lembar ketujuh; Hujan Bogor Ujung

124 87 5
                                    

Pagi ini terasa sedikit berbeda dari hari-hari kemarin. Memang, bulan Desember adalah bulan kesukaan hujan, tapi hari ini hujannya bahkan sudah turun sejak pukul lima pagi. Jika saja bukan hari senin, Serayu enggan untuk lepas dari selimut dan kasurnya.

Mau tidak mau Serayu harus menepis kasar rasa malas.  Bahasa Indonesia ada di jam pertama, mata pelajaran itu mendadak horor karena gurunya killer bukan main. Kalian tahu? Minggu lalu,  saat buku Serayu tertinggal, Ibu killer itu mengomel dari Eropa sampai Amerika. Padahal hanya masalah sepele! Penduduk bumi menang aneh-aneh.

"Sera! Bangun, sudah subuh!" Toa maut terdengar begitu kencang sampai gendang telinga Serayu hampir pecah. rasanya. Mama Dita kalau sudah berteriak bisa mengangetkan satu kelurahan. Jangan ditanya sampai berapa meter teriakan itu terdengar.

Tanpa niat menjawab, Serayu menyibak asal selimutnya, lalu pergi untuk sikat gigi. Bagaimana dengan mandi? Suhu di Bogor saat Hujan sungguh seperti mandi dengan air es yang baru saja dikeluarkan dari kulkas. Serayu cukup terbiasa, namun tidak untuk hari ini, bisa menggigil dia.

"Mama, Sera diantar siapa?" Pertanyaan itu terdengar beradu dengan hentakan anak tangga, Serayu bahkan terlihat sibuk membuat simpul pada dasi abunya.

Taruni dengan nama lengkap Serayu Senandita duduk, tangannya lantas menyomot asal roti tapi berhenti mendadak kala Jidan bersuara. "Sama Haikal aja!" Saran yang cukup masuk akal tapi Serayu tidak mau. Merepotkan nanti.

"Kenapa diem? Mau gak? Kalau mau Aa telpon, nih?"

"Nggak, A. Males, Sera bareng Agas aja."

"Nu edan weh. Mau hujan-hujanan gitu? Gak pisan!"

"Kalau Sera sama Haikal, nanti Sera ngerepotin dia."

"Kamu juga ngerepotin Bagas kalau kamu tetep kekeh bareng dia."

"Apa yang ngerepotin? Agas pacar Sera."

Mama Dita menggeleng, meja makan sudah seperti arena tinju, padahal masih pukul enam. "Kalau kamu bareng Bagas, kamu bakal kehujanan, Bagas juga. Abis nganter kamu, Bagas harus cepet-cepet berangkat ke sekolahnya. Yakin gak ngerepotin?"

"Pake mantel atuh Mama."

"Jarak, Ra. Kamu gak mau ngerepotin Haikal tapi kamu ngerepotin Bagas. Udahlah, sama Hai—"

Belum sempat tertuntaskan, ketukan pintu malah mengalihkan perdebatan tadi.

"Assalamu'alaikum ...."

Suaranya khas sekali, tanpa harus melihat, mereka sudah tahu siapa yang datang.

"Nah! Ada Haikal!" Jidan kesenangan. Dibalik pintu kayu yang Mama Dita buka, sosok Haikal muncul dengan rambut yang sedikit basah. "A Jidan, gue mau ambil jaket, semalem ketinggalan." Katanya.

"Ah, tunggu!" Jidan lantas bergegas ke kamarnya, padahal piring dia masih full nasi goreng spesial buatan Mama Dita.

"Ayok masuk, kita sarapan bareng."

"Gapapa Tante, Haikal sudah sarapan. Tunggu di sini aja."

"Mau langsung berangkat?"

"Iya."

"Bareng sama Ser— lho? Sera kamu dimana?"

Serayu menghilang tanpa ketahuan. Anak itu benar-benar, masih pagi sudah membuat Mama Dita kleyengan.

"Sera belum berangkat ya, Tan? Haikal kira sudah, tadi gak liat soalnya."

"Tadi ada di kursi sana, tapi kok hilang?"

"Sera ngumpet dibawah meja, Ma!"

"MULUTMU, A!"

Dengan kekuatan super hero lintas generasi,  sang kakak menggusur raga yang menolak dengan wajah garang tak terkira. Ya mau bagaimana, Serayu kalah telak dari apapun, tenaganya tidak sebanding.

Rintik Sedu Di Kota Hujan [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang