Moonlight
"Suruh siapa kau menyelamatkan aku?"
Yuri tak akan mudah goyah dengan pertanyaan macam itu. "Aku hanya ingin mengganti kue yang kau berikan kemarin," jawabnya dengan begitu jujur. Ia mengaku salah karena telah lancang memasuki rumah orang lain tanpa izin. Ia juga menyadari bahwa tak seharusnya ia menolong orang itu bahkan jika orang itu sekarat di dalam sana. Roshan tak berkutik apapun selain itu. Rupanya karena tubuhnya terasa begitu lemas hingga membuatnya terlelap diatas ranjangnya sendiri dengan balutan handuk tadi. Pikirannya yang sedari tadi kosong tiba-tiba terisi oleh munculnya si gadis tetangga yang menyebalkan. Tak terasa ia tertidur selama dua jam lamanya. Semua lpu dirumahnya menyala hingga gorden yang ada juga dalam kondisi tertutup. Apa ini sudah malam? Batinnya yang tak mengetahui keadaan kala itu menyadari bahwa sudah ada beberapa pasang baju miliknya ada di pinggir ranjangnya. Lebih tepatnya ada diatas nakas kecil. Memang sudah seharusnya baginya untuk berganti pakaian hanya saja ia merasakan benda aneh menempel pada tangannya.
Selan infus tertancap di pergelangan tangan kanannya. Sudah berapa lama ia tertidur hingga benda ini tak terasa sama sekali dipakaikan padanya? Ia bertanya-tanya hingga melihat jam dinding dan akhirnya ia pun mengerti.
"Kenapa harus jadi begini?"
***
Yuri jatuh dari ranjangnya. Kepalanya bahkan membentur pada lantai cukup keras. Napasnya begitu tercekat. Ia mencari-cari botol kecil yang berisikan obat tabletnya. Hal yang lebih mengerikan kembali lagi menjadi sang bunga tidur yang selalu menyapanya di malam hari.
Yuri menyesal. Ia benar-benar melihat dirinya sebagai sosok yang begitu kotor. Mana mungkin ia bisa terus kuat melihat wanita itu kehilangan sosoknya? Mengapa Yuri melenyapkan sosok penting itu?
Ia begitu kalut dalam emosi kala itu. Hingga ia tak menyadari bahwa hal kecil yang ia lakukan bisa berdampak begitu besar.
"Tolong buatkan makanannya ya," pinta sang ibu. Apa yang dimaksud oleh sang ibu adalah untuk membuatkan makanan bagi ayahnya yang tengah terbaring lemah di atas ranjang yang berada di kamarnya. Yuri benar-benar tersulut akan emosi kala itu. Pasalnya,bagaimana kehidupan mereka sebelumnya benar-benar kacau dikarenakan keegoisan orang yang ia panggil 'Ayah' tersebut.
Hingga di masa-masa sulit, sang ayah tak pernah memikirkan apa yang tengah dihadapi keluarganya. Judi? Hutang dan sekarang penyakit? Ibunya bahkan sudah bekorban hampir dari seluruh hartanya hanya guna menuruti perkataan pria bejad itu. Di kala ia sedang berada di puncak kekayaan,tak pernah sekalipun pria itu melirik istri dan anaknya yang notabene adalah pendukung kesuksesannya selama ini. Habis manis sepah dibuang mungkin akan cocok dengan Yuri dan ibunya. Hubungan antara istri serta anak pada sang lelaki itu hanyalah sebatas pembantu dan atasan atau orang orang mungkin memanggilnya dengan sebutan 'Raja'. Namun hal itu tak lantas membuat Yuri dan sang ibu mendapat perhatian dari orang sekitar karena banyak yang tak percaya jika pria itu adalah orang yang sekeji itu pada keluarganya.
Yuri benar-benar tak bisa membendung lagi emosi dan rasa sabarnya yang terus ia pendam hingga meledak kala itu ia baru masuk di tahun pertama bangku kuliah. Pagi hari sekali,mungkin sekitar pukul tujuh pagi dimana cahaya kuning dari langit sudah bisa menembus jendela. Hanya saja pada jam-jam tersebut,angin masih terasa dingin sebab panas matahari kala itu belum cukup mampu untuk menghangatkan udara yang ada.
"Seharusnya aku tidak boleh merasa bersalah. Namun apa ini?" Napasnya mulai kembali stabil. Ia pun menyandarkan sejenak tubuhnya diatas kasur dengan kepala bersandar pada bantal. Pukul setengah tiga pagi adalah waktu yang tak asing bagi tubuhnya. Ia sudah terbiasa hingga kelopak matanya bewarna hitam pun sudah ia maklukmi. Tak khayal jika ia tak bisa fokus karena jam tidur yang kurang. Setelah terbangun seperti itu setiap hari,ia tak bisa lanjut tidur dan berakhir dengan menyelesaikan tugas-tugasnya.
Hingga fajar tiba dan aktivitas melelahkan kembali menghampirinya. Yuri benar-benar kosong. Ia begitu merasakan kehampaan dalam setiap waktu yang berjalan hingga berulangkali ia menatap jam dinding sembari gelisah. Ia tak tahan dan mengambil serbuk putih yang sudah ia miliki sejak lama dan ia simpan secara rahasia di laci dekat meja belajarnya. Waktu kembali berjalan seketika kala ia menyadari bahwa dirinya tak akan pernah disalahkan.
Gadis muda yang nampak muram itu pergi ke dapur dikala tak ada seorangpun disana. Ia menyiapkan sarapan pagi yang menjijikkan itu lalu mencampurnya dengan benda rahasia tersebut. Betapa beruntungnya ia karena tak ada perubahan warna maupun bau yang datang dari makanan yang ia buat. Tanpa berpikir panjang,ia langsung memberikan mangkuk itu pada pria yang sedang sakit-sakitan dirumahnya. Namun ia pergi dan tak mau memperhatikannya sedikitpun. Ia tak peduli reaksi apa yang akan terjadi toh benda yang ia masukkan memang tak akan merusak begitu saja dalam sekejap. Hingga berita bahwa pria tua itu mati keesokan harinya,Yuri tidak menangis maupun terkejut. Ia sudah menduganya dan ia juga sudah siap dengan beberapa kemungkinan terburuk kedepannya.
Tanpa sadar,ia bukan hanya melenyapkan hidup ayahnya namun ia juga melenyapkan hidup wanita yang ia sayangi. Sang ibu mungkin terlihat baik-baik saja di awal,namun kehidupan mereka tak berjalan baik seiring berjalannya waktu. Mereka sadar bahwa pria kejam itu tak menyisakan apa-apa. Ia menghabiskan seluruh hartanya sebelum mati supaya tak akan ada yang memakainya selain dirinya. Begitu ucapnya tiap kali Yuri membutuhkan bantuannya.
Pagi itu,sang ibu masih tertidur di kamarnya. Pukul lima saat fajar baru saja tiba dan udara dingin masih belum bisa menjadi hangat,ia keluar dari rumah dengan jaket tebalnya. Ia tak tahu akan pergi kemana hanya saja ia perlu menenangkan pikirannya. Ia sendirian pergi menyusuri jalanan yang kosong. Ia berjalan sembari merapihkan rambut pendeknya yang kusut. Sayang sekali,hanya dirapihkan sedikitpun sudah banyak helai rambutnya yang berjatuhan.
Seseorang tiba-tiba datang menghadangnya. "Kau tidak mau pulang?" Yuri diam saja. Roshan menghalangi jalannya. Pemuda dengan kardigan hitam panjang serta kaos putihnya itu juga nampak dalam kondisi yang sama dengan Yuri. Rambut berantakan serta tatapan mata yang belum sepenuhnya ingin terbuka. Tak terasa semilir angin pagi kan segera menyambut keduanya yang tanpa kata sedang berjalan beriringan menyusuri jalanan di sekitar rumah mereka. Ditemani pemandangan sungai dan jembatan lalu satu hingga dua kendaraan terdengar sedang melaju pelan.
Terjebak dalam kesunyian rupanya tak terlalu buruk bagi keduanya. Hari itu,terlewati lagi meskipun berat. Satu sama lain dengan sengaja merahasiakannya agar tak ada lagi batasan. Yuri menghentikkan sejenak langkah kakinya. Roshan yang berada di depan menyadarinya lalu berbalik.
Awan jingga sudah terlihat dari ufuk timur walaupun masih samar. Hembusan angin berubah jadi lebih hangat dari sebelumnya. Namun mengapa hatinya masih terasa membeku di tempat yang sudah tiada? Yuri mengingat setiap menit hingga detik ketika ia memulai satu kesalahan besarnya. Ia bahkan telah melakukan banyak kesalahan lain dan bukan hanya pada ayahnya. Ia telah melakukan banyak kesalahan pada banyak orang yang ia temui dalam hidupnya.
"Yuri," panggil Roshan dengan lembut. Hati gadis itu terasa teriris hingga ia mampu meringis hingga merintih kesakitan disana. Suara yang asing namun membuat tubuhnya tak berdaya. Yuri tak mengerti. Mengapa menatap wajah Roshan membuatnya menangis? Kesalahan apa yang pernah ia buat padanya? Padahal mereka hanya berjumpa beberapa kali namun rasanya sudah beberapa tahun terlewati hingga Roshan menghampirinya lalu memegang kedua pundaknya.
"Ayo kita pulang," ajaknya. Mengapa tangisnya semakin pecah. Wajahnya sudah basah oleh air mata. Roshan tak nampak tenang seperti biasanya. Ada apa dengan tatapan sendu yang terlihat seperti anak anjing itu? "Kau boleh pulang dulu ke rumahku jika kau mau," lanjutnya lagi.
Kedua lututnya lemas hingga ia terjatuh. "Seharusnya aku tak pernah merasa bersalah," gumamnya pelan.
Roshan menarik tangannya. Ia mendekap erat gadis itu ke dalam pelukannya. Hingga kepala mungil itu menempel pada dadanya yang bidang. Ia bisa merasakan detak jantung serta mendengar helaan napas dari pemuda yang mendekapnya itu.
"Kau tidak sepenuhnya bersalah. Aku tahu kau melakukannya karena suatu alasan. Jangan pernah menyalahkan dirimu lagi. Dia pantas mendapatkan itu," jawabnya. Alih-alih tenang,Yuri malah mencerna keras kalimat terakhir dari Roshan.
"Bagaimana bisa kau-"
Pemuda itu mendekapnya lebih erat seakan Yuri adalah barang yang mudah pecah. Walaupun kenyataannya Yuri serapuh itu.
"Aku hanya menebaknya. Aku tidak tahu apa masalahmu hanya saja aku yakin bahwa kau tidak bersalah atas semua ini,"
-Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Forsythia
RandomWARNING : 18+, Rape, Violence, Thriller *Jika merasa tak nyaman,langsung skip "Ibuku adalah bunga. Namun jika aku mati nanti,aku tidak akan bisa sepertinya." Roshan mengatakan hal itu empat tahun yang lalu. Aku tiba tiba kembali ke masa lalu seniork...