1. Pagi yang Disuguhi Ekspektasi

809 33 10
                                    

Selamat membaca

•••

Menu sarapan yang terlihat enak di hadapan, tidak membuat laki-laki itu mengalihkan perhatian dari buku di tangan kirinya. Tangan kanannya menyuapkan sarapan, tetapi mata dan pikiran tetap terfokus pada rumus.

Sedang mengunyah makanan, laki-laki itu tiba-tiba bangkit, menyimpan bukunya sembarang dan langsung berjalan cepat ke arah wastafel. Makanan dalam mulut dimuntahkan begitu saja.

"Ah, sialan bawang putihnya kemakan," gumamnya menyiram makanan dalam wastafel. Ia berkumur-kumur beberapa kali hingga dirasa bau bawang putih itu hilang.

"Kenapa, Le?" tanya sang ibu kala putra bungsunya kembali duduk.

Kale bergidik, membayangkan bawang yang termakannya. "Bawangnya kemakan," jawab laki-laki itu, mengundang tawa dari Karel, kakaknya.

"Makanya, kalau makan, ya, fokus aja makan. Jangan matanya sibuk ke buku," ejek Karel. "Lagian, lo kenapa, deh, belajar mulu? Udahan, kek. Kan, dari kemarin udah. Nanti lagi," lanjutnya santai.

Kale hanya menatap sang kakak kesal. "Gimana gue ajalah," jawabnya.

"Dasarnya lo emang gak tau gue bakalan digimanain kalau nilainya kecil," lanjut Kale dalam hati, tentunya.

Menyuapkan sesendok nasi, Kale menggelengkan kepala pelan, agak terkekeh ketika pikirannya muncul. Ingin berontak pun rasanya ia tidak berani. Tidak siap dengan apa yang akan menjadi balasan. Setidaknya, untuk saat ini, ia hanya akan mengikuti ke mana arus akan membawanya pergi.

"Ulangan, Le?" tanya sang ayah.

Mendapat pertanyaan itu, Kale hanya mengangguk sambil memisahkan bawang dari tumis kangkung di piringnya---enggan kembali memakan bawang, yang baginya rasanya sangat aneh. 

Sadar akan apa yang telah dilakukan, Kale seketika diam. Merutuki diri sendiri karena ceroboh mengakui hal ini. Sudah terlanjur, Kale menghela napas, bersiap untuk ekspektasi yang menerpa sebentar lagi.

"Nilainya harus gede, lho. Masa, dari kemarin belajar nilainya kecil?"

"Nah, kan," batin Kale.

Ucapan sang ibu barusan menjadi pendamping sarapan kali ini. Si bungsu hanya mengangguk membalasnya.

Sambil kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, Kale menjawab, "Tapi, liat nanti aja, deh, Bu." Seolah memberi aba-aba agar sang ibu tidak perlu berharap tinggi.

"Anterin gue ke sekolah, Bang. Semalem udah bikin kesepakatan," lanjut Kale. Hanya anggukan kakaknya yang menjadi respons.

Karel yang sudah selesai menyantap sarapan, menarik tisu untuk mengelap bibirnya yang terasa berminyak. "Ulangan apa, sih, Le?" tanyanya.

Menunjukkan buku di sampingnya, Kale menjawab, "Em-te-ka. Apa lagi mapel yang selalu jelek nilainya buat gue."

Mendengar jawaban sang adik, Karel tertawa. "Gak heran, sih, lo bilang, 'gimana nanti'," canda laki-laki empat tahun di atas Kale. "Eh, tapi IPA juga lo selalu kecil nilainya."

Kesal, Kale berdecak sembari menatap sang kakak di sampingnya. Lalu, menendang pelan kaki Karel. "Gak usah nendang, anjir!"

Kedua orang tuanya refleks berseru, "Karel!" ketika umpatan keluar dari mulut putra sulungnya. Menyadari jika ada Ayah dan Ibu, Karel mengaduh. Sial, ia lupa tadi.

Melihat sang kakak yang mendapat seruan dari kedua orang tuanya, Kale mendorong kursi ke belakang, kemudian bangkit menuju wastafel---setelah merapikan bekas makannya---sambil terkekeh, merasa menang.

"Rasain," bisik Kale.

Enggan mendapat petuah di pagi yang cerah, Karel bangkit mengikuti sang adik ke wastafel. Tanpa perdebatan, keduanya mencuci tangan dengan damai. Namun, bukan kakak namanya jika tidak menjahili adiknya.

Melihat Kale berbalik, lalu menggelengkan kepala untuk menyingkirkan rambut yang menghalangi, Karel menyipratkan air sambil berjalan cepat---menghindari pembalasan adik kecilnya.

"ABANG!" seru Kale, mulai kesal dengan sifat jahil laki-laki empat tahun di atasnya itu.

Berhasil membuat Kale kesal di pagi hari, Karel tertawa. Di sela-sela tawa, ia berucap, "Cepetan, mau dianter gak?" sembari berjalan mengambil kunci motor.

Bukan menuju rak sepatu, Kale malah mengejar sang kakak untuk balas dendam. Ketika merasa dapat menyentuh, Kale menepuk keras bahu Karel yang dibalas ringisan.

"Kale, sakit, anjir," umpatnya, mengusap-usap bahu yang terasa ngilu. Tenaganya tidak main-main.

Kale menyesali permintaan semalamnya agar diantar oleh Karel. Huh, jika tahu akan menyebalkan seperti ini, lebih baik Kale berangkat sekolah sendiri. Ya, kesepakatan semalam cukup aneh; Kale diantar Karel setiap ia ingin, dan Kale yang tidak boleh kesal padanya di hari tersebut. Bisa saja Kale membatalkan kesepakatan semalam, tetapi laki-laki itu terlalu malas mengendarai motornya.

Jika kalian membayangkan hubungan kakak-adik yang damai, tentram, dan menenangkan, jangan pernah membayangkan itu terjadi di antara Karel-Kale. Rasanya, mustahil. Setiap hari, pasti ada saja perdebatannya.

•••

"Lo jailin gue mulu, sih," gerutu Kale ketika mendapati gerbang sekolahnya sudah ditutup. Dengan hati yang dongkol, Kale berjalan menuju kumpulan siswa lain yang sama-sama terlambat.

Bukannya marah, Karel malah terkekeh mendengar gerutuan itu. "Jangan kesel kalau gue jailin lo mulu, Dek. Karena itu cara gue buat hibur lo," batinnya berucap.

"Oi, Le!" seru seseorang yang sedang duduk di teras pintu utama---berteduh dari sinar matahari pagi yang terasa menusuk kulit---menunggu bagiannya didata untuk disetorkan pada kesiswaan.

Mendengar itu, si pemilik nama menoleh, lalu berjalan mendekati perempuan dengan rambut hitam dikepang itu. Mendudukkan diri di sampingnya, Kale menghela napas. Pagi yang menyebalkan.

"Tumben telat, Len?" tanya Kale pada Alena, perempuan itu.

"Kesiangan gue. Abis mandi malah goleran, jadi ketiduran," jawab Alena, "lo juga napa telat?"

"Bales dendam dulu ke si Karel," jawab Kale ketus.

Tanpa diduga, Alena malah tertawa mendengar alasan tak masuk akal temannya itu. Kale menoleh, menatap heran pada Alena. Di mana letak lucunya sampai tertawa? Pikir Kale.

"Lah, ketawa?"

"Kalian lucu. Kakaknya hobi jailin adeknya. Adeknya gampang kesel," jawab Alena setelah menghentikan tawa. "Tapi, kakak lo ganteng, Le," lanjutnya, mendapat cibiran sebagai balasan.

•••
TBC

new story in new year!

gimana setelah baca chapter 1?

24.1.23

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang