I: Hari Pertama, Tahun Pertama

24 3 2
                                    

Windy menenteng tas Kanken berwarna hitam warisan abangnya. Ia keluar dari sedan Volvo yang dibeli ayahnya baru sebulan silam. Setelah bertahun-tahun bersekelah negeri dengan rayon 1km dari rumahnya, ayahnya bersikeras menyekolahkan putri satu-satunya, anak kedua, sekaligus gadis bungsunya itu di sekolah swasta. 

"Kata Om Dilan, SMA Cermin Bangsa itu SMA top di Jabodetabek!" ujar Ayahnya seru menjelang kelulusan SMP Windy. "Papa daftarin ya, Nak. Papa urusin semuanya, kalau perlu bimbel ekstra, bilang! Kamu belajar yang giat biar bisa dapat masa depan yang lebih cerah dengan lebih cepat daripada Papa!" cerocosnya. 

Memang, sejak TK hingga SMP, Windy memang lumayan terbuka menceritakan betapa guru-gurunya di sekolah dekat rumah itu gabut. Waktu SMP bullyingnya juga parah. Seringnya guru-guru pura-pura nggak lihat atau malah ikut-ikutan ngecengin. Tapi satu sisi sekolahnya seru, anak-anaknya beraneka ragam, rupa, dan latar belakang. Belum lokasinya lima menit dari rumah, bisa jalan kaki pula. Kalau sore-sore atau akhir pekan Windy dan abangnya bersepeda dan beristirahat di warkop atau barang sekadar jajan di warung dekat rumah, pasti ada saja muka yang ia kenali alias lu lagi lu lagi. Benar-benar definisi neighbourhood school yang sesungguhnya. 

Karena itu, semenjak dua tahun ini orangtua Windy lumayan sukses merintis bisnis perhiasaan di luar pekerjaan utama sebagai budak negara alias ASN, Ayah Windy langsung aktif mengupgrade taraf hidup. Mereka merenovasi rumah, membeli mobil Eropa (yang setelah diskusi akhirnya diputuskan membeli seken), menambah unit TV - yeay tidak ada rebutan remote TV lagi! -, mendukung Aga, abang Windy, untuk mengambil sertifikasi keahlian musik gitar setelah bertahun-tahun tidak ikut les dan ujian secara resmi, dan yang terakhir adalah memasukkan Windy ke sekolah swasta yang dinilai Ayahnya lebih disiplin dan kompetitif. 

"Nisa pamit ya, Pa, Ma, Mas!" ia salim satu persatu. Ia mempersiapkan barang-barangnya sebelum mobil itu tepat berhenti di titik antar jemput. Di hari pertama tahun ajaran baru, antrean mobil di sekeliling sekolah padat merayap seperti barisan semut di tumpahan madu. 

"Iya, Nisa. Hati-hati! Semangat belajarnya, senyum dikit ih, nanti orang-orang pada takut sama kamu." wanti ibunya sambil menyingkirkan anak-anak rambut poni Windy yang membandel.  

"Iya, iya, Ma. Udah ma, ampun!"

"Hati-hati, kalo ada senior genit tendang aja!" tukas Aga sembari melayangkan tinju di udara. 

"Hei, hei itu Nak tangan jangan lepas dari kemudi! Jangan coba-coba, kamu kan lagi belajar!" Ayahnya memperingati. "Semangat ya, Nak. Telpon kami kalau ada apa-apa. Ada yang ketinggalan? Apa kami turun juga? Ini kan hari pertama orientasi. Kalau kamu kenapa-napa gimana?" Tiba-tiba Ayahnya berubah menjadi khawatir ekstrim.

"Ih, udah Pa udah. Nanti Mama telat tuh ke tempat kursusnya. Kan hari ini jadwal ngajar pagi. Nisa udah gede, nanti kalau kenapa-napa Nisa telpon!" Ujar Windy mengakhiri. Mereka pun pamit dan melangkah masuk ke gedung sekolah yang bisa dibilang megah itu. Berbeda dengan saat ujian penerimaan dimana sekolah Cermin Bangsa terasa hening dan serius. Soal-soalnya sulit, dan semua yang ikut ujian kelewat tegang dan suram untuk sekadar berkenalan atau mengobrol ringan. 

Kini suasana sekolah itu riuh, ketara dengan anak-anak baru yang masih culun seperti dirinya. Yang laki-laki rambutnya dicukur. Perempuan yang rambutnya lebih panjang dari sedagu semuanya dikucir kuda. Semua itu tertera di dress code di dalam buku panduan pra-orientasi yang diterimanya saat menebus buku-buku mata pelajaran dan seragam. 

Berbeda dengan sekolah-sekolahnya dulu yang mungkin ada tiap satu atau dua tahun sekolahnya merombak cat tembok, SMA Cermin Bangsa terlihat steril dan dingin dengan cat temboknya yang dua warna, putih dan abu-abu seperti seragam SMA itu sendiri. Beda dengan sekolah negeri yang mencoba ceria dengan warnanya yang selalu full block. Ada kalanya merah jambu, biru muda, hijau, atau kuning. Pokoknya kayak kue lapis! Mau tidak mau, Windy merasa terintimidasi karenanya. Orang-orang di sekitarnya berjalan cepat, kelihatan lebih nggak ambil pusing dan lebih individualis. Tetapi satu sisi kelihatan lebih ambisius dan juga enggan menolong orang yang tertinggal. Tertinggal apa... Windy juga tidak terlalu yakin. Windy perlu menjalani hari dulu untuk tahu, medan perang kali ini seperti apa. 

 ☕

Catatan Penulis: Hi, hi! Aktif di Wattpad lagi malah bikin cerita baru ya bund lols. Iya nih scatter brained bgt diriku :( tapi cerita ini kebawa mimpi berkali-kali sampai akhirnya.. yoweis lah, tulis aja dulu. Kali tamat hehe. Terima kasih bagi yang mampir. Ohiya ini pengenalan nama karakter abang adek dan kenapa mungkin namanya beda antara narator dan dengan keluarga.

Windy Hujannisa: Panggilan Windy di sekolah, Nisa di rumah

Wana Taiga: Panggilan Wana di sekolah, Aga di rumah

xoxo







Wisnu, Windy, dan Dua Cangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang