Fabian berulah

3.7K 181 1
                                    

Aku mengerjapkan mataku perlahan sambil memegang kepalaku yang sedikit pusing. Sepertinya sudah pagi. Terdengar Mang Eman meneriakkan sayur dagangannya. Mungkin sekarang sudah hampir jam lima. Aku terpekik saat mataku terbuka sempurna. Di depanku tampak sebuah dada bidang tanpa tertutup kain dan sebuah lengan yang memeluk pinggangku. Kepalaku mendongak cepat, menemukan wajah Fabian yang masih lelap.

Dia menginap?

Perlahan aku melepaskan diri tapi lengannya semakin erat memelukku. Aku kembali terpekik saat melihat baju yang ku kenakan. Aku sudah memakai baju tidur tipis yang biasa ku gunakan. Pasti Fabian yang menggantinya. Tiba-tiba saja pipiku terasa panas.

Sekali lagi, aku mengangkat lengannya agar aku terlepas. Terdengar gumamannya, "Lima menit lagi, Ly. Aku masih ngantuk."

Lima menit, lima menit! Tinggal tidur aja kenapa sih!

Aku mengangkat lengannya dan menekan dadanya, tepat di atas jantungnya agar dia kembali tidur. Setelah mendengar napas teraturnya, aku beranjak turun dari ranjang. Memasuki kamar mandi. Aku harus bersiap ke kantor.

"Lily."

Baru saja aku membungkus rambutku dengan handuk, panggilan itu terdengar nyaring. Aku melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Fabian baru bangun, menatapku kesal.

"Duduk."

Dari dulu, jika Fabian dalam mode tegas seperti ini aku tidak membantah. Apalagi mood-ku yang masih tidak baik-baik saja. Aku lebih memilih tidak berdebat. Belum sempat aku duduk, Fabian sudah menarik tanganku hingga aku terduduk di pangkuannya. Kedua lengannya menahanku.

"Kamu baik-baik saja?"

Setelah kejadian kemarin?

Tidak.

Tapi aku tetap saja mengangguk.

"Aku sudah membatalkan proyek itu."

Aku menatapnya tidak percaya. "Kamu nggak perlu melakukannya, Mas. Aku baik-baik saja. Perusahaan akan rugi besar."

"Aku nggak peduli. Kamu lebih penting. Aku nggak akan biarkan ada orang yang menyakitimu. Termasuk klien perusahaan."

Entah aku harus senang atau sedih. Nyatanya mengapa aku tidak pantas mendapat pembelaan itu? Semua orang selalu menatapku sebelah mata. Sebegitu rendahnyakah aku?

"Aku masih marah sama kamu."

Aku balas menatapnya jengkel. "Ya harusnya aku juga marah sama kamu, Mas. Kamu nggak pernah bilang kalau kamu anaknya bosku."

"Kamu juga nggak pernah nanya siapa orang tuaku. Lagian kalau aku bilang bos kamu itu papaku, pasti kamu nggak mau kerja di sana kan?"

Jelas iya. Sekarang aku jadi bingung, mau terus bekerja di sana atau tidak. Aku harus membuat perhitungan sama Shela. Siapa sih om-nya sebenarnya?

"Kenapa kamu lebih memilih tetap bekerja daripada menikah denganku?"

Kemarahan terpancar dari mata Fabian. Mata itu menatapku tajam. Fabian yang sekarang dalam mode tidak bisa didebat.

"Aku harus bekerja untuk tetap hidup."

"Aku yang akan memenuhi kebutuhan kita jika kita menikah."

Bukan itu.

"Apa yang kamu mau, Lily?"

Aku tidak menginginkan harta.

"Apa kurangnya aku?"

Tidak ada, Mas. Hanya aku yang tidak sempurna.

"Lily."

Aku menghela napas kasar dan menatapnya. "Aku harus membuktikan kepada semua orang bahwa aku bukan wanita matre. Aku harus membuat semua orang tidak memandangku sebelah mata. Aku hanya ingin semua orang tahu bahwa aku ... Aku nggak seperti yang mereka sangka bahkan klien kita menganggap aku bukan wanita baik-baik. Aku ingin mereka tahu aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri dan nggak hanya mengandalkan kekayaan seorang pria. Pernah nggak sedikit aja kamu ngertiin perasaan aku, Mas?"

Mine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang