Retak Parah

259 28 0
                                    

Tiap kali aku berhasil mengabaikan perasaanku, namun tiap kali seolah harapan itu datang. Tiap kali hampir berhasil mengenyahkan bayangan mas Pijar, namun tiba-tiba sosoknya muncul, dan perasaan yang sudah kukubur itu kembali bertebaran kembali ke atas permukaan kesadaranku.

Kenyataan Alifa bukan anaknya mas Pijar kembali membuatku tercenung. Lalu kenapa mas Pijar mengatakan hal itu padaku? Dia bisa saja menyimpannya sendiri rahasia itu, lalu suatu saat bisa mengambil Alifa dan merawatnya bersama istrinya.

Kecuali dia ingin menikah denganku dan kelak ingin membesarkan Alifa bersamaku. Ahh, gila. Aku secepatnya membuang pikiran itu dari otakku. Kenapa aku harus terjebak dengan khayalan ngawur ini? Toh akhirnya aku akan kembali tersuruk dalam kecewa. Mana mungkin? Mana mungkin? Jerit hatiku seraya kuyakinkan diriku bahwa mas Pijar nggak tertarik dengan cewek sepertiku. Lagian apa kata ayah dan ibu nanti?

Meski secara hukum aku sudah diakui sebagai anak ayah dan ibu, tapi tidak semua orang bisa menerima kehadiranku di dalam keluarga besar ibu. Eyang putri dan eyang kakung contohnya. Dari cerita ibu, dulu Eyang kedua-duanya nggak setuju ibu menikah dengan ayah. Karena alasan ayah berasal dari keluarga yang amat sederhana. Dan begitu mereka akhirnya nggak pernah bisa punya anak, kedua eyangpun menyalahkan ayah sebagai biang ketidakhadiran anak di antara mereka. Dan ketika keputusan mengambil anak angkatpun, masih tetap disalahkan. Dan aku sebagai cucu yang tidak punya aliran darah seperti mereka hanya bisa menerima perlakuan mereka yang kadang kurasakan diskriminatif dibanding terhadap cucu-cucu yang lain.

Papa dan juga saudara tiri mas Pijar, si Ayu, sikapnya biasa-biasa saja terhadapku. Tapi ibu tirinya yang cantik dan anggun itu? Saat menatapku seringkali tajam menghujam, di balik senyum manis yang dipaksa ditebarkan. Meski tidak ada tindakan atau ucapan yang menyinggung perasaanku, tapi dari sorot matanya seolah dia ingin mengatakan kalau aku tidak masuk hitungan jika berada di dalam keluarga besar ibuku. Dia memandang sebelah mata padaku entah kenapa. Mungkin karena aku anak angkat? Anak pungut? Yang tak jelas asal usulnya? Entahlah.

Beruntung ibu cukup punya pengaruh di keluarga besarnya. Di samping sifat keras dan tegas yang dimiliki ibu, ibu juga punya sikap tulus dan penuh wibawa, hingga tidak semua orang berani begitu saja meremehkan maupun menjatuhkannya. Saat pakde Pandu, papanya mas Pijar kehilangan istrinya sehabis melahirkan mas Pijar, ibulah yang dengan penuh ikhlas merawat bayi mas Pijar dengan sepenuh hati. Dan dari jasa ibu yang tak ternilai itu tumbuhlah sang cucu dengan sehat, pintar dan tampan rupawan, yang kemudian menjadi cucu kebanggaan di keluarga itu. Dan mas Pijar tidak saja menjadi cucu kebanggaan. Meski secara tidak langsung, ia adalah pengendali bagi keluarga besar itu.

*

Aku berbaring di sebelah Alifa, berusaha tertidur sejenak. Namun baru terlena beberapa saat, Alifa terbangun. Mata besarnya terbuka dan berbinar begitu menemukanku.

"Mamaaa ..." ia merengek manja ketika serangkaian kejadian pagi tadi melintas dalam ingatannya.

"Sayang," aku tersenyum lalu memberikan pelukan. Kurasakan Alifa membalas pelukanku dengan erat. "Mau pipis, nggak?" tanyaku sambil kuraba pantatnya yang kering, nggak ada bekas ompol.

Terasa gelengannya di pundakku.

"Tadi nangis, ya?" tanyaku mengusiknya.

"Hhmm."

"Kenceng nangisnya?"

"Hhmm."

"Lama?"

"Hhmm."

"Kenapa emang nangis?"

"Mau ikut mama."

"Kan, mama sekolah? Mosok Alifa mau ikut? Alifa kan masih kecil? Anak kecil mana boleh ikut sekolah?"

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang