Luka dalam hati

3K 337 46
                                    


Melda mengguyur tubuhnya di bawah air shower. Tak peduli dengan baju yang basah kuyup. Tangisan yang dari tadi ia pendam terus menerus ia keluarkan. Beruntung tersamarkan dengan bunyi air yang jatuh sehingga sekeras apapun ia menangis dan berteriak takkan terdengar dari luar. Logikanya berpikir seperti itu.

Melda menangis bukan hanya karena ucapan sang calon suami yang kini berubah menjadi mantan calon suami. Namun, karena tidak sekali dua kali ia mendengarkan kata-kata buruk tentang dirinya. Ia lelah.

Bukan maunya. Sumpah demi apapun bukan mau Melda hidup dengan status yang kini ia sandang. Ia manusia biasa yang ingin bahagia, tertawa lepas dan berjalan mendongak meski status itu miliknya.

Namun, bisakah mereka menatap Melda seperti itu? Sebagai seorang wanita biasa? Sebagai seorang wanita pada umumnya? Sebagai masyarakat yang juga butuh teman dan sosialisasi?  Bukan Melda orang sang janda, tapi perkataan orang-orang yang terus mencibir membabat habis rasa percaya dirinya hingga tak bersisa. Membatasi ruang gerak serta lingkup sosialisasinya.

Belum lagi tentang dirinya yang dianggap sebagai benalu di keluarga mertuanya. Iya, Melda memang hidup di rumah mertuanya. Sudah berkali-kali ia mencoba pergi diam-diam, tapi mertuanya selalu menahannya. Menyuruhnya untuk menetap dan menjadi anak angkat mereka. Bahkan mereka sampai bersujud memohon pada Melda untuk tetap tinggal. Lantas, apa ia tega? Tidak.

Melda paham kalau Aldo Bramantyo adalah anak tunggal, sehingga kini ia diangkat sebagai anak untuk menahan dirinya, tapi apa mertuanya tidak tahu diluar sana banyak orang yang membicarakannya? Menggunjingnya? Membuat cerita fiksi tentangnya?

Ia difitnah telah membunuh suaminya sendiri. Tidak sampai disitu, ia juga di tuduh sengaja membiarkan mertuanya hidup karena ia membutuhkan tanda tangannya untuk mendapatkan harta warisan. Tuduhan kejam tanpa bukti.

Dan sampai saat ini mereka terus berpandangan negatif pada Melda. Pada statusnya juga pada sikapnya. Meskipun jutaan kali Melda menampik. Benar apa  kata pepatah 'Akan sia-sia menjelaskan tentang diri kita pada seseorang yang membenci kita.'

Melda mematikan shower, melepas bajunya dan berganti dengan handuk baju yang tersedia. Sudah cukup tangisannya hari ini. Ia tak mau membebani mertuanya yang sudah ia anggap seperti orang tua kandung. Pasti nanti akan ada pertanyaan kenapa kantung matanya menghitam.

"Mama!!" Melda begitu kaget saat melihat mertuanya sudah ada di ranjangnya. Menelan ludah susah payah.

"Kamu kenapa mandi?" tanya Rima. Melipat kening melihat menantu yang sudah ia anggap anak sendiri itu mandi. Wajahnya terlihat ramah dengan senyum tipis.

"Oh itu ... Ah iya, Melda gerah, Ma. Iya gerah." Melda menganggukkan kepalanya meyakinkan jawabannya sendiri. Karena jawaban itu keluar secara spontan. Ia belum menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang pasti keluar saat melihat dirinya.

"Sini." Rima menepuk ruang di sebelah kanannya.

Menurut, Melda bergerak ke tempat yang diarahkan. Begitu terkejut ketika mertuanya tiba-tiba memeluknya. Bahkan tak lama setelah itu terdengar isakan. Air yang keluar merembet membasahi handuknya. Melda masih diam tak bergerak. Tak tahu harus apa. Jantungnya bertalu ingin ikut menangis.

"Maaf." Setelah beberapa menit kata itu terucap dari bibir mertuanya. "Maafkan Mama. Mama janji itu tadi yang pertama dan terakhir."

SARANGHAEYO, JANDA! (Pindah Ke Kubaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang