Part 34: Bandara

2.3K 70 0
                                    

Ayra mengernyitkan dahinya saat melihat Arin bahagia. Seharusnya sekarang sahabatnya itu masih sedih dan galau, tapi sekarang kenapa beda. Seolah tidak ada masalah yang sedang menimpa dirinya.

"Bumil senang banget kayaknya ini. Ada berita bahagia apa tuh? Bagi-bagi dunk," goda Ayra ikut duduk.

"Oke, bentar. Kayaknya lo juga harus tau kabar ini sih," sahut Arin mengambil sebuah map dari laci kamarnya.

Ayra menerima map itu dan membukanya penasaran.

"Wah, serius gue bakal punya dua ponakan nih? Kembar dong. Selamat bumil cantik. Anak onty sehat-sehat ya, Sayang. Jangan rewel, kasian mamanya. Sumpah gue senang banget," ucap Ayra sumringah.

Tanpa terasa usia kandungan Arin sudah delapan bulan. Perutnya semakin membesar. Kondisinya pun sering menurun selama hamil tua ini.

"Ooo iya, Rin. Gue mau ngomong sesuatu," ucap Ayra dengan tatapan serius.

"Apa?"

"Kemarin sewaktu gue keluar sama Kak Angga. Kami ketemu sama Kak Arka. Dia udah cerita semua. Dia bilang kalau nggak pernah punya hubungan sama Kak Nadia. Kemaren lo cuma salah paham. Memang benar Kak Nadia ke cafe itu, tapi sebatas ingin berusaha menganggu hubungan kalian. Kak Arka tetap nolak kehadiran dia. Sebenarnya kemaren dia udah nunggu lo selama sepuluh jam di sana, tapi dia diusir karena cafenya udah mau tutup. Jadinya dia kehujanan di luar. Malam itu dia masih berharap kalau lo bakal datang untuk temui dia," jelas Ayra.

Arin lagi-lagi tak henti menangis. Batinnya terasa sesak mendengar penjelasan Ayra.

"Arin, gue berharap lo balik sama Kak Arka. Lo harus kasih tau dia tentang kehamilan lo. Dia harus tau itu, Rin. Gue tau kalau lo masih berharap dan cinta sama dia. Makanya gue selalu desak lo untuk memperbaiki semua. Gue juga nggak tega lihat kedua ponakan gue lahir tanpa bapak. Sebelum semua terlambat, karena kemaren Kak Arka bilang kalau dia mau pergi ke Mesir. Keberangkatan jam 13.45," timpal Ayra menambahkan.

Arin menyeka kasar buliran air matanya dan meraih jaket serta jilbabnya. Ia ingin bertemu dengan suaminya secepatnya.

***

Arin sampai di rumahnya lamanya. Ia berlari dengan cepat menyusuri satu per satu ruangan tersebut. Hanya ada pembantunya di dalam.

"Bi Ami, Mas Arka mana?" tanya Arin dengan napas tak teratur.

"Tuan Arka baru saja berangkat ke Bandara, Non,"

Pikiran Arin semakin kacau mendengar jawaban dari asisten rumah tangganya.

"Pak Budi, tolong anterin saya ke bandara sekarang," pinta Arin kepada sopirnya.

Saat hampir tiba di bandara mobilnya terjebak macet.

"Ya Allah, kenapa harus macet," decak Arin kesal.

Setelah beberapa menit, mobil mereka kembali melaju. Arin meminta Pak Budi untuk mempercepat laju mobil mereka. Pikirannya hanya tertuju kepada Arka.

"Arin ... Tunggu!" teriak Ayra berlari mengejar Arin.

Arin sama sekali tidak menghiraukan panggilan sahabatnya. Sedangkan Ayra terus berusaha menyamakan langkahnya. Ia sudah siap dengan sebuah kursi roda untuk membantu sahabatnya masuk ke bandara. Lebih tepatnya Ayra mengkhawatirkan kondisi sahabatnya beserta kedua calon bayi Arin.

"Arin, tunggu! Lo nggak boleh lari. Sini naik kursi roda. Biar gue dorong lo ke dalam. Gue rela ngelakuinnya demi kesehatan lo, Rin," ucap Ayra menarik Arin pelan.

"Nggak, Ra. Gue nggak mau membuat lo tambah susah. Gue bisa lari sendiri," jawab Arin menolak.

"Udah, jangan banyak alasan deh. Sini naik. Gue serius nggak papa. Demi lo, Rin."

Arin menuruti kemauan Ayra. Napas keduanya memburu tak beraturan. Ada rasa cemas dan takut menyelimuti keduanya. Hanya saja dengan tujuan berbeda. Rasa Arin tertuju ke Arka, sedangkan Ayra tertuju kepada Arin dan bayinya.

"Mas Arka ... Kamu di mana, Mas?" teriak Arin yang menarik perhatian semua orang yang berada di bandara.

Ayra terus mendorong kursi roda. Ia membimbing sahabatnya untuk mencari keberadaan sosok Arka.

Pada sisi lain Arka mendengar sayup-sayup suara Arin menyelusup ke dalam gendang telinganya. Ia berbalik badan dan akhirnya tatapan mereka bertemu. Terpancar aura bahagia di mata kedua insan ini. Arka berlari menghampiri dan langsung memeluk istrinya. Pelukan mereka begitu erat seakan mengatakan bahwa keduanya tidak lagi menginginkan adanya perpisahan di antara cinta keduanya.

"Mas sungguh-sungguh minta maaf. Mas tau kalau tidak pantas untuk dimaafkan, tapi Mas mohon jangan pergi lagi. Tolong jangan tinggalin Mas lagi. Kita berjuang bersama. Sama kayak janji kita dulu," ucap Arka mengecup kedua punggung tangan Arin.

"Nggak, aku yang harusnya minta maaf karena udah egois. Sekarang Mas mau pergi ke mana? Kenapa Mas tega ninggalin aku? Kenapa?" Air mata Arin mengalir deras membasahi kedua pipinya.

Arka melepas pelukannya. Ia menatap Arin dengan penuh cinta.

"Mas aku memang nggak seperti Iqlab yang satu-satunya mencintai kamu, tetapi izin kan aku menjadi Mad Arid lis Sukun yang terakhir untuk kamu."

Kemudian Arin mengambil tangan Arka dan menaruh tepat di perutnya. Laki-laki itu tersenyum bahagia serta berlutut untuk memberi kecupan hangat kepada calon buah hatinya.

"Berarti kalau kamu hamil, gimana dengan pengobatan kamu? Kamu sanggup menanggungnya?" tanya Arka khawatir.

"Mas jangan takut. Aku baik-baik aja kok," sahut Arin meyakinkan.

Arka mengangguk yakin dengan ucapan Arin. Ia tahu kalau istrinya adalah perempuan yang kuat. Arin pasti bisa melewati masa sulit ini, meskipun masih banyak risiko besar yang sudah menantinya.

"Kak, sebenarnya sewaktu Kakak udah nunggu Arin di cafe kemaren. Itu bukan Arin yang nggak datang. Kami datang kok kemaren, tapi kami ngelihat ada Kak Nadia di sana. Jadi, kami memilih untuk segera pulang untuk menghapus rasa kecewa yang semakin parah."

Arka mempererat genggamannya di tangan Arin.

"Jadi, Arin datang ke cafe kemaren? Kenapa kamu nggak bilang sih, Ra?" tanya Arka.

"Karena Kakak selalu motong ucapan aku," ucap Ayra santai.

Saat mereka berdua sedang berdebat. Tubuh Arin melemas.

"Arin, kamu kenapa?" tanya Arka panik.

"Aku lemas banget,"

"Ayra, gue capek. Kepala sama perut gue sakit lagi, Ra," ucap Arin meraih tangan sahabatnya.

Hal ini yang membuat Ayra takut sedari tadi. Makanya ia selalu gigih meminta Arin duduk tenang di kursi roda tanpa mengeluarkan tenaga yang banyak. Mereka segera membawa Arin ke rumah sakit untuk mendapat penanganan yang lebih cepat.

***

"Terima kasih, Ra. Udah menjaga Arin," ucap Kak Arka tersenyum bangga.

"Sama-sama, Kak. Itu udah jadi kewajiban aku sebagai sahabatnya, tapi untuk sekarang aku minta tolong Kakak buat jaga dia. Sekarang giliran Kakak untuk memberi yang terbaik ke Arin. Sekarang yang dia butuh bukan aku, tapi Kakak. Apa lagi sekarang anaknya udah mau lahir," sahut Ayra mengangguk.

"Ooo iya, Kakak juga harus tahu kalau yang ada dua nyawa yang ada di perut Arin," timpal Ayra.

Arka sontak kaget mendengar penuturan dari Ayra barusan.

"Serius? Anaknya kembar?" tanya Arka dibalas anggukan oleh Ayra.

Kebahagiaan Arka benar-benar memuncak saat mengetahui hal tersebut. Ia sangat bersyukur dengan hadirnya dua nyawa dalam perut Arin. Sebentar lagi ia akan berganti status menjadi seorang Ayah.

"Iya udah, deh. Ayra pulang dulu. Ada ayang yang udah nunggu di depan. He he he," ucap Ayra terkekeh.

"Aduh, nggak jomblo lagi," ledek Kak Arka.

Ayra tersenyum dan meninggalkan Arka di ruang rawat.

To be Continue

Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang