Lembar kelima; alumni buaya

143 103 15
                                    

"Pengalaman adalah guru paling gratis."


—Haikal


Suara bising motor tenggelam oleh celoteh dari Bagas, remaja laki-laki itu tak henti-hentinya bercerita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suara bising motor tenggelam oleh celoteh dari Bagas, remaja laki-laki itu tak henti-hentinya bercerita. Mulai dari masalahnya di sekolah, tentang ulangan matematika yang jawabannya terus beranak, geografi si mata pelajaran yang bahasannya beda-beda, tugas merangkum halaman 290-321 mata pelajaran Sejarah Peminatan dan masih banyak lagi.

Bukan Serayu tidak senang akan semua cerita dari Bagas, tapi Serayu ingin menjadi seorang pendengar yang akan mulai berbicara saat semua keluh-kesah Bagas tersampaikan dengan baik. Lagipula, Bagas bukan tipe orang yang marah saat sungutnya tidak ditanggapi, mempunyai tempat untuk berkeluh saja dia sudah senang.

Terlebih tempat itu Serayu. Tempat dimana segala tetek-bengek diterima sampai ke akar-akarnya. Walau si gadis sering memberi tanggapan yang tidak serius.

Dan sekarang, mereka berdua berhenti sejenak di jembatan. Lokasinya persis seperti tadi.

"Serayu, airnya gak keruh lagi liat!" Senyumnya mengembang, lesung pipinya muncul tipis-tipis.

"Suka keruh banget ya emang?"

"Hooh. Keruhnya kadang item, kalau airnya lagi item, aku panggil malika."

Serayu menatap si lelaki penuh tanya. "Malika?"

"Iya, air hitam pilihan."

"Aku kira apa!" Tangannya menepuk singkat pundak Bagas. "Ayok jalanin lagi motornya!"

"Atuh ngapain aku jalanin? Kan bisa jalan sendiri dia."

"Bawa motornya cepet!"

"Gak kebawa sayang, berat. Kamu weh nih!" Bagas berakting seolah hendak turun dari si bereum kesayangan. Serayu hampir terjungkal karena sedikit terkejut.

"Agas, serius atuh ih!"

"Sera, aku mau ngomong ...."

"Sok geura ngomong, gak ada yang larang tahu."

Saat itu juga, telunjuk bagas terarah sempurna pada aliran sungai. "Kalo kamu kangen aku, inget sungai aja."

"Iya sih, butek, kayak kamu."

"Bukan itu maksud aku—"

"Terus?"

"Kamu inget gak? Tadi kamu bilang aku satu spesies sama buaya?"

Serayu mengangguk, jelas ingatannya masih berfungsi dengan baik.

"Nah, kalau kamu liat sungai otomatis kamu inget aku."

"Ogah tahu, Gas. Kamu kalau ngasih bayangan jangan sungai, minimal pantai atau mentok-mentok danau lah. Gak elit kalau tiba-tiba aku liat sungai terus bayangin kamu eh yang muncul malah pisang goreng."

Rintik Sedu Di Kota Hujan [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang