Ini sisa-sisa terakhir hidupku di Holocaust, Auschwitz, Polandia. Tempat dimana Nazi membantai orang secara massal pada Perang Dunia II. Tidak ada yang bisa melawan Jerman pada saat ini karena kemenangannya pada perang pertama. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang gadis berumur 10 tahun sepertiku, selain harapan berakhirnya perang ini dan menjadi yang terakhir. Tidak ada nyawa yang jatuh lagi selain kami, para korban Holocaust.
Bertahun-tahun jauh dari hari ini, aku hidup dalam ketentraman dan hangatnya sebuah keluarga. Ibu, Ayah, beserta kedua anak-anaknya yaitu aku dan adik laki-lakiku, Kale. Namaku Lovari dan aku senang pergi bermain di taman. Jungkat-jungkit, perosotan, ayunan, bak pasir, semuanya sudah kucoba berkali-kali tanpa bosan. Biasanya aku juga mengajak Kale bermain sejak umurnya 5 tahun. Kami tinggal di sebuah rumah daerah Eropa tak jauh dari Jerman.
Keluarga kami adalah orang Rom/Gypsy, etnis yang berasal dari India yang hidup nomaden dan menyebar sampai Eropa. Sedangkan aku hidup bermasyarakat diantara berbagai macam latar belakang, sebagian besar didominasi oleh orang Yahudi. Kami berbaur dan bermain bersama layaknya anak-anak, namun hal itu tidak berlangsung lama. Sejak Perang Dunia II dimulai dan Hitler menetapkan hukum Nuremberg, taman bermain mendadak sepi. Larangan bagi anak-anak kaum Yahudi kian lama makin mengikat dan membuat aku dan Kale sedih. Tidak ada anak yang bermain di taman lagi karena mereka dilarang keluar rumah.
Kami anak-anak yang tidak tahu apa-apa ikut terkena dampak perang, kaum tertentu mulai dipojokkan. Satu persatu dari mereka menghilang entah kemana dan saat para Nazi tahu kami orang Rom, tak lama pintu rumah kami pun diketuk. Ayahku yang membukakan pintu dengan segenap keberaniannya sebagai kepala keluarga.
Ayah tahu akhir-akhir ini desas-desus berita selalu diisi dengan Perang Dunia II, terutama tentang pemindahan orang-orang Yahudi ke Holocaust, suatu tempat di Auschwitz,saat itu aku tidak mengerti betul dimana letaknya. Dan pada malam itu, yang ternyata menjadi malam terakhir kami tinggal di rumah, ayah dan ibuku berkata, "Kita akan pindah rumah."
"Dimana, Ayah?" Kale bertanya dengan semangat, ia berfikir akan menemukan banyak teman untuk diajak bermain di lingkungan baru, sedangkan aku menyimak.
Kali ini ibu yang menyahut, "Jauh sekali dari sini, Ibu yakin semuanya baik-baik saja."
Mendengar hal itu aku percaya semua baik-baik saja. Tapi pada kenyataannya tidak. Orang tua kami pergi entah kemana. Kami terpisah saatpemberhentian kereta pertama, mereka turun dan kami meneruskan perjalanan. Kale sempat menangis terus-menerus. Seluruh kereta diisi oleh remaja yang juga terpisah dari orangtua mereka, jadi mereka ikut menenangkan Kale sampai di pemberhentian terakhir. Detik itulah firasatku memburuk.
Kami mengangkat kopor yang beratnya hanya 2,5 kilogram karena Nazi membatasi barang bawaan kami. Selama berjalan menuju Asrama, aku menggandeng Kale erat-erat. Cukup sudah kami berpisah dengan orangtua, tapi kumohon jangan berpisah dengan adikku. Kale satu-satunya yang kupunya dan dia adalah tanggungjawabku sebagai seorang kakak.
Ketika sampai di gerbang masuk asrama, tentara Nazi berwajah galak mencatat identitas personal kami. Mengetahui kami yang berbeda jenis kelamin, mereka melepaskan genggaman kami dengan kasar. Aku tahu apa yang terjadi selanjutnya, jadi aku menguatkan adikku dengan kata-kata seperti ibuku, "Kita akan baik-baik saja.Jaga dirimu, Kale."
Mata kami berkaca-kaca, bersiap menangis. Tentara Nazi segera menegur kami dan akan bersikap semakin kasar jika kami menangis kencang. Jadi, Kale berusaha sekuat mungkin menahan tangisnya. Hari itu adalah hari paling buruk yang belum pernah kualami. Dipisahkan dari keluarga dalam waktu sehari sungguh jahat dan semuanya adalah perbuatan Nazi.
Ternyata tidak cukup sampai disitu, di asrama kami harus tidur berdesak-desakan, berkerja paksa, juga mendapat makanan yang semakin lama semakin sedikit. Berbagai penyakit pun mulai bermunculan. Aku benar-benar kehilangan asa hidupku dan kekhawatiran luar biasa pada adikku. Apa dia baik-baik saja? Apa dia mendapatkan makanan yang cukup?
Beruntungnya, kami dipertemukan pada suatu waktu, tepat tengah hari. Kebetulan aku sedang berkebun dan adikku juga bekerja di dekatku dengan beberapa laki-laki lainnya. Tinggal cukup lama di Holocaust membuat badan kami kurus kering. Tetapi aku tetap bahagia bisa melihat adikku yang berdiri di sana.
"Kale!" aku menyerukan namananya senang bukan kepalang. Beberapa teman-teman satu asramaku ikut tersenyum. Ternyata Kale juga mendapat tugas mingguan untuk berkebun. Di pertemuan itu aku memeluk badan kurus Kale erat-erat, "Kamu sudah makan hari ini, Kale?"
Kale menggeleng polos, "Belum, Kak. Kami hanya mendapat sepotong roti basi kemarin."
Aku merasa sangat kasihan padanya. Hidup Kale adalah tanggungjawabku, karena itu kuambil sepotong besar roti yang baru kudapatkan minggu ini, menyerahkannya pada Kale. Aku sudah tidak makan selama dua hari, namun melihat ia tersenyum aku juga ikut bahagia. Inilah satu-satunya kebahagiaanku selama di Holocaust.
Wulaupun aku tahu, kebahagiaan itu tidak selamanya berpihak padaku.
"Kale sudah pergi. Dokter Nazi memang lebih kejam daripada siapapun," laki-laki seumuran denganku itu mengatakannya dengan hati-hati dan itu semua mampu membuat jantungku berhenti berdetak. Aku menahan nafas, jatuh tertunduk di hadapannya, dan pandanganku menjadi kabur.
Diberi permen, dimasukkan dalam kamp konsentrasi, gas menyebar dan terakhir, tubuhnya dikoyak untuk eksperimen. Setidaknya itulah yang kudengar darinya. Mereka bilang hanya anak-anak Rom yang disiksa seperti itu. Adilkah? Entah mengapa semua ini terdengar begitu menyakitkan.
Nazi, yang menyiksa orang-orang tidak bersalah, membuat banker hanya untuk memusnahkan kami dan yang merebut kebahagian kecil kami. Holocaust menjadi saksinya. Semua terjadi di ruangan ini, tempat terakhir kami hidup.
Akhirnya, tibalah saat aku menyusul Kale di kamp konsentrasi. Aku duduk di pojok ruangan bersama orang-orang yang telah terjangkit berbagai macam penyakit. Orang-orang yang telah kehilangan harapan hidupnya termasuk aku. Mata kami redup, wajah kami kusut, hanya kulit pembalut tulang. Pintu besar itu tertutup, suaranya berderit memilukan. Aku ikut menutup mata ditengah hirupan gas beracun.
"Hentikan, sudah cukup. Tidak akan ada perang lagi setelah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holocaust
Historical FictionIni sisa-sisa terakhir hidupku di Holocaust, Auschwitz, Polandia. Tempat dimana Nazi membantai orang secara massal pada Perang Dunia II. Tidak ada yang bisa melawan Jerman pada saat ini karena kemenangannya pada perang pertama. Tidak ada yang bisa d...