xxxxxxx, nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku saat aku memasuki dunia ini.
Aku manusia biasa dengan hidup yang cukup biasa juga. Aku berusia 24 tahun, yang memiliki keluarga utuh namun tetap saja merasa kesepian.
Dua tahun yang lalu, hubunganku dengan kekasihku yang sudah hampir berjalan selama 4 tahun, kandas karena suatu alasan.
Berakhirnya kisah kami, tidak menjadikan hubungan pertemanan kami juga berakhir. Kami tetap menjalin hubungan yang baik, namun terkadang berlebihan karena masih seperti hubungan pasangan kekasih.
Namun, aku yang tidak ingin berlama-lama menahan hatiku untuknya dan membebaskan dia dariku agar ia dapat menemukan pilihan hatinya yang lain.
Enam bulan berlalu aku berusaha menjauh darinya, dan itu berhasil. Aku merantau ke Ibu Kota untuk bekerja dan tidak memberitahunya.
Baru beberapa minggu aku menikmati hari-hariku di Ibu Kota, ia mengirimkan pesan whatsapp padaku.
"Hey, dua hari lagi wisuda nih, gak foto bareng dong?"
Saat mengirim pesan itu, dia sudah mengetahui bahwa aku tidak lagi satu kota dengannya.
Jujur saja, aku sedih karena tidak ada di sampingnya saat itu, walaupun aku mengetahui dia sedang berusaha dekat dengan seorang wanita dan mungkin beberapa wanita, hehe.
Ia sangat berusaha agar aku dapat menemaninya dihari bahagianya itu. Namun apa boleh buat, status PPKM level 3 dan harga tiket pesawat menjadi hambatanku.
Bahagiaku adalah dia tetap menginginkanku walaupun aku yang berusaha menjauhinya. Karena lama sebelumnya kami memiliki prinsip "He's mine and I'm yours"
Aku sudah menganggap dia sebagai kakak laki-lakiku dan dia juga sudah mengganggap aku adik perempuannya, begitu pula dengan kakaknya yang sudah menganggapku adiknya sendiri.
Aku sangat sedih dan bersalah karena pergi tanpa memberitahunya dan tidak dapat menemaninya dihari bahagianya itu.
Aku hanya dapat memberikan dia cake dengan bantuan teman aku disana. Dia sangat bahagia walaupun hanya mendapatkan itu dariku. Dan akupun turut berbahagia karena dia menerimanya dengan senang hati.
Namun, kenapa bahagia ini berhenti begitu saja?
Empat hari setelah hari bahagianya itu, seorang wanita baik hati, meresahkah tidurku pada pukul setengah dua dini hari dengan panggilan whatsapp yang membuat aku ragu mengangkatnya.
Aku takut. Aku gelisah. Aku tidak tahu apa-apa namun aku menghela nafas panjang melihat panggilan itu.
Wanita baik hati itu adalah seorang kakak dari pria yang sempat menjadi kekasihku itu.
Benar. Perasaan gelisahku benar. Tiba-tiba saja badanku dingin dan nafasku berat. Aku tidak dapat berkata-kata saat mendengar kakak baik ini menangis segugukan sambil mengatakan bahwa adik kesayangannya mengalami kecelakaan.
Aku menghubungi semua teman-temannya yang kontaknya tersimpan di ponselku. Namun tak ada satupun yang menjawab.
Aku bahkan menghubungi wanita yang sedang dekat dengannya, dan mengatakan kejadian ini.
Aku berkali-kali mondar-mandir kamar mandi dengan badan begetar, air mata bercucuran, sampai-sampai ponselku terjatuh ke dalam sebuah ember yang berisi cukup banyak air. Untung saja ponselku masih menyala.
Dan akhirnya, pukul empat pagi, salah satu temannya menjawab panggilanku.
Kakiku langsung lemas dan terjatuh saat aku mendengar kata "lewat" dari seberang telepon.
Aku tidak dapat berkata apa-apa selain menangis kencang-kencangnya.
Pria yang sudah sangat lama mengisi hari-hariku, pria yang selalu menjadi tempatku mengadu, pria yang juga selalu menjadikanku tempat pengaduan, pria yang segala-galanya bagiku setelah ayahku, pergi meninggalkanku tanpa pesan, tanpa tanda sedikitpun.
Hatiku benar-benar hancur. Aku tidak dapat melihatnya secara langsung untuk terakhir kalinya. Aku hanya bisa melihat gambarnya yang bersimbah darah dan gambarnya yang sudah terbujur kaku di dalam peti dengan seragam kebanggaannya yang baru 4 hari wisuda.
Mungkin ada lebih dari sebulan, aku melewati malam dengan airmata. Bukannya aku tidak mengikhlaskan, namun kesedihan dan penyesalan membuatku berhenti menangis.
Aku merindukannya.