"APA LAGI SIH, BU? Kan aku udah jelasin berkali-kali kalau 10% dari peminjaman itu belum bisa ditarik setelah bulan ke-enam." Ucapku yang baru saja tiba dan melangkah masuk bertemu ibu.
"Nak, kamu duduk dulu tenangin perasaan kamu baru bicara." pinta ibuku dengan nada rendah
Aku dengan pikiran tidak karuan mencoba untuk menuruti pinta dari ibu. Mencoba meredam amarah di dadaku yang sedari perjalanan pulang tadi terus meronta-ronta meminta untuk meledakkan semua yang telah aku tahan.
"Ibu kan tadi tanya ke kamu lewat telepon buat jelasin kenapa 10% uang pinjaman belum bisa ibu tarik." masih dengan nada rendah ibu mencoba untuk berbicara denganku yang menahan amarah
"Ya kan aku udah bilang pagi tadi alasannya ke ibu. Kalau uang itu ditahan sama pihak bank selama enam bulan karena alasan pandemi. Prosedurnya emang udah seperti itu." jawabku dengan nada tinggi namun sedikit masih bisa tertahan.
"Ibu tadi nggak paham penjelasan ka...."
"Masa ibu nggak ngerti sih yang udah aku jelasin?!" aku langsung memotong perkataan ibu dengan perasaan tidak karuan yang makin menjadi juga mulai mengisi ruang di kepalaku.
"Atau ibu curiga kalau uang itu aku ambil?" tambahku karena sudah tidak mampu lagi menahan marahku
"Astagfirullah, nak. Ibu sama sekali nggak sampai pikir ke situ"
Di dapur yang minim cahaya, hanya lampu dari ruang tengah yang memperjelas perasaan ibu saat itu. Matanya berkaca-kaca dan raut wajahnya tidak terlalu nampak di penglihatanku, tapi di pikiranku jelas tergambar wajah kecewa ibu akibat perkataanku.
"Kamu bisa nggak bicara pelan-pelan ke ibu?!" Kakakku kemudian masuk ke dapur. Mencoba membela ibu sesuai dengan kewajibannya.
"Kamu udah bikin ibu nangis! Gila kamu yah!" lanjutnya dengan berteriak sambil menahan tangisnya.
"Yuni, sabar nak! Kamu jangan teriak-teriak kayak gitu. Tetangga nanti dengar." Pinta ibu ke kakakku dengan menahan perasaan sakitnya terhadap anak lelaki satu-satunya.
"Ibu kan cuma minta kamu jelasin baik-baik alasannya. Kenapa kamu malah kurang aja kayak gitu ke ibu kamu?" Ujar ayahku yang juga kemudian masuk di antara kami bertiga karena sudah tidak tahan lagi dengan perlakuanku ke ibu.
"Tapi kan aku udah jelasin ke ibu berkali-kali."
"Ayah tahu, tapi kan ibu kamu belum paham sama penjelasan kamu"
"Maaf kalau ibu nggak paham nak. Ibu nggak bisa cepet mengerti penjelasan kamu." Dipelukan kakak, ibu berucap sambil mencoba menahan air mata yang sudah terlanjur terpecah di pipi akibat sikap anak lelakinya yang sedari dulu dia tahu tidak pernah melawannya.
"Masa penjelasan sejelas itu ibu masih nggak paham sih"
"Eh kamu kok jawabnya kayak gitu sih?! Udah merasa pintar kamu ya karena udah sarjana? Kamu itu bisa selesai karena ayah dan ibu!" Sekolah tinggi-tinggi malah kaak gitu kelakuan kamu." ayah memarahiku dengan sedikit menahan diri agar tidak mengayunkan tangannya ke arah wajahku.
"Ya Allah! Kok malah langsung ke situ sih omongan ayah? Semua hal langsung dibawa ke hal yang bukan ranahnya!" balasku dengan berteriak.
"Astagfirullah. Istigfar kamu Dera!" seru ayah dengan mata yang makin melotot dan masih mencoba mencoba agar tidak sampai naik pitam kepadaku.
Ruangan terlihat makin gelap dan terasa sangat sesak bagiku. Rasa tidak karuan kini betul-betul mengisi semua ruang kosong di dada serta kepalaku. Aku gelisah. Merasa tersudut oleh kedua orangtua dan satu-satunya saudariku. Aku sadar bahwa tidak hanya perasaan singkat yang mencoba menguasaiku, tapi semua kegelisahan, sedih, marah, dan kecewa yang terpendam sedari dulu juga ikut ambil andil.
Aku terus melihat sekeliling. Entah sedang mencari apa. Suara dari ayah kini tidak jelas lagi kudengar. Mencoba untuk mendapatkan benda yang mungkin bisa saja menjadi media untuk melampiaskan amarahku yang akhirnya tidak mampu lagi aku bendung. Aku langsung melangkah ke arah meja dapur dan mengambil sebilah pisau seukuran setengah lengan orang dewasa. Menggenggamnya dengan arah mata pisau ke bawah dan menatap kosong ke arah mereka.
"Allahu akbar"
"Istigfar, Dera!" ayah tidak henti-hentinya berteriak menyuruhku untuk tenang.
"Ya Allah!"
Tangis ibu yang tadi sempat tidak jelas lagi kudengar kini kembali melengking jelas di telingaku. Tatapan ayah yang tadinya melotot seketika berganti menjadi panik. Kakak hanya bisa menutup matanya dan terus memeluk ibuku. Semua terasa semakin berat. Tubuhku kini bukan lagi kuasa kesadaranku. Aku kacau masih mencoba mendapatkan tempatku.
"Kamu kenapa, nak?"
"Dera!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Faktisitas
RandomThis world is a stage of irony festival. Peacefully or uneasily, every step I make is a dance and I only dance when i'm sad.