Jeanne Eloise menopang dagu, merasakan hembusan angin menjilati pundaknya yang dibiarkan terbuka. Helaian rambutnya yang tidak ikut terikat menggeliat, bergerak tak beraturan. Sinar matahari sore dengan lembut menerpa sebagian jengkal kulitnya yang tidak tertutup kain.
Ia menghela napas ringan, menatap awan-awan yang warnanya perlahan berubah menjadi perpaduan antara jingga, ungu, dan merah muda. Seperti memang ada yang sengaja melukis dan merubah warnanya dari atas sana.
Secarik senyuman terpahat di wajah cantiknya. Jane —sapaan akrab perempuan itu, kini sedang menikmati sore dari balkon kamar apartemennya. Ia bisa melihat kesibukan lalu lintas ibu kota dengan jelas dari atas sini.
Pikirannya melayang mundur pada kejadian-kejadian dua tahun lalu. Mulai menerka-nerka.
Apa yang akan terjadi jika saat itu Jane memperjuangkan cintanya? Apa yang akan terjadi jika Jane menolak pilihan konyol orang tuanya? Apa yang akan terjadi jika pemuda itu tidak secara tiba-tiba terlibat jauh dalam kehidupannya? Apa yang akan terjadi jika ia tidak pernah memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang akan membuat hidupnya berubah total seperti sekarang ini?
“Jane?” suara laki-laki dengan tone baritone itu menginterupsi, membuat Jane dengan cepat menoleh. “Melihat kebahagiaan, huh?” tanya laki-laki itu, kini sudah berdiri tepat di sebelah Jane. Hafal betul kebiasaan Jane yang selalu senang melihat langit dengan awan-awan yang menggantung di atas sana.
Demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan laki-laki itu, Jane tertawa ringan menjawab, “Well, it could be.”
Laki-laki itu kemudian meraih pinggang ramping Jane, memeluknya dari samping. Ikut tenggelam menikmati matahari yang cahayanya mulai hilang ditelan gedung-gedung tinggi.
“Makasih ya,” ucap Jane tiba-tiba, membuat dahi laki-laki di sampingnya sedikit berkerut. Jane mendongak, menatap tepat titik mata hitam lawan bicaranya. “Thank you for catching me the clouds,” lanjut Jane lebih jelas.
Laki-laki itu tersenyum simpul, menciumi puncak kepala Jane sayang. “Ternyata kita bisa sampai sejauh ini 'kan, Jane?”
“Iya. Dan aku sendiri masih nggak ngerti, kenapa setelah dapat kesempatan kedua aku justru lebih milih kamu,” ungkap Jane jujur.
“Itu kata hati,” jawab laki-laki itu terkesan asal, mencubit ujung hidung Jane gemas. Membuat Jane kembali terkekeh kecil.
Ah, masa-masa itu. Ternyata sudah tertinggal jauh di belakang sana.
Bila ada jika, pasti akan ada maka. Jane punya banyak pertanyaan semacam itu. Dan semua pertanyaan menerka-nerka milik Jane yang berorientasi pada pertanyaan 'jika', hanya perlu satu 'maka' sebagai jawabannya.
Apa yang akan terjadi jika saat itu Jane memperjuangkan cintanya? Apa yang akan terjadi jika Jane menolak pilihan konyol orang tuanya? Apa yang akan terjadi jika pemuda itu tidak secara tiba-tiba terlibat jauh dalam kehidupannya? Apa yang akan terjadi jika ia tidak pernah memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang akan membuat hidupnya berubah total seperti sekarang ini?
Maka mungkin ia tidak akan pernah bisa merasa sebahagia sekarang.
Still And All
© dlyyne, 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Still And All
ChickLitKatanya, cinta bisa datang karena terbiasa. Tapi bagi Jane dan Victor -dua orang yang terpaksa dekat karena perjodohan konyol yang direncanakan keluarga mereka, konsep cinta sebenarnya tidak sesederhana itu.