Perjalanan menuju kuil tidaklah jauh dari rumah Eva, hanya perlu melewati beberapa toko perbelanjaan dan rumput-rumput yang menjulang tinggi karna kuil itu berdekatan dengan hutan kota.
Selama itu Eva selalu berpikir apakah Marc tidak keberatan tinggal dengan manusia, mengingat pemuda itu bukan berasal dari sini. Ia tidak yakin apakah yang dialaminya ini hanya mimpi semata? sebenarnya banyak pertanyaan yang masih menjadi misteri bagi Eva.
langkahnya terhenti saat kakinya tanpa sadar sudah menginjak tangga kuil yang sudah lama di bangun di tengah-tengah kota. Pandangannya terpusat tepat di altar kuil itu yang sudah berdebu, bahkan banyak sekali daun-daun kering disana. kulit-kulit temboknya juga sudah mulai mengelupas habis dimakan waktu, begitu kotor dan kusam karna tidak ada yang membersihkannya.
Eva merasakan suhu di kuil itu begitu dingin dan suram, sejujurnya ia merasa takut masuk ke dalam kuil itu. Karna sejak tadi banyak pasang mata memandang mereka dari dalam kuil, seakan mengawasi setiap waktu. Setiap Eva dan Adiknya berkunjung ke kuil ini, ia berdoa agar mereka tak dinganggu.
"Kak?"
sebuah sentuhan lembut di bahunya membuat Eva sedikit kaget, ia menoleh beberapa saat pada sang adik kemudian memberikan senyum tipis berusaha membuat adiknya tenang. Lalu menggenggam tangan sang adik yang berada di bahunya tadi.
"tidak apa-apa, kita hanya berdoa setelah itu pulang," kata Eva dengan lembut, meyakinkan adiknya. Ia sama sekali tidak melepas genggamannya.
Revan hanya mengangguk memastikan kakaknya baik-baik saja, dia bergegas menaiki tangga terlebih dahulu dan berjalan masuk ke kuil diikuti Eva.
berbeda dengan Marc yang hanya diam saja di tangga kuil, kakinya ingin melangkah mengikuti Eva dan Revan yang sudah lebih dulu masuk kuil. Tapi entah kenapa seperti ada sebuah kekuatan yang menolaknya untuk masuk ke dalam kuil itu.
Eva menyadari Marc masih berada diluar kuil bergegas mendekati pemuda bersurai hitam itu. Tepukan lembut ia layangkan di bahu Marc agar pemuda itu tidak bengong.
"Marc, kenapa diam saja? Ayo masuk, Revan sudah didalam,"
Marc menggeleng lemah, semakin dia memaksa masuk dalam kuil maka semakin kuat kekuatan itu menolak dirinya. Langkahnya hanya terhenti di tangga, merasa tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi.
"Maaf nona Eva, tapi sepertinya kuil ini menolak saya untuk masuk,"
mendengar penuturan Marc, Eva baru ingat kalau Marc itu bukan manusia. Jelas kuil ini menolak karna Aura Marc yang berbeda. Eva mengangguk paham, dan meminta Marc untuk menunggu mereka beberapa menit setelahnya ia bergegas masuk dalam kuil untuk berdoa.
**********
Saat masuk hal pertama yang Eva lihat adalah Revan yang sedang menyalakan lilin di altar, hanya saja semakin lama Aura putih yang mengelilingi Revan semakin pekat dan besar seakan membentuk wajah Demon di atasnya. Jelas membuat Eva merasakan ketakutan yang luar biasa, disaat itu Revan menoleh masih memegang lilin di tangannya, dia menunjukkan senyum Smirk nya.
"Ah, kakak sudah datang. Cepatlah berdoa agar kita bisa cepat pergi dari sini. Kakak tidak mau kan, kalau mereka terus mengawasi kita," katanya dengan nada seceria mungkin.
"R-Revan–" suara Eva tercekat hampir ia tidak bisa mengeluarkan suaranya sama sekali, Revan benar-benar terlihat mengerikan dengan senyum dan aura itu.
Walau hatinya berteriak untuk segera pergi dari sana, tapi kaki Eva melangkah mendekati kuil berdiri di altar di samping adiknya yang meletakkan lilin tersebut ke meja. Keduanya mulai berdoa dengan khusyuk, sebisa mungkin Eva menjauh 1 meter napasnya sangat sesak ketika berdekatan dengan sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Deadly Sins
FantasySejak kecil Eva Scarlett selalu diajarkan untuk tidak percaya dengan yang namanya takhayul atau hal-hal yang supernatural seperti dengan keradaan vampir, werewolf, penyihir, maupun demon. Tapi sejak adiknya menemukan seekor Hellhound di sekitar ruma...