52. Pagi bersama Umi

10 1 0
                                    

"Cucu Umi, hari ini mau apa?"

"Tidak ingin apa-apa Jidah," jawab Atika dengan suara yang dibuat seperti anak kecil. Hingga mampu membuat kedua wanita itu tertawa.

Umi dan Atika kini sedang berada ditaman rumah Atika. Umi yang sedang membelai lembut khimar menantunya sedangkan Atika yang duduk pada anak tangga lebih rendah dari Umi hanya menikmati sentuhan mertuanya tanpa melakukan kegiatan apapun. Inilah saat-saat keduanya saling memanjakan. Hal yang mampu membuat Atika lupa dengan kegiatan melamun yang sudah menjadi hobinya.

"Atika?"

"Iya Umi?"

"Keluarga kamu, apakah sudah tau kalau kamu sedang mengandung?" Atika menoleh kepada Umi namun sedetik kemudian menggeleng.

Umi tersenyum dan melanjutkan usapan lembut pada kepala Atika, "mereka berhak tau, Atika."

"Kalaupun kamu ingin menceritakan keadaan kamu saat ini pada keluarga kamu, itu hak kamu Atika. Jangan tahan sesuatu yang membuat kamu sesak, jika memang bisa dikeluarkan maka keluarkan...." Umi menghela nafas.

"Jangan takut pada Umi ataupun Bapak, karena kami sendiri sudah siap untuk bertanggung jawab atas kamu."

Atika naik pada anak tangga yang sejajar dengan Umi, ia memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. "Iya Umi, nanti Atika telpon Abi tentang kehamilan Atika."

"Sip kalau begitu," Umi ikut memeluk Atika pada bahu dan tangan kanannya digunakan untuk mengusap lembut penggung Atika.

"Atika," keduanya melerai pelukan dengan tatapan teduh Umi menghunus tepat pada mata Atika.

"Apa Atika marah dengan Bapak?" Atika dengan cepat menggeleng.

"Tidak Umi, Atika tau jika Bapak hanya meluruskan saja. Sesuatu yang pahit tidak selamanya buruk, seperti obat misalnya. Atika tau kalau Atika dan mas Abdullah memang bersalah," Atika mengangguk.

"Umi suka dengan Atika yang sudah ikhlas seperti ini..." Umi tersenyum dibalas senyum pula oleh Atika, "tapi bukan berarti kemarin-kemarin Umi tidak suka loh ya."

Umi kembali merangkul Atika dan meletakkan kepala Atika pada bahu miliknya, "Umi suka banget malah, Umi punya putri yang bisa manja dan lengket banget sama Umi," Atika tertawa.

"Iya, selama ini putri Umi Cuma Fatimah dan di aitu mandiri banget, semandiri itu sampai jarang pulang ke rumah," Atika lagi-lagi tertawa.

"Atika," nada Umi kembali serius.

"Jangan marah dengan Bapak ya, Bapak hanya berusaha menjadi yang terbaik..." Umi menatap lurus pada Atika "Bapak sudah mencari Abdullah, namun masih belum dapat."

Terlihat jelas keterkejutan pada ekspresi Atika, selama ini Bapak terlihat begitu tenang dan tidak tersentuh. Wajar jika Atika terkejut, namun ia sedikit lega karena Bapak sudah mau memaafkan kesalahan keduanya.

"Umi sedikit banyaknya tau dengan sifat Abdullah, walaupun seburuk apapun masa lalunya dan sejauh apapun dia pergi, ia tidak akan benar-benar melupakan ajaran yang sudah ia dapatkan. Umi yakin kalau saat ini, dimanapun Abdullah berada pasti sedang meratapi kesalahannya dan berusaha memperbaiki diri. Tapi, satu yang Umi khawatirkan," Atika menelan ludah secara tidak sadar dengan menunggu kalimat Umi berikutnya.

"Abdullah tidak akan benar-benar kembali jika menurut dia, dia belum pantas untuk kembali," Umi menjeda sejenak ucapannya, "semoga ia tau kabar kehamilan kamu, sehingga saat persalinan kamu nanti sudah ada adzan yang ia senandungkan ditelinga cucu Umi," Umi menyentuh perut Atika.

"Jangan takut," kata Umi yang melihat wajah Atika yang mulai khawatir.

"Kita pasrahkan kepada Allah saja."

"Umi yang akan menjaga kamu, kamu tidak sendiri Atika," Umi tersenyum menenangkan, dan senyuman itu menular pada Atika.

"Terima kasih Umi."

"Terima kasih sudah mengisi sosok Ibu dihidup Atika, bahkan Umi menganggap Atika sebagai anak Umi sendiri tanpa membeda-bedakan dengan Fatimah. Umi juga selalu ada disisi Atika..." Atika mulai menangis, "sabar dengan Atika, manjakan Atika juga, sayang sama Atika."

Umi mulai memeluk Atika dengan erat saat melihat Atika yang mulai menangis sesenggukan dengan menyalurkan kehangatan dengan belaian lembut pada punggung Atika.

"Jangan nangis, nanti cucu Umi marah sama Jidahnya karena udah buat kamu nangis," Umi menghapus air mata Atika pada pipi.

"Ayo sekarang telpon Abi kamu, kasih tau kalau putri kecilnya sudah akan punya anak kecil."

"Umiiii," rengek Atika namun tetap menuruti permintaan Umi.

Telepon tersambung.

"Assalamu'alaikum Abi."

"Wa'alaikumsalam anak Abi," Atika meringis malu pada Umi yang sudah tersenyum.

"Ada apa telpon Abi?"

"Abiii, emang aku gaboleh telpon Abi?"

"Lah sudah lama juga kamu gak telpon tuh."

"Hihi iya, maaf Abi."

"Baru sekarang nih kangennya?"

"Bukan begitu Abiiiii" Atika merengek.

"Iya-iya, gimana kabar anak Abi?"

"Baiikkkk banget, Abi juga apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik."

"Abi," Atika melirik pada Umi, "Atika punya kabar istimewa."

"Wuah apa itu?" Umi terkikik dengan suara semangat yang dibuat-buat oleh besannya.

"Atika hamil."

Sedetik

2 detik

3 detik

10 detik

"Halo, Abi?"

"Be-beneran?"

"Iyaaaaa beneran."

"Alhamdulillah, ok, kalau begitu Abi akan ke-" Atika memotong ucapan Abinya.

"Abi gausah kesini ya," dengan nada lembut Atika berusaha meyakinkan, "kalau kesini sekarang Abi juga bakal nemuin Atika aja, besok aja kalau sudah lahir ya Bi. Nah nanti bisa deh gendong-gendong cucu Abi."

Terdengar helaan nafas pada seberang telepon membuat Atika dan Umi saling bersitatap khawatir.

"Yasudah kalau begitu, nanti kalau sudah lahir Abi harus banget kamu telpon. WAJIB."

"Siaaappp Abi."

"Yasudah, Atika matikan ya Abi?"

"Iya, kamu sehat-sehat disana."

"Abi juga ya," suara Atika parau.

"Jangan nangis, dibilang kangen gamau sekarang nangis."

"Ish Abi, Atika malu ini sama Umi."

"Ooo sama lagi Umi?"

"Iya"

"Yasudah Abi matikan aja deh, nunggu kamu nanti malah nangis duluan."

"Ish Abi"

"Hahaha assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Tanpa kata Umi mengangguk memberikan semangat kepada menantunya dengan dua jempol dan genggaman tangan yang diacungkan keatas.

Sedangkan dilain kota, Abi Atika mulai resah. Berita kehamilan Atika memang membawa bahagia, namun dengan keadaan yang berbeda membuat khawatir.

"Abdurrahman harus segera kembali."



Bersambung...


Abdurrahman X Atika Zaman NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang