memilih

3.3K 179 1
                                    

Selamat malam
Selamat membaca
.
.
.

Benar saja, Shela terus saja merecokiku dengan sindirannya jika kami bertemu. Malahan dengan hebohnya dia membandingkan posisi yang hot menurutnya. Selain itu, Shela menyarankan aku memakai baju tidur transparan jika Fabian datang.

Gila nih bumil satu ini! Pikirannya mesum gini.

Begitu Shela menanyakan rencana masa depanku dengan Fabian, aku bungkam. Jujur, pernikahan membuatku takut. Pernikahan bukan hanya menyatukan dua raga dan hati tapi juga dua sisi, yaitu keluarga. Menurutku itu sisi terkuat dan yang paling menentukan dalam hubungan pernikahan.

Keluargaku?

Tidak ada.

Aku sudah tidak punya siapa-siapa.

Fabian?

He's perfect.

Secara fisik, tampan, mempesona dengan body yang pelukable pakai banget.

Secara material, jangan tanyakan lagi. Dia pimpinan di perusahaannya di luar kota. Aku memang tidak pernah menanyakan apa nama perusahaannya karena aku tidak mau membahasnya. Aku cukup tahu dia menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang media. Aku rasa hal seperti itu tidak usah dibahas secara mendetail, untuk sekarang.

Dari penampian saja, terlihat jelas. Pasti saldo di rekeningnya penuh bahkan tumpah-tumpah. Mungkin bukan hanya satu rekening tapi beberapa rekening.

Di balik kesempurnaannya pasti keluarganya juga bukan orang sembarangan. Rasa tidak percaya diri membuatku enggan menanyakan siapa keluarganya bahkan aku juga tidak berminat memintanya mengenalkanku pada keluarganya. Jelas aku takut jika keluarganya 11-12 dengan keluarga mantanku.

Shela menanyakanku apakah aku mencintai Fabian?

Ya, rasa itu masih sama seperti dulu. Fabian selalu di hatiku tapi melanjutkan hubungan kami lebih lanjut, rasanya berat.

"Ngakunya aja trauma atas pernikahan tapi diajak nananinu mau aja."

Anjir! Mulut bumil satu ini memang minta ditampol!

Aku menepuk lengannya keras-keras hingga dia mengadu.

Setelah malam kelepasan itu, aku berusaha menghindari Fabian. Tiap dia mencoba menyentuhku lebih intim saat kami bertemu, aku selalu beralasan. Aku yang sedang berhalangan, aku yang kecapekan, pura-pura sakit kepala dan butuh istirahat atau aku yang pura-pura mengantuk dan tidur. Berbagai alasan ku buat seapik mungkin demi tidak terulang lagi 'kelepasan' itu. Yang paling ekstrim, aku menghindari pertemuan kami.

Hari Sabtu minggu lalu, harusnya kami bertemu seperti minggu-minggu sebelumnya tapi kali ini tidak. Aku mengatakan bahwa aku menginap di rumah teman kantorku karena pijamas party dengan beberapa teman kantor yang lain. Awalnya Fabian tidak mengizinkanku tapi aku memohon dengan alasan agar lebih dekat lagi dengan mereka.

Kali ini masih aman, tidak tahu lagi episode pertemuan kami selanjutnya. Aku juga mempunyai PR yang belum bisa ku selesaikan. Memberinya kepastian menerima lamarannya atau tidak. Ini sudah terhitung lepas dari masa iddahku malahan. Aku terus saja menghindarinya. Sepertinya aku harus mencari alasan lain lagi sebelum dia menanyakan kembali jawaban lamarannya.

Semoga dia masih bisa bersabar.

***

Gara-gara memikirkan alasan untuk Fabian, aku jadi bangun kesiangan. Kemarin malam, dia malah nggondok dan menatapku kesal saat aku bilang aku masih berhalangan dan tidak bisa disentuhnya.

Benar-benar berhalangan.

Fabian mengerang frustasi. Itu membuatku merasa bersalah sekaligus kesal juga karena kemesumannya.

Mine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang