Melati sangat antusias dengan perjodohan dirinya dengan Arya, anak sahabat kedua orang tuanya. Meski kini bukan jamannya lagi main perjodohan, tetapi kedua keluarga telah sepakat, persahabatan berakhir dengan besanan.
Sejak kecil Melati memang telah mengenal Arya, mereka sering bertemu ketika kedua keluarga saling berkunjung. Gadis itu suka bermain dengan anak lelaki yang hanya beda satu tahun dengannya. Sikap yang usil dan sering membuatnya menangis tidak mengurangi rasa nyaman kalau sudah bermain dengan si sahabat kecil .
Setiap ulang tahun, Melati selalu mendapat kado dari Arya kecil. Menganggap hadiah dari sang sahabat sebagai kado terindah yang ia terima.
Saat kelas dua SD Arya memberi kado Teddy bear, ia selalu membawanya kemanapun. Sejak itu, Melati tidak mau tidur kalau Teddy tidak ada dalam pelukannya.
Namun, sejak Arya lulus SD anak itu tidak pernah lagi datang berkunjung ke Jogja, saat Melati ulang tahun, kado ia titipkan, yang terakhir malah dikirim lewat paket. Meski kecewa Melati tetap bahagia dengan kado itu.
Kini, Melati sudah duduk di bangku SMP. Kedua orang tuanya memberikan kejutan , sebuah kotak kecil dengan sepasang cincin di dalamnya."Apa ini, Ma?" tanya Melati tidak mengerti.
Ibu Winda tersenyum seraya menjawab, "Perjodohan kamu dengan Arya."
Gadis belia itu membelalakkan mata, menatap kedua orang tuanya bergantian.
"Mama sama Papa tidak sedang bercanda, 'kan?"
Gadis itu menatap bingung kedua orang tuannya. Orang bilang sekarang bukan lagi jaman Siti Nurbaya, tetapi mereka muncul dengan ide perjodohan itu."Kami tidak memaksakan, jalani saja,
kalau kamu merasa yakin dan setuju kamu bisa terima perjodohan itu dan jika kamu merasa cincin itu memberatkan, kamu bisa abaikan, karena kami tahu dan percaya jodoh kita sudah dipilihkan oleh Allah."
Pak Wiguna menjelaskan dengan lembut.
Melati mengangguk, mencoba untuk mengerti keinginan orang tuanya."Kalau kamu mau, lulus SMP bisa lanjutkan sekolahmu di Jakarta, mengenali Arya lebih deket lagi,"
Ibu Winda menambahkan seraya menatap putri mereka."Tinggal dengan Tante Ratih dan Om Handoko?"
tanya anak bungsu Bapak Wiguna itu.Kedua orang tua yang mengapitnya di sofa tersenyum menganggukan kepala.
"Boleh juga Ma, kebetulan Karina sekarang di sana, tar bisa sekolah bareng dia lagi,"
ucapnya dengan wajah berbinar.***
Hari yang dinantikan akhirnya tiba.
"Selamat tinggal Putri biru,"
bisiknya lirih.
Wajahnya merona saat bangku SMP ia tinggalkan, menyongsong hari esok yang begitu dinantikan selama ini.
Melati sudah selesai berkemas, esok dia akan terbang ke Jakarta sesuai keinginannya. Menemui sang pangeran impian. Ia menatap kotak kecil dalam genggaman tangan lalu memasukan ke tas, memastikan tidak akan lupa untuk membawa serta."Kau yang menuntunku menuju ke sana,"
bisiknya dengan senyum simpul.
Pagi hadir dengan senyum, mentari yang hangat dan ramah, membuat hati Melati semakin semangat.
Cewek itu sudah duduk di meja makan menanti kedua orang tuanya untuk sarapan. Tak lama Pak Wiguna juga Ibu Winda menghampiri, menatap Melati yang sudah menunggu."Putri Mama sudah siap ternyata,"
ucap si ibu seraya duduk di samping Melati.Gadis itu tersenyum seraya menjawab,
"Kita kan harus segera ke bandara biar nggak ketinggalan pesawat, Ma!" ucap Melati mulai mengunyah sarapan."Rupanya ada yang sudah nggak sabar nih, Ma!"
Pak Wiguna, melirik ke arah istrinya."Dah gak sabar ketemu sang pangeran, Pa,"
imbuh sang istri." Huff! Mama apaan, sih,"
ucap Melati tersipu, merasakan pipinya yang menghangat.Ketiganya segera menyelesaikan sarapan, untuk kemudian menuju ke bandara, terbang ke Jakarta.
Matahari meninggi ketika keluarga Wiguna keluar dari bandara Soekarno-Hatta, di jemput Pak Rahmat sopir keluarga Handoko.
Mobil melaju menembus jalanan Jakarta yang terik. Meski cukup sering dirinya berkunjung ke Jakarta, tetapi kali ini sangatlah berbeda, ada satu rasa yang sulit Melati jabarkan.
Menjelang makan siang mobil memasuki halaman rumah keluarga Handoko, mereka disambut hangat Pak Handoko dan ibu, sepertinya ke duanya sudah menunggu kedatangan tamu istimewa mereka.Melati mencium tangan Ibu Ratih juga Pak Handoko dengan takzim.
"Selamat datang Melati, gimana perjalanannya tadi?"
suara Nyonya Handoko lembut, setelah semua duduk di ruang tengah."Terima kasih tante, Alhamdulilah perjalanannya tadi lancar," jawab Melati dengan senyum kecilnya.
Cewek itu menyapukan pandangan kesekeliling ruangan mencari sosok yang yang sedari tadi tidak terlihat menyambutnya.
"Nak Arya mana, Jeng, dari tadi kok nggak kelihatan?"
Bu Winda bertanya seraya melirik sekilas kearah putrinya yang sedang gelisah."Biasa, Jeng, Arya tadi pamit mau ke rumah temennya, sebentar lagi juga pulang,"
jawab Ibu Handoko.
Tak lama seorang yang sudah cukup umur mendekati mereka."Pak, Bu, makan siangnya sudah siap,"
Kata-katanya penuh hormat ke tuan dan tamunya."Ya Bik, makasih,"
balas Ibu Ratih."Bik Iyam, apa kabarnya?"
Pertanyaan itu menghentikan langkah perempuan yang hendak berjalan kembali ke dapur.
Bik Iyam menatap Melati dengan senyum."Ya Allah! Mbak Melati sudah besar ... dan sangat cantik,"
Pujinya tanpa menjawab pertanyaan Melati."Bibik bisa aja,"
balasnya tersipu."Bener Mbak, bibik enggak bohong, iya kan, Bu?"
Bik Iyam kemudian melirik Ibu Ratih, meminta dukungan.
Wanita yang dilirik pun tersenyum dan mengangguk mantap, membuat wajah Melati semakin merona."Tuh kan, bibik bilang juga apa. Ayo, Mbak Melati makan dulu, sudah bibik siapin di meja makan," lanjut Bik Iyam.
"Iya Bik, makasih," balas Melati.
Bapak Handoko dan ibu segera mendahuli bangkit dari duduk, mengajak tamu mereka menuju meja makan. Suasana hangat begitu terasa, sementara Melati tidak banyak bicara hanya sesekali tersenyum atau mengangguk mengiakan jika kedua pasangan yang ia hormati menyebut namanya. Pikiran gadis itu masih gelisah sesekali ujung matanya mencuri pandang ke luar ruang makan menuju pintu depan.
Ibu Ratih meraih handphone dan melakukan panggilan.
"Arya! Kamu dimana? Mama 'kan dah bilang hari ini Melati dateng, Mama nggak mau tahu, pokonya pulang secepatnya!"
Kata -kata tegas Nyonya Handoko, setelah panggilan tersambung."Anak itu bener-bener deh,"
Keluh Bu Handoko begitu memutus panggilan."Biasa Jeng, anak remaja sedang seneng-senengnya ngumpul bareng temen-temennya,"
Balas Bu Winda dengan senyum, sekilas menatap Melati yang masih tampak gelisah.
Saat mereka selesai makan dan hendak beranjak dari tempat duduk, terdengar langkah seseorang dari pintu depan. Jantung Melati berdegub kencang, gadis itu tampak gugup, menatap kearah datangnya suara."Apakah dia benar-benar pangeran impian itu?" batin remaja rupawan itu, mengatur debaran hatinya yang tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERJODOHAN
RomancePerjodohan antara Melati dan Arya, mereka saling kenal sejak masih belia. Akankah mereka menerima perjodohan itu? Akankah Arya benar-benar charming prince yang Melati impikan waktu kecil?Akankah cinta ada dalam perjodohan mereka?