"Dari jutaan perasaan suka yang ada di muka bumi, ada banyak air mata yang jatuh karenanya. Namun, berapa banyak yang jatuh karena khawatir rasa sukanya mengalahkan rasa cinta pada Sang Pencipta?"
----
Alifa menutup do'anya setelah sepuluh menit. Ujung matanya basah. Hidungnya bahkan terasa gatal karena berair. Ia harus bersusah payah menahan air matanya untuk tidak mengalir lagi. Alifa tidak ingin besok pagi saat ia pulang lagi ke kotanya, matanya masih terlihat bengkak dan menjadi tanda tanya besar bagi kedua orang tuanya.
Untuk mengalihkan pikiran, Alifa akhirnya melepas mukenah dan menyimpannya di dalam lemari. Ia memilih untuk membuka tirai jendela selebar mungkin dan menikmati pemandangan malam kota penuh lampu kelap-kelip dari atas kasur yang empuk.
Melihat langit yang gelap, ingatan Alifa seolah kembali dilemparkan pada kejadian satu tahun yang lalu saat ia masih magang di salah satu rumah sakit di kota ini. Rumah sakit yang menjadi tempat pertemuan pertamanya dengan Yudha. Awal cerita yang tak pernah Alifa sangka akan begini ujungnya.
Setelah pertemuan terakhir mereka di depan kosnya saat itu, Alifa pikir kisah mereka berhenti sampai di sana. Bagi gadis yang asing dengan rasa, Alifa yakin Yudha hanya singgah sebentar. Pertemuan itu sama saja. Tidak ada istimewanya dibanding pertemuan yang lain. Namun, lihat apa yang terjadi pada hatinya saat Satria membawa kabar itu satu bulan yang lalu.
Sebetulnya, tidak ada yang serius dengan kabar yang dibawa Satria. Toh, itu bukan pertama kalinya Satria menawarkan beberapa orang rekan kerjanya pada Alifa untuk sekedar berkenalan. Alasannya sederhana karena katanya Alifa sudah cukup umur untuk berumah tangga. Satria bilang, mana tahu jatuh hati lalu menikah.
Biasanya, jika Satria sudah mulai iseng seperti itu, Alifa tinggal menolak saja. Meski sering berusaha mengenalkan banyak orang, Satria sejatinya tidak pernah memaksa. Bahkan, orang tua Alifa pun tidak pernah menuntut dirinya untuk cepat menikah. Namun, saat Satria lancar menyebutkan nama Yudha lewat telpon, hari itu Alifa membeku. Bukan. Bukan tubuhnya yang lantas lemas, melainkan hatinya yang kemudian bergetar hebat.
Bagi Alifa, semuanya adalah yang pertama kali. Meski sangat ingin menyetujui permintaan Satria, ia sempat pura-pura menolak. Ia merasa amat aneh dengan dirinya sendiri yang entah kenapa ingin sekali bertemu laki-laki itu.
Urusan itu baru menemui titik terang kala saudara satu susuannya datang ke rumah bersama istrinya. Malam itu, ia juga duduk memerhatikan langit malam seperti saat ini. Saudara satu susuannya itu tidak berbicara banyak. Ia hanya bilang
"Kalau memang segitu inginnya, lakukan saja. Boleh jadi memang jodohmu, kan. Toh, kalian kan tidak langsung menikah."
Kalimat sederhana yang bisa menebak isi hati Alifa dengan tepat. Kalimat yang membuat Alifa sedikit berani untuk bilang pada Satria bahwa ia setuju bertemu laki-laki itu.Semua ingatan itu akhirnya terhenti kala Alifa mendengar telfonnya berdering. Ia pikir Satria yang akan menelfon untuk iseng atau sejenisnya. Jika benar, Alifa tentu saja akan berpura-pura tidak dengar dan membiarkan panggilan itu sampai terputus sendiri. Namun, huruf yang tertulis di layar membuat Alifa menghela nafas lega dan memutuskan untuk menyentuh layar hijau, mengangkat panggilan itu.
"Assalamu'alaikum, bang."
Benar. Panggilan itu berasal dari saudara satu susuannya. Seseorang yang meskipun tidak ada ikatan darah secara harfiah, sudah menjadi mahram lantaran disusui dan dibesarkan oleh ibu kandung Alifa.
"Wa'alaikumussalam, dek. Kamu udah pulang? Tadi diantar Mas Satria ga?"
"Udah, bang. Alifa udah di hotel. Tadi diantar Caca, kok."
"Kamu sih, pake acara pengen nginap di hotel segala. Padahal, ga ada salahnya loh, kamu nginap di rumah bude."
Percakapan basa-basi itu berlangsung beberapa menit. Alifa bahkan sempat menanyakan kabar kakak iparnya yang baru saja dinyatakan hamil. Namun, Alifa tahu pasti bahwa percakapan penting itu tidak lama lagi akan berlangsung. Semuanya hanya soal waktu.
Benar saja. Tebakan Alifa sama sekali tidak meleset. Setengah jam berbasa-basi, pertanyaan penting itu akhirnya meluncur.
"Jadi gimana, dek? Kalian jadi lanjut ke tahap ta'aruf?"
Sayangnya, persis satu detik setelah kalimat tanya itu selesai, Alifa tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Dan ujungnya, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah kembali.
"Loh, kamu kok nangis? Kenapa? Pertemuannya ga berlangsung lancar?"
Pertanyaan itu, juga tidak ada jawaban beberapa menit setelahnya. Alifa masih sibuk menangis. Ia susah payah mengontrol sedu-sedan yang sesekali lolos dari bibirnya.
Kalian tahu, perasaan suka bagi banyak orang mungkin biasa saja. Hari ini suka A, boleh jadi besok suka B. Suka hanya perasaan yang mudah berubah dalam hitungan detik. Namun, bagi segelintir orang, perasaan suka itu amat dahsyat dampaknya. Jangankan berubah dalam hitungan detik, bertahun-tahun berlalu, rasa suka itu masih tetap tersisa. Walau terkadang hanya bisa menghuni sedikit sudut hati yang sudah menemukan tambatannya.
Itulah yang Alifa alami. Sejak pertemuan pertama mereka, saat Alifa dengan perasaan cemas di bawah payung yang melindungi dirinya dari guyuran hujan berlari menuju Yudha yang sudah tak sadarkan diri, perasaan itu sempurna telah masuk ke dalam hatinya. Sayangnya, Alifa tidak paham. Baginya, semua terlalu aneh. Getaran di dadanya, dorongan ingin tahu, tindakan yang tidak direncanakan, semuanya tidak Alifa mengerti. Ia selalu sibuk mencari pembenaran dan alasan. Sibuk menghindar dan mengesampingkan perasaan itu.
Maka, saat Satria membawa kabar itu, saat Alifa mendengar nama lengkap Yudha disebutkan, perasaan yang ia sangka sudah berhasil disingkirkan, rupanya masih ada di sudut hati. Malah semakin besar setiap detik sejak ia memikirkannya. Terlebih setelah pertemuan mereka tadi. Tidak terkatakan pesatnya metamorfosa rasa itu.
Lantas, jika kalian bertanya kenapa Alifa malah menangis dengan semua rasa istimewa itu?
Alifa punya jawaban yang mungkin tidak sekalipun terlintas dalam diri kita.
"Alifa takut, bang. Semua perasaan ini, Alifa tidak mengerti. Jika benar ini perasaan suka, kenapa sulit sekali dikendalikan? Kenapa...kenapa wajahnya sering kali melintas? Bahkan, saat Alifa shalat...wajah itu tetap tidak mau pergi. Alifa tidak mau, perasaan ini mengalahkan cinta Alifa pada Allah."
"Hubungan ini, bahkan belum jelas wujudnya. Jangankan menikah, ta'aruf pun belum. Tapi kenapa Alifa sudah sesuka ini? Alifa harus bagaimana?"
Di seberang telpon, Alifa tidak kunjung mendapat jawaban. Laki-laki itu malah tertegun akan jawaban Alifa.
Benar. Dari jutaan perasaan suka yang ada di muka bumi, ada banyak air mata yang jatuh karenanya. Namun, berapa banyak yang jatuh karena khawatir rasa sukanya mengalahkan rasa cinta pada Sang Pencipta?
-----
Assalamu'alaikum readers
Iya, aku tau kok, upload nya lama. Ga konsisten.
Tapi, mau gimana 😭😭
Ide dalam kepala selalu macet 👉🏻👈🏻
Sibuk kuliah, UKM 👉🏻👈🏻Aku kekurangan waktu untuk rebahan 😭😭
Tapi seharusnya, itu ga jadi alasan buat seorang penulis. Seseorang pernah bilang, jangan menunggu ada waktu luang, tapi luangkan waktu untuk melakukannya. Dan aku belum bisa 😭
Kalian jangan meneladani aku, yaa..
Harus konsisten ya kalian 🤗🤗Nah, gimana nih?
Inti part ini sebenarnya dikit, sih. Aku nya aja yang berusaha dipanjang-panjangin. Semoga kalian ga bosan ya.Part selanjutnya, Alifa sama Yudha ta'aruf.
Serius deh.
Ga becandaSengaja banget spoiler ini mah
Jadi, ditunggu ya.
See you next time
Assalamu'alaikum

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomanceTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.