[47] Mimpi Menua Bersama

5.6K 484 77
                                    

"Bersama dengan manusia yang saling membutuhkan adalah melangkah untuk mengukir kisah yang sempurna." – Nalaka.

Deruman mesin kendaraan yang berlalu lalang menemani kebersamaan Raga dan Nala yang sedang menikmati angin sore di atas kuda besi cowok itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deruman mesin kendaraan yang berlalu lalang menemani kebersamaan Raga dan Nala yang sedang menikmati angin sore di atas kuda besi cowok itu. Suara tawa Nala juga ikut mengisi kebisingan, kekehannya benar-benar menggema di indera pendengaran Raga. Mendengarnya tentu saja Raga senang.

"Receh banget cewek gue, jadi pengen cubit ginjalnya," sahut Raga ditengah-tengah kekehan receh Nala.

Memukul pelan punggung Raga dihadapannya, membuktikan bahwa Nala memang salah satu wanita tulen pada umumnya ketika tertawa. Pasti ada saja sasaran yang menjadi pelabuhan tangan mungil itu. "Lucu, Raga."

"Apanya yang lucu?" Sungguh Raga bertanya-tanya, letak kalimat lucu yang dia katakan hanya Nala yang tahu.

"Mana bisa lo cubit ginjal gue, HAHAHA. Ada-ada aja." Lagi-lagi Nala tertawa bahkan lebih keras dari sebelumnya, tak peduli banyak pasang mata yang memandangnya heran. Nala terus terkekeh hingga Raga tersenyum tipis.

"Nggak papa, Nal. Nggak papa, sumpah."

Kalimat Raga ambigu, membuat kening Nala mengerut. "Nggak papa, apa?" tanya Nala sontak memberhentikan tawanya. Wajahnya yang tadi berseri-seri berubah panik.

Raga melirik perubahan wajah Nala di kaca spion, gemas rasanya. Nala memang tak pandai dalam menyembunyikan ekspresi yang menggambarkan suasana hatinya. "Punggung gue, nggak papa jadi sasaran tangan lo. Ketawa aja terus, Nal. Seneng gue dengernya, meski punggung gue nyeri dikit ditabok."

"GOBLOK! HAHAHA." Kembali suara Nala bergetar karena tawa, tak lupa dengan tangannya yang terus memukul punggung Raga. Mendengar kalimat pasrah Raga, mengundang tawanya lebih keras.

"Semakin lo ketawa, semakin ngeri juga, yah. Stop deh, ketawanya. Takut gue disangka bonceng orang gak waras," celetuk Raga, matanya melirik jalanan dan kaca spion secara bergantian.

"Ish, makanya jangan ngelawak!" tukas Nala, mengerucutkan bibir tak suka.

"Lah, orang gue nggak ngelawak," balas Raga serius.

"Bawel."

Sialan, suasana hati Nala sekarang pasti berubah buruk. Satu kata itu sudah dapat Raga pahami. "Salah lagi gue?" tanya Raga ragu-ragu.

Tidak menjawab pertanyaan Raga, Nala melepas pelukannya. Dua pasang mata Nala beralih menelusuri jalanan dengan raut wajah yang datar.

"Nal, kok diem?"

"Kan tadi disuruh diem, gimana sih," ketus Nala.

Nada suara gadisnya yang berubah, membuat Raga menepikan motornya di jalanan sepi. Cowok itu memutar badannya, lalu menampakkan wajah penuh permohonan. "Maaf.  Ya udah deh, ketawa aja Nal, sekeras yang lo suka, punggung gue juga masih kuat sebagai tempat pelampiasan tawa lo."

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang