“Ugh…”
Gadis itu perlahan membuka matanya, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk melalui jendela besar di ruangan itu. Mata birunya menyapu setiap sudut kamar yang asing baginya.
Netra itu membulat kagum. Pemandangan di depannya seperti diambil langsung dari dongeng—ruangan luas dengan dominasi warna putih dan biru pastel, dihiasi ornamen-ornamen bergaya Eropa klasik. Di salah satu sudut, terdapat kasur besar dengan kanopi menjuntai, dilengkapi bantal-bantal empuk yang terlihat begitu nyaman. Beberapa barang di sekitar ruangan, mulai dari bingkai cermin hingga gagang pintu, tampak berkilauan seperti terbuat dari emas murni.
“Jika semua ini dijual, mungkin aku bisa hidup mewah sampai tua,” pikir Nara, mulutnya berdecak tanpa sadar.
Masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang dilihatnya, ia menampar kedua pipinya pelan. “Aduh!” Seruan kecil itu terlepas dari bibirnya, diiringi rasa perih di pipinya. Tidak, ini bukan mimpi.
Rasa perih di kulitnya membuat ia tersadar sepenuhnya. Namun, bukannya merasa tenang, ingatan tentang kejadian terakhir yang ia alami justru berputar seperti film lama di dalam benaknya.
Flashback
Di sebuah taman luas yang dikelilingi pepohonan rimbun, seorang gadis tampak gelisah. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang berkelok, matanya sibuk memindai setiap sudut, berharap menemukan sesuatu yang familier.
Raut wajah gadis itu, Nara, penuh dengan kecemasan. Ia menggigit bibirnya, lalu mengacak rambutnya dengan gerakan frustrasi.
Pemandangan di sekitarnya memang indah—bunga-bunga bermekaran, air mancur berkilauan diterpa sinar matahari, dan bangku taman yang tertata rapi di bawah naungan pohon rindang. Namun, keindahan itu terasa kosong karena satu hal: ia sendirian.
Ya, sendirian! Dan siapa yang tidak akan panik jika tiba-tiba terbangun di tempat asing tanpa penjelasan apa pun?
“Sebenarnya... aku ada di mana sih?!” pikirnya, menggigit kukunya yang gemetar.
Langkahnya terhenti ketika sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Nara tersentak, berbalik dengan cepat, dan mendapati dua sosok berdiri di belakangnya.
Seorang gadis remaja cantik dengan senyum ramah berdiri di sisi seorang wanita dewasa yang tak kalah memikat. Keduanya menatap Nara dengan sorot mata lembut, seolah sudah mengenalnya sejak lama.
“Kalian siapa?” tanyanya, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit bergetar.
“Ayo duduk dulu,” kata wanita dewasa itu, suaranya tenang dan menenangkan. “Kami akan menjelaskan semuanya.”
Nara masih merasa ragu, namun akhirnya mengikuti mereka menuju salah satu bangku taman. Jantungnya berdebar-debar, pikirannya penuh dengan pertanyaan.
Setelah mereka duduk, wanita itu mulai berbicara. “Sebelum kita mulai, namamu Kinara, benar?”
Nara mengangguk pelan, matanya mengamati wanita itu dengan penuh kewaspadaan.
“Baiklah,” ujar wanita itu sambil tersenyum tipis. “Dengarkan baik-baik. Apa yang akan kami ceritakan mungkin sulit dipercaya, tapi ini adalah takdirmu.”
“Sebelum itu, perkenalkan, namaku Amber. Sedangkan gadis remaja di sampingku ini adalah Livyana. Apa kau pernah mendengar tentang Ramalan Seribu Bulan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
An Unchangeable Destiny.
خيال (فانتازيا)Kinara Maahika, seorang gadis berusia 20 tahun, harus menerima kenyataan pahit dalam hidupnya demi menjalani sebuah takdir yang menurutnya benar-benar konyol. Semua bermula dari sebuah buku tua yang ditinggalkan oleh mendiang neneknya. Dalam buku it...