15. Unwanted

541 54 62
                                    


Situasi di rumah menjadi semakin canggung selepas insiden malam itu ketika Arka tiba-tiba meninggalkan acara kantor ayahnya. Meski sang ayah tak mengatakan apapun sekembalinya mereka dari acara, namun Arka tahu ayahnya itu menyimpan amarahnya yang mungkin dapat lepas kapan saja. Tetapi selama Arka tidak berbuat macam-macam, ia rasa dirinya akan terhindar dari masalah.

Lebih dari soal itu, sebenarnya Arka masih memikirkan ucapan Hanan di malam yang sama. Tentang hal besar yang dilakukannya, tentang dirinya yang akhirnya memahami maksud perkataan Arka.

Tetapi apa Hanan benar-benar mengerti?

Getar ponselnya di atas meja mengejutkan Arka. Diambilnya benda itu kemudian dilihatnya nama yang muncul di layar. Arka menarik napas sebelum mengangkat panggilannya.

"Iya, Ram?"

"Ka, kemarin gue lagi nemenin saudara gue buat belanja kebutuhan sebelum gue balik. Sori gue nggak tau kalo lo nelfon."

"Lo- udah mau balik?"

"Iya, Ka. Belum tau harinya tapi minggu ini. Lo kenapa nelfon kemarin?"

"Oh, itu… nggak ada apa-apa, kok." Arka terdiam sejenak sebelum ia memanggil Rama lagi. "Ram, sebelum lo balik, bisa ketemu dulu, nggak?"

"Gue juga mau ngajakin lo ketemu tadinya. Ada yang pengen gue omongin."

"Soal?"

"Kita."

Dan itu dapat berarti banyak hal. Arka tidak bisa menebak apa yang akan Rama bicarakan mengenai mereka berdua. Entah itu soal masa lalu mereka, atau yang sedang mereka jalani saat ini.

"Gue nggak akan nuntut apa-apa, lo nggak usah khawatir. We're just gonna talk."

Kalimat Rama membuat Arka dapat menghela napas lega untuk beberapa saat.

"Oke. Kabarin gue lagi, Ram."

Sementara itu Arka harus menjalani hari-harinya sendirian. Melangkah bertumpu pada kedua kaki yang dipaksa untuk tidak goyah. Dan melihat Hanan berlari bebas tanpa beban.

Seperti hari itu juga. Rasanya sudah lama sekali Arka tak melihat wajah Hanan yang dihiasi oleh tawa. Garis yang terbentuk di bawah matanya tiap cowok itu tertawa puas kembali muncul. Hanan terlihat begitu lepas. Dan bahagia.

Segera Arka memutus pandangannya dan melanjutkan langkah kala ia melihat dengan siapa Hanan berbagi tawa. Mereka berdua semakin sering terlihat bersama bahkan di tempat-tempat yang biasa Arka lewati. Perasaan iri itu pelan menyusup, tetapi Arka selalu menghalaunya.

Arka berdiri di depan lemari pendingin berkaca bening tempat berbagai jenis minuman disimpan. Tangannya terulur untuk meraih gagangnya. Tarikan tangan Arka tak membuat pintu lemari pendingin itu terbuka. Beberapa kali ia menariknya lagi dengan sekuat tenaga tetapi sia-sia. Mungkin pintunya macet, pikir Arka.

Belum sempat Arka menarik kembali tangannya, sebuah tangan lain ikut meraih gagang pintu yang dipegang Arka kemudian menariknya kuat hingga timbul bunyi decit yang akhirnya membuat lemari pendingin itu terbuka. Arka melihat siapa yang berada di dekatnya itu tanpa bersuara. Arka memandangi tangan cowok yang mengambil sebotol air mineral dingin kemudian menyodorkannya di depan wajah Arka.

"Mau ambil ini, kan?"

Arka masih menatap permukaan botol yang berembun itu sebelum pandangannya beralih pada wajah seseorang yang mengulas senyum tipis di depannya. Melihat Arka yang masih enggan menerima botol itu darinya, cowok itu menghela napas pasrah sembari menurunkan tangannya.

"Ka, tempo hari gue udah bilang ke lo. Masih inget? Terlepas dari gimana hubungan kita sekarang, gue bakal tetep peduli sama lo."

Arka menjatuhkan pandangannya pada lantai kantin sebelum berucap. "Lo nggak perlu ngelakuin itu."

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang