Chapter 7

780 176 9
                                    

Well, aku gk tau mau bilang apa. Yg jelasnya "HALLO" lagi. Wkwkwk
Aku izin update yaaa 🤗🤗

Oh iya, aku mau bertanya.
Menurut kalian nih, ini diluar Wattpad ya.
Aku mau nulis buat berburu cuan, nih 🤣🤣 kisah² romen ala-ala CEO dll.
Menurut kalian nih, bagusnya aku nulis di Fizzo, Innovel, Joylada, atau Webnovel?

Hahahahahha
Soalnya, nulis di sana bergantung sama pembaca sih 😭😭 apalagi Fizzo. Nggak punya pembaca takut mubazir. Mubaxir tenaga, waktu dan pikiran.
Mohon pendapatnya, gaess!!!

Makasih.
Selamat membaca dan jangan lupa votr + komen 🤗🤗 share juga ya bisa. Hahaha

***

Terra melirik Ercher yang duduk di seberangnya sambil memangku White yang tertidur. Sejak keluar dari restoran, Ercher sama sekali tidak bicara. Sebenarnya sejak pria itu bilang kalau keluarga Silabent membencinya. Ercher hanya diam, menatap keluar jendela tanpa sesekali repot untuk melirik Terra.

Terra jadi merasa bersalah karena bertanya. Mungkin saja itu termasuk topik yang tabuh untuk dibicarakan oleh Ercher. Memang serba salah saat dekat dengan orang seperti Ercher. Terra bertanya karena peduli, tetapi pria itu menutup diri.

Sepertinya Ercher tidak percaya pada Terra.

“Kakak?”

Terra mengangkat kepala dari ketertundukannya saat mendengar Ercher memanggil. Ini pertama kalinya pria itu memanggil Terra. “Ya? Apa kau tidak nyaman?”

Ercher menggeleng. “Apa aku turun saja?”

“Ha?” Terra nyaris ternganga mendengar itu. “Apa? Kenapa kau turun? Kita belum sampai rumah.”

“Kakak ... tidak nyaman.”

Terra menarik napas. Kan serba salah. Ia diam karena merasa bersalah, tetapi Ercher menganggapnya tidak nyaman. Kalau Terra bicara terus, justri ia akan membuat Ercher tidak nyaman nantinya jika ada pertanyaan sensitif yang keluar akibat ketidaksengajaan.

“Tidak,” balas Terra. “Aku diam bukan merasa tidak nyaman. Tapi ....”

Ercher memiringkan kepalanya pada Terra, menunggu untuk lanjutan ucapan Terra.

“Aku hanya merasa bersalah dan tidak enak,” lanjut Terra.

“Tidak enak?” Ada kerutan kecil di kening Ercher. “Kakak mabuk naik kereta?”

Arggh!

Rasanya Terra mau berteriak dalam hati dan menghela napas keras-keras. Ternyata sisi lugu dan menyebalkan itu tidak jauh berbeda. Hanya saja menyebalkan Ercher itu terlihat sangat imut.

“Bukan itu.” Terra bersandar dan menghela napas pelan. “Aku hanya merasa bersalah karena bertanya tentang keluargamu.”

“Hmm,” Ercher berdehem. Lalu tersenyum lebar pada Terra. Senyumnya seperti diperintah tersenyum oleh seseorang. Apa itu karena Ercher memang tidak tahu caranya tersenyum. “Tidak apa-apa.”

“Ercher?”

Ercher membuang pandangan kembali ke jendela kereta. “Baron memang ayahku. Tapi Ibu orang lain.”

Terra tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Ia tidak ingat sama sekali tentang adakah rumor mengenai Keir Sillabent.

“Baginda bilang Ibu peramal.”

Kening Terra berkerut bingung. Peramal? Apa Ibu Ercher seorang gipsi? Ah, bukan. Kaum gipsi tidak ada di benua ini. Kalau memang ada peramal apakah itu orang-orang yang punya kekuatan untuk melihat masa depan? Bukan juga.

The Baron's Heart (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang