Kesiur angin mendobrak masuk hingga ke kulit. Jendela sudah di tutup rapat, namun dinginnya malam seolah setia menjadi teman gadis itu dalam ibadahnya. Suara hujan terus sahut menyahut, tak lupa kilatan petir yang berteman dengan bunyi menggelegar. Suasana malam ini benar-benar menggambarkan hati seorang Nayra.
Dalam sujud di rakaat terakhirnya, dahi itu seolah enggan di angkat naik. Nayra masih setia dengan tangisnya. Tidak ada kata yang terucap dari bibir, melainkan air mata yang mewakili apa yang sedang ia rasakan.
"Assalamu'alaikum warahmatullah..."
Setelah berpuas diri menumpahkan kegelisahan hati, gadis itu akhirnya memilih untuk mengakhiri ibadahnya malam ini. Ucapan salam sembari menoleh ke kanan dan ke kiri ia lakukan untuk menyempurnakan sholatnya.
Mengusap wajahnya sekilas, Nayra kembali terdiam. Tak sanggup berkata apapun, pikiran gadis itu terlempar ke kalimat Nazriel yang terlontar tadi sore.
"Nay, Fatih sudah menjalin hubungan serius dengan sahabat kamu."
Sesak. Sakit rasanya harus menerima fakta bahwa lelaki yang ia nantikan selama ini ternyata adalah orang yang sama dengan yang ia dengar dari cerita sahabatnya.
"Nay, aku rasanya gak sanggup kalau harus berpisah dari dia. Dia sangat baik, aku takut di luar sana gak ada orang yang sebaik dia. Aku akan berusaha menjaga hubungan kami, sampai nanti Allah izinkan aku menikah dengannya. Doain aku berjodoh dengan dia ya, Nay."
Gadis dengan mukenah berwarna salem itu menekuk kedua kakinya untuk bisa ia peluk. Nayra kembali menangis. Lagi dan lagi, semua kenangan itu kembali berputar di otaknya.
"Sayang, jangan pergi. Aku cuma mau sama Kamu."
"Nay, kalau nggak sama kamu, aku lebih memilih untuk nggak sama siapapun."
"Terus bareng aku ya, Nay. Jangan pernah berpikir untuk berpaling dari aku."
Nayra rindu dengan semua hal yang pernah ia lalui bersana Fatih. Lelaki kelahiran jawa itu adalah sosok yang menyadarkan dirinya bahwa lelaki tulus dan serius itu ada. Perpisahan mereka yang diakibatkan keegoisan dari Nayra, selalu berhasil membuat batin gadis itu menjerit, membayangkan seandainya segala kesalahannya dulu tidak terjadi.
"Allah, andai dulu aku nggak egois, mungkin sekarang lelaki itu masih bersamaku. Allah, maafkan aku yang sudah melanggar aturanmu untuk tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tetapi perasaan ini sangat sulit untuk diabaikan ya, Allah. Allah, perasaan ini masih untuknya. Apa boleh aku egois dengan meminta agar Engkau mengembalikan Fatih kepadaku? Fatih Rafardhan Al-Qodri, aku masih sangat mencintainya."
Jam masih menunjukkan pukul 03.30 WIB. Dengan mata sembabnya Nayra memutuskan keluar balkon untuk menyaksikan hujan secara langsung. Tangannya ia gunakan untuk menampung sedikit air hujan, merasakan dingin yang menusuk pori-pori telapak tangannya.
"Ngapain sih pagi buta udah di luar? Hujan, lagi."
Gadis dengan gamis berwarna abu-abu dan kerudung instan hitam itu sedikit terperanjat kala sebuah selimut tiba-tiba tersampir di bahunya. Di sebelah kanannya, Nayra mendapati seorang lelaki tinggi yang sekarang juga ikut menatap ke depan. Tangan gadis itu memeluk dirinya sendiri di dalam balutan kain yang tadi disampirkan oleh Nazril.
"Belajar berdamai sama diri sendiri, Nay. Jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri atas perpisahan kamu kemarin."
Nayra diam, air matanya kembali mengalir. Entahlah, gadis itu selalu lemah jika berhadapan dengan fakta tentang Fatih.
"Andai dulu aku gak ngasih pilihan untuk dia setuju kami mengakhiri hubungan, bang. Mungkin sekarang aku masih baik-baik aja sama dia. Aku masih diperlakukan lembut, chatting-an dan ngobrol panjang bareng Fatih. Andai semua itu nggak terjadi, bang. Aku mungkin masih bersama Fatih sampai sekarang."
"Jangan terlalu menyesali semua yang sudah terjadi, Nay. Jadikan itu pelajaran. Jadikan itu sebagai proses pendewasaan untuk kamu lebih siap menjalin hubungan dengan orang baru di masa depan nanti."
"Bang, aku bahkan gak sanggup untuk mengenal orang baru lagi."
Nazril kini menatap ke arah Nayra, menarik punggung adik sematawayangnya untuk berdiri menghadap ke arahnya. Ia masukkan sehelai rambut yang sedikit terlihat di pipi kanan gadis itu, lalu menghapus air mata yang kembali luruh tanpa kenal waktu.
"Ada banyak Fatih lain di luar sana. Langkah kamu belum terlalu jauh untuk bertemu dengan Fatih yang lain itu. Sekarang, fokus saja untuk berdamai dengan dirimu sendiri. Jangan tergesa-gesa, Nay. Semua butuh waktu."
Nayra menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan untuk sedikit mengurangi sesak di dada.
"Apa abang yakin ada Kak Yumna lain selain Kak Yumna yang pernah abang suka?"
Kini, justru Nazril yang terdiam beberapa saat. Ia lepaskan tangannya dari bahu Nayra, lalu kembali menghadap ke depan dan mendongakkan kepalanya yang masih memakai peci berwarna hitam. Hujan sudah sedikit mereda, tapi tempiasnya sesekali mengenai wajah lelaki bersarung coklat itu.
"Setidaknya abang pernah mencoba untuk nggak berlarut-larut dengan Yumna yang kemarin. Terlepas dari ada ataupun nggaknya, ketemu atau mungkin gak ketemu sama sekali. Setidaknya, ada banyak pelajaran yang abang dapat selama mencari Yumna yang lain itu."
Nayra masih setia menantikan ucapan selanjutnya dari Nazril, tapi yang ia lihat justru lelaki itu sedang tersenyum sendiri ke arah langit, seolah ada yang sedang dibayangkan.
"Daun yang jatuh aja bagian dari takdir yang udah Allah tuliskan, apalagi setiap pertemuan dan perpisahan. Ada banyak hal yang ingin Allah kenalkan lewat orang yang kita temui. Belajar melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain, Nay. Kehidupan terus berjalan dan berputar, kamu hanya perlu meyakinkan diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri, tanamkan ke dalam diri kamu bahwa Allah selalu punya maksud baik dari kejadian yang menimpa hamba-Nya."
"Apapun yang terjadi nanti, kembali nggaknya Fatih ke kamu, ada hal yang harus kamu ingat, Nay. Allah lebih tau mana orangnya, Allah lebih tau siapa yang pantas bersanding dengan hamba-Nya. Ali bin Abi Thalib aja mengakui bahwa hal yang paling menyakitkan adalah berharap pada manusia. Selama berdoa, kamu hanya stuck dengan berharap pada Fatih, berharap agar Fatih mau menerima kamu kembali. Tapi kamu lupa berharap pada Allah, kamu lupa meminta agar hati kamu ikhlas atas semua takdir Allah."
Nazril merangkul Nayra dan membawa kepala gadis itu untuk bersandar di bahu kirinya. "Ikhlas, kuatkan hati kamu untuk menerima kalimat Qodarullah."
Pagi buta yang sejuk dengan rintik hujan yang terus turun beradu, sepasang kakak beradik itu memilih untuk menunggu azan subuh di balkon kamar dengan cahaya remang yang berasal dari dalam. Nazril benar, sudah seharusnya Nayra berdamai dengan dirinya sendiri. Kesalahannya di masa lalu yang membuat Fatih akhirnya memilih pergi, harus ia jadikan pelajaran agar menjadi bekal dalam hubungannya nanti. Entah dengan siapapun orangnya, Nayra hanya bisa pasrah dan berserah pada Tuhan-Nya.
Dengan siapapun kamu nantinya, dan dengan siapapun aku akhirnya. Aku yakin, itulah jalan terindah yang sudah menjadi garis takdir sesungguhnya.
***
To be continue...
YOU ARE READING
Seindah Cinta Nayra
SpiritualKalau dibarengin iman, semua permasalahan pasti akan terasa ringan. Sekalipun bicara soal perasaan, tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, atau dia yang hanya sekedar angan. *** "Dengan siapapun kamu nantinya, dan dengan siapapun aku akhirnya...