Prolog

199 24 13
                                    

Purnama yang bersinar seakan menemani seorang wanita di dalam gelapnya hutan. Wanita itu terduduk lemas dengan air mata yang menetes. Sorot matanya jelas memperlihatkan kesedihan menatap semak belukar yang ada di hadapannya.

Seruan yang terus menggema di dalam hutan selalu mengingatkan sang wanita akan hal yang harus dia hadapi. Diusapnya pelan jejak air mata yang masih membasahi pipi. Wanita itu mendongak, menatap sejenak sang rembulan sebelum kembali bangkit dari posisinya.

Wanita itu berlari dengan menggenggam erat belati di tangannya. Dia menerjang gelapnya hutan dengan penuh keberanian. Matanya pun kian menajam, bagaikan Elang yang siap menerkam.

Sang wanita menghentikan langkahnya, menatap para prajurit yang memandang rendah dirinya. Tanpa ragu sang wanita berdiri tegap, meskipun ia tahu mungkin malam ini akan menjadi malam terakhir baginya. Namun, wanita itu yakin perjuangan ini tidak akan berhenti di sini. Ia yakin 'Dia' akan melanjutkan apa yang telah mereka lakukan.

“Dimana dia?” tanya seorang pria dengan tatapan angkuh dari atas kuda hitamnya.

“Langkahi dulu jasadku!” balasnya tajam.

Tanpa rasa takut, wanita itu melesat menyerang prajurit yang berdiri di dekatnya. Tangan cantiknya memutar indah belati sebelum menorehkan sayatan pada lengan pria kekar itu. Membuat sang pria menjatuhkan pedangnya. Raut wajah terkejut tidak dapat prajurit itu sembunyikan.

Kaki jenjang sang wanita juga tampak tak ingin kehilangan eksistensinya. Dengan sekali tendangan kaki itu berhasil membuat tubuh kekar prajurit tersungkur ke tanah. Senjata panjang itu kini beralih tangan. Dengan sekali ayunan sang wanita berhasil membuat pendang itu memakan tuannya sendiri.

Prajurit lain tidak tinggal diam. Mereka menyerang musuh tanpa peduli jika ia seorang wanita. Tanpa peduli bahwa ia masih menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Mereka hanya patuh dan tunduk pada perintah yang diterimanya, meskipun mereka tahu perintah itu begitu keji.

Namun, hal itu tidak membuat sang wanita ketakutan. Kobaran api seakan terlihat di bola matanya. Kekuatannya tidak berkurang meskipun goresan dan darah telah terlukis di sekujur tubuhnya. Sang wanita bagaikan singa yang dengan berani melawan sekumpulan hiena sendirian.

Decakkan kesal keluar dari bibir pria berkuda. Tatapan remehnya silih berganti dan menajam melihat bawahannya dilumpuhkan perlahan. Tanpa menoleh ia menjulurkan tangannya pada pria yang berdiri di samping kudanya.

Memahami perintah pimpinan, pria itu memberikan anak panah dan busur yang dibawanya. Sang pria berkuda kini bersiap dengan senjata yang baru diterimanya. Dengan tatapan tajam ia melesitkan anak panahnya hingga menancap pada pundak sang wanita. Membuat sang wanita melemah dan menjatuhkan senjatanya.

“Ahhh. . . Saya lelah bermain-main” ucapnya remeh.

Sang pemimpin kini turun dari kudanya. Ia berjalan angkuh dengan seringai di wajah. Dagunya dia naikkan, memperlihatkan betapa congkaknya ia. Perlahan pria itu menarik pedangnya dan tanpa ragu mengarahkan senjata tajam itu pada dagu sang wanita. Memaksa sang wanita untuk mendongakkan kepala.

“Dimana dia, Nona?” tanya pria dengan tatapan tajam.

“Kenapa aku harus memberi tahumu?” Rasa takut tak berkurang dari diri wanita cantik itu. Ia justru memperlihatkan seringainya, sengaja beradu keangkuhan dan kesombongan dengan sang pria.

“Hmmm . . . Sebetulnya saya hendak berbaik hati jika Nona memberitahu saya dimana dia berada.”

“Ck . . . Aku lebih baik mati daripada harus menerima kebaikan licikmu!”

Merasa geram sang pria lantas mengangkat tinggi pedangnya. Ia mengayunkan pedang itu, memberikan goresan besar pada tubuh wanita cantik itu.

Sang wanita kini terduduk dengan darah segar yang bercucuran dari mulut dan perutnya. Ia menopang tubuhnya dengan satu tangan agar tak jatuh tersungkur. Wanita itu meremas rerumputan yang dipegangnya sebelum perlahan mendongakkan kepala. Tatapan penuh dendam ia layangkan pada sesosok pria yang telah menebasnya.

“Kau uhuk . . . Akan mati mengenaskan! Uhuk  uhuk . . . Hingga semua orang . . . Enggan menatap jasadmu! Uhuk . . . Darahmu . . . Akan membentuk danau . . . Danau merah uhuk uhuk . . . Dengan purnama yang meneranginya. . . Aku mengutukmu, Suma! Aku meng—”

Pria itu menebas putus leher sang wanita, memutus ucapannya yang belum selesai. Pria itu membuat kepala sang wanita menggelinding begitu saja di tanah. Tak terlihat penyesalan pada wajah Suma. Ia justru memperlihatkan seringainya menatap tubuh tanpa kepala yang tersungkur di hadapannya.

“Temukan bayi itu!” perintah Suma.

Masih dengan seringai ia lantas membersihkan darah yang ada pada pedangnya. Suma juga menjilat cipratan darah yang mengenai wajahnya bagaikan sisa selai yang menempel. Ia kembali menyarungkan pedangnya sebelum pergi meninggalkan hutan.


***
-meong meongyie-

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang