak Arka sampai mengirim ke surat kabar seperti ini. Memang setelah memutuskan untuk berpisah dulu, ia mengganti nomor handphone-nya. Makanya ia sama sekali tidak mendapat kabar terbaru tentang suaminya itu. Faktanya, status Arin saat ini masih tetap sama. Ia masih berstatus sebagai istri dari seorang pemilik nama lengkap Abdurrahman Arka Ramadhan.
"Cafe F2," ucap Arin membaca tulisan singkat dari surat kabar itu.
"Iyaps, Kak Arka minta siapa pun yang jumpa lo buat ketemu dia di Cafe F2. Gue nggak tau pasti apa dia selalu di situ atau nggak. Hal pasti dia ninggalin no hp nya di sana. Jadi, kita bisa ngehubungi dia," ucap Ayra menunjuk menu nomor.
"Menurut lo, gue harus gimana, Ra? Apa gue harus ketemu sama dia sekarang?" tanya Arin.
"Hu'um. Tepat. Gue mau lo datang ke sana buat ketemu sama Kak Arka. Lo bisa bicarain semua yang buat lo marah, kesal, dan kecewa. Lo juga harus jujur dengan perasaan lo sekarang. Jangan egois. Sekalian tuh lo kasih tau kalau ada debay di sini," ucap Ayra tersenyum mengelus perut Arin.
"Iya udah, demi lo gue mau datang ke sana. Asal lo mau nemenin gue. He he," jawab Arin jahil.
Ayra mengacak kepala sahabatnya gemas.
"Dih, dasar gensi. Kok demi gue. Bilang aja kalau lo yang kangen sama dia. Bawa ngejual nama mahal gue," protes Ayra mendelik.
"Janji, ya, lo nemenin," ucap Arin memberikan kelingkingnya.
"Ngapain gue jadi nyamuk di sana. Mendingan gue berduaan sama Ayang Angga ketimbang jadi nyamuk lo."
Ayra beralih duduk di sofa ruang tamu. Ia masih memantau sahabatnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang rumit.
***
"Siap-siap, Rin. Ini sebentar lagi kita sampai," ucap Ayra.
Arin mengangguk yakin dengan dirinya. Segala hal sudah ia persiapkan. Kini, Ayra lebih dulu jalan.
"Nah, itu. Dia udah duduk di sana, Rin," ucap Ayra mengarahkan jari telunjuknya kepada laki-laki di kursi pojok.
'Kenapa kamu kayak orang nggak terurus gini sih, Mas,' gumam Arin membatin.
Arin memperhatikan suaminya dengan sangat lama. Entah apa yang berada di pikiran perempuan itu sekarang. Tentu saja sorot matanya menyiratkan kerinduan mendalam kepada sosok itu. Saat mereka berdua melihat Kak Arka, tiba-tiba Kak Nadia juga menghampiri pria itu. Jantung Arin berdetak tak karuan. Ada rasa marah yang menghampiri dirinya.
"Apa ini yang buat dia mau ketemu gue, Ra? Apa dia mau ngelihatin secara langsung kalau dia masih bisa bahagia tanpa gue. Kak Nadia bisa ngasih kebahagiaan lebih ke dia? Dia kejam, Ra!" umpat Arin terisak.
"Bentar, lo harus lihat raut wajah suami lo dulu, Rin sebelum ngambil kesimpulan. Jelas banget kalau dia gak suka sama kehadiran Kak Nadia," jawab Ayra yang masih terus meyakinkan sahabatnya.
"DIA KEJAM, RA! GUE MAU PULANG!"
Arin berteriak dan lari menuju mobil. Ia tidak lagi menghiraukan segala iming-iming yang keluar dari mulut Ayra.
To be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
RomansaKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...