Part 2

7.4K 154 6
                                    

Aku pun kembali memakai baju dan kami pindah ke jok depan. Kami berangkat menuju ke tempat Bang Rizal. Camcorder miliknya diletakkan di dashboard.

Bang Rizal diam saja, fokus menyetir dan memperhatikan jalan. Aku jadi canggung. Apakah sebaiknya aku mulai pembicaraan atau tetap diam saja?

"Bang, ini sebenernya survey apa ya?" tanyaku terdengar polos.

"Nanti aja kita bahas di tempat Abang," katanya. Aku baru sadar kalau dia sudah ganti panggilan dari aku-kamu menjadi abang-adek.

Total 3 juta sudah di depan mata. Tolol sekali, kenapa aku tidak sekalian minta 2 juta saja sih agar totalnya 3,5 juta?

Tapi dipikir-pikir benar juga langkahku. Kalau aku meminta 2 juta langsung, siapa tahu dia meminta lebih jauh atau aneh-aneh? Yang jelas ini lebih baik. Kalau ada apa-apa, aku bisa berhenti lanjut, hanya memikirkan kekurangan sisanya.

Kami pun sampai di sebuah hotel budget yang berada di dekat kompleks kampus-kampus universitas lain. Bang Rizal menutup layar camcorder dan kami keluar mobil. Setelah masuk dan menaiki lift, kami berhenti di lantai 5 dan masuk ke kamar 502.

"Lu bukan asli sini, Bang?" tanyaku setelah kulihat banyak koper dan barang-barang lain di kamar itu.

"Biasa, lagi dinas," jawabnya sambil bercanda.

"Abang mandi dulu ya, habis itu nanti Adek mandi juga," katanya. Dia melepas topi dan kemejanya, lalu masuk ke kamar mandi.

Kulihat ponselku, ada satu chat masuk dari Rizki, temanku yang biasa kumintai nebeng.

"Kamu dimana?" pesannya.

"U duluan aja, gw ada urusan," balasku.

"Oke," balasnya.

Tas ranselku kuletakkan di kursi. Sekarang jam setengah lima sore. Aku mondar-mandir tak bisa tenang. Sekilas ada penyesalan kenapa aku mengiyakan tawaran Bang Rizal, tapi kemudian tergantikan dengan ancaman debt collector tadi.

Entah berapa lama aku kepikiran, tiba-tiba Bang Rizal keluar dari kamar mandi dengan tubuh nyaris telanjang dan hampir kering, sambil membawa pakaiannya tadi. Tubuhnya kekar atletis dengan banyak urat, seperti katanya tadi. Baru kusadari kulitnya sawo matang dengan rambut buzzcut hampir gundul. Tato tribal menghiasi dada hingga lengan kirinya.

"Adek jangan lupa pup juga ya, bersihinnya sampe bener-bener bersih," kata Bang Rizal. "Handuknya yang masih digulung."

Aku pun masuk ke kamar mandi. Aku diam di depan wastafel lama sambil memandangi diriku sendiri.

Aku pun melepas pakaian dan mulai mandi. Aku deg-degan tak karuan. Aku spontan bergidik ngeri ketika teringat tatapan Bang Rizal tadi. Kalau bukan karena pinjol keparat itu, tidak akan pernah sudi aku membiarkan tubuhku dijamah sesama lelaki seperti tadi. Tidak akan pernah mau aku mengiyakan segala tawarannya tentang survey apalah itu. Sekilas aku merasa rendah diri, hanya karena uang aku rela menjual diri seperti ini.

Cukup lama aku menghabiskan waktu di bawah guyuran shower air hangat. Setelah itu aku buang air besar dan membersihkan pantatku sebersih mungkin. Sebenarnya aku berencana untuk stop sampai kulum kontol, tapi aku tetap saja melakukannya apa yang dikatakan Bang Rizal.

Aku pun keluar kamar mandi dengan pakaian lengkap seperti saat masuk. Bang Rizal juga berpakaian lengkap, bahkan dengan kemeja dan topinya. Selain camcorder di tangannya, ada camcorder lain yang terpasang di atas tripod di dekat dinding mengarah ke ranjang.

"Sudah bersih mandinya, Dek?" tanyanya.

Aku mengangguk. Aku agak terganggu dengan dua camcorder itu.

"Bang, sebentar," kataku sambil menutup kamera camcorder yang dia pegang. "Kalo nggak pake rekam-rekam gimana? Aku takut nanti kalo-"

Akibat Pinjaman OnlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang