1. Hampir Celaka untuk kedua kalinya

83 11 3
                                    

Selalu ramah namun
dipandang remeh

-ATASKA-

Pada saat itu Aska masih umur 5 tahun masih polos belum mengerti apa-apa jika ia ingin di bunuh oleh orang tuanya sendiri tapi selalu gagal.

Anak laki-laki yang sedang terlelap di ranjang kamar terbangun duduk bersila menatap sang mama entah kenapa wajah dan sifat aska mirip sekali dengan mas Dermawan Almarhum ayah kandung Aska.

Awalnya aku benci sekali dan hampir meninggalkan Aska di pinggir emperan toko yang lembab, gemercik hujan masih terdengar samar suara lalu lalang kendaraan saling bersautan di atas genangan air.

Namun tekatku sudah bulat ingin melenyapkan Aska sekarang juga! tapi terhalang lagi oleh pikiran dan hati menyuruh untuk berenti. Pikiran Santika berkecamuk antara sedih dan merasa bersalah atas kelakuan keji yang ia perbuat kepada anaknya sendiri.

°°°

"Aska sayang, ikut mama. Yuk." bujuk Santika mengandeng tangan Aska keluar rumah.

Aska menahan pergelangan tangan mamanya, "Mau kemana?"

Pertanyaan Aska barusan membuat dirinya sedikit gugup ingin menjawab, "A-ayok ikut aja, kita mau jalan-jalan Aska."

Rayuan Santika akhirnya berhasil meluluhkan keraguan Aska. Mereka baru sampai ruang tamu sudah di kejutkan oleh Raden yang sedang menyesap kopi panas sambil membaca koran.

"Ehem. Mau kemana mbak udah malem gini?" tanya Raden curiga.

"Mau ke apotek yakan ka." Santika merangkul pundak Aska keras untuk meyakinkan Raden.

"Iya."

"Siapa yang sakit mbak? Aska." tebaknya, " Tangan Raden mengusap pucuk kepala ponakannya. Saat ingin mengecek suhu tubuh Aska dengan termometer langsung di tarik oleh santika.

"Udah nanti kemaleman, mbak berangkat ya. Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam. kok ada yang aneh mending aku ikutin gak biasanya keluar jam segini." gumam Raden.

°°°

Citttttt!

Askaa awas!

Minggir!

Suara teriakan semua orang menggema di sentro jalan raya. Raden berlari kencang meju TKP mereguh tubuh ringkih Aska yang syok terduduk lemas di aspal memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong.

"Hey jagoan, denger om." Raden berjongkok melambaikan tangan tepat di wajah Aska menuntun ke pinggir terotoar.

Salah satu warga memberikan air mineral kepada Raden untuk Aska,
"Mas ini buat adeknya langsung bawa ke rumah sakit aja mas takut kenapa-napa nanti."

"Iya pak, makasih."

Santika menyadari kejadian barusan hampir merengut nyawa Aska lari tergepoh gepoh dari Apotek membawa satu keresek putih isi obat entah obat apa.

Ataska!

°°°

Rumah sakit Kasih ibu

Kejadian itu benar benar cepat di luar dugaan aku syok memeluk Aska erat berbisik pelan "Maafin mama Aska."

"Eugh "

Aku sangat menyesal tidak seharusnya memperlakukan Aska seperti itu layaknya anak tiri. Mas maafin Santika ya belum bisa jadi ibu yang baik buat anak kita Aska.

Santika terus menangis di pingir bankar mengusap pelan tangan sang putra melontarkan kata maaf yang mendalam ia takut kehilangan dan belum bisa ikhlas atas meninggalnya sang suami ketika bertugas di Manado.

Dermawan adalah seorang TNI anggkatan darat yang bertugas mengawasi daerah kekuasaan tertinggi di Indonesia ia di tempatkan di perbatasan jauh dari permukiman warga jadi bisa dikatakan susah sinyal jika ingin menghubungi sanak saudara di kota.

Tatapan kosong itu kembali teduh kedua tangannya bergerak mengusap air mata di pipi penuh kasih sayang.

"Mama ja--ngan nangis."

"Mama gak Nangis sayang." ucap Santika.

"Bohong, Mama masih mikirin papa." kata Aska membelakangi sang mama ke sudut ruangan. Santika pamit keluar ruangan pipi ibu satu anak itu sudah basah oleh air mata.

Crieet

Suara pintu ruangan terbuka.

Raden dari tadi mengecek ponsel tidak ada yang menelfon ia sudah memberi tahu sekertaris pribadinya Delta agar mengheandel meeting besok pagi  ia ingin cuti satu hari.

"Mbak, Ikut saya sebentar. Ada yang mau diomongin." Ujar Raden.

"Mau kemana. Den?"

Raden tidak menghiraukan perkataan sang kakak terus berjalan ke arah kantin rumah sakit.

"Duduk mbak. Saya pesenin makan dulu."

"Iya.

"Mau ngomong apa? The to poin aja." desak Santika.

"Ehem." Satu tarikan nafas Raden melontarkan perkataan pedas singkat padat dan jelas.

"Mbak bener mau bunuh Aska untuk kedua kalinya! Jawab mbak. Aska juga manusia biasa kaya kita gak seharusnya---"

"Karena Aska Istimewa, Den. Mbak malu punya anak kaya Aska." sela Santika memotong pembicaraan.

"Ck, Malu alasan klasik. Raden yang harusnya malu punya kakak kaya mbak gak punya hati."

Raden langsung membayar satu mangkuk mie ayam memberikan uang satu lembar berwarna biru tanpa kembalian.

"Eh, mas uang nya kebanyakan." seru pedagang kantin.

"Buat mas aja, Saya ikhlas."

"Den tunggu!"

Dia memang ceria tidak perah bibir mungil itu mengeluh apa pun kondisinya namun Aska akan marah jika teman atau orang tuanya terluka. Keterbatasan mental bukan asalan untuk bisa meraih prestasi lebih baik dari yang kita bayangkan memang mustahil tapi Allah itu adil mereka punya kelebihan dan kekuranganya masing-masing.



-ATASKA 2010-



ATASKA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang