7. Sakit

7 4 1
                                    

Angin sejuk menerpa wajah Vanya. Matanya memandang hampa perairan luas yang terbentang di depan. Walaupun pemandangan sangat indah, ia tidak mampu menikmati sepenuhnya karena hal-hal berat yang mengusik dan berlalu lalang di pikiran. Suara ombak beradu dengan suara sekelompok pria yang berbincang-bincang di belakangnya. 

Saat ini ia berada di kafe terbuka tepi pantai. Kafe ini masih sepi karena tutup, jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. 

Ada tempat untuk memesan makanan di sebelah kanan, tempat itu hanya satu ruang berbentuk persegi panjang dari papan kayu yang dicat hitam. Sedangkan kursi dan meja bertebaran di atas pasir pantai. Ada satu bangunan lain di dekatnya. Bangunan dengan panggung yang tinggi--ada meja-meja, dan para pelanggan duduk lesehan. 

"Ailee! Ke sini!" teriak seseorang dengan tubuh kecil di antara tiga pria lain. Namun, auranya paling dominan. "Aku tidak memintamu ke sini untuk menikmati pemandangan pantai!"

Vanya berbalik. Ia berjalan mendekat, berdiri di hadapan keempat pria itu yang duduk sambil memandangnya remeh. Mulutnya terkunci, tatapan matanya sangat lelah.

Pria yang memanggilnya tadi mematikan rokok dengan menekan ujungnya ke meja kayu di depannya. "Kamu harus menjaring banyak mahasiswi. Setelah itu, datang dan pantau langsung di sana."

"Saya bisa mendapatkan banyak orang, tetapi saya tidak bisa berada langsung di sana." Vanya menatap tanpa ekspresi. "Saya tidak mau terlalu dikenali."

"Ini perintah, bukan negosiasi!" teriak pria tersebut. "Lagian, kamu kuliah untuk apa? Apa benar-benar untuk ...," ia memandang ke samping, "dia kuliah jurusan apa?" Setelah mendapatkan jawaban, ia kembali memandang Vanya dengan senyuman remeh. "Untuk menjadi  ... aku juga tidak tahu apa gunanya Biologi?"

Tangan kanan Vanya bergerak untuk memegang pergelangan tangan kirinya yang terikat kain, seperti gelang. "Anda yang memaksa saya kembali, Rein." Wajahnya terangkat, memandang dengan ekspresi marah yang tertahan. Matanya juga menyiratkan kebencian.

Ya, pria itu bernama Rein, pria pertengahan empat puluh tahun, ada tato kepala rusa bertanduk di lehernya. Ia mengenakan pakaian santai dengan corak bunga-bunga. Tidak terlihat seperti pimpinan gangster, tetapi tatapan matanya terkadang mengungkapkan jika ia adalah seseorang yang sangat kejam. "Jangan menatapku seperti itu, Ailee. Ingat posisimu sekarang," ucapnya dengan seringaian di wajah.

"Saya tetap ingin memiliki sisi kehidupan yang normal."

Mendengar itu, Rein berdiri. Tatapannya dan Vanya beradu sengit, hingga akhirnya ia menggeleng dengan tawa remeh khasnya. "Bagaimana mungkin, Juand telah menebus dosanya, dan kamu masih baik-baik saja?"


***

Vanya berjalan memasuki Fakultas Ilmu Pendidikan. Karena setelah siang tidak memiliki jadwal kuliah lagi, ia memutuskan untuk bermain di fakultas Aya, sahabatnya itu.

Gedung fakultas ini terlihat cukup tua, terdiri dari empat lantai dan melingkar. Vanya bisa melihat banyak mahasiswa yang berpakaian sopan, bahkan ia memakai rok sekarang karena tidak ada wanita yang mengenakan celana di sini. 

Alisnya terangkat ketika melihat seorang gadis sedang duduk sendirian di dekat ruang dosen. Gadis itu merebahkan setengah badan di atas meja dengan kedua tangan terulur ke depan, terlihat bosan sekali. 

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Banyak meja lebar dari besi dengan bangku panjang di dekat tiang-tiang tempat para mahasiswa berkumpul. 

"Aalisha!" sapanya ketika duduk di sebelah gadis itu. "Gak kuliah?"

Aalisha langsung terbangun. Ia terlihat kaget bercampur senang. "Van! Kamu mau ketemu Aya?" Ia bergeser, lebih dekat ke Vanya. "Aku bolos."

Hazards of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang