Bandung

999 185 8
                                    

"Ini lo nggak mau lewat tol aja?" Tanya Seulgi ketika Irene masih tetap di jalur non-tol.

"Nggak," Jawab Irene dengan seringai jailnya, "Kan gue mau ketemu sama bos gue di kebon karet buat nyulik lo."

"Sialan, masih aja dibahas!" Protes Seulgi yang membuat Irene tertawa. "Serius, Rene, lo nggak punya saldo e-toll apa gimana? Gue ada nih."

Dia masih terkekeh geli, "Kenapa sih? Lo ada pantangan lewat jalur biasa yang bukan tol?"

"Bukan gitu... tujuan kita kan ke Bandung, kalo lewat tol lebih cepet aja nggak sih?"

"Iya, tapi gue pengen aja lewat Subang, Gi."

"Subang? Lewatin tanjakan Emen dong?!"

"Jangan bilang lo percaya mitos yang beredar?"

"Tapi itu bukan sekedar mitos, Rene. Udah banyak kecelakan yang terjadi di sana."

"Cipularang juga udah banyak makan korban, Gi. Asal kita hati-hati dan berdoa aja buat keselamatan diri, nggak usah punya pikiran buruk."

"Huff... iya deh." Gerutu Seulgi. "Tapi nanti mau mampir sebentar nggak di Subang?"

"Boleh, di mana?"

"Di mana aja, warung pinggir jalan juga boleh. Gue mau nanas."

"Oke, siap."

Mereka melanjutkan perjalanan sambil sesekali bersenandung mengikuti lagu yang diputar di radio mobilnya Irene. Dia memuji suara Seulgi yang merdu dan berpendapat Seulgi seharusnya menjadi penyanyi saja. Ide itu dipatahkan oleh Seulgi sendiri, dia mengaku tidak mempunyai mental yang dibutuhkan untuk menjadi idola.

Ketika Irene ikut bernyanyi bersamanya, Seulgi balik memujinya. Dia bilang, Irene seharusnya menjadi penyanyi juga, dan Irene melontarkan candaan bahwa mereka mungkin bisa menjadi grup duet saja.

Keduanya mampir membeli nanas seperti permintaan Seulgi sebelumnya, Irene memarkir mobilnya di pinggir jalan di depan warung tempat mereka berhenti. Tidak jauh dari sana, Irene melihat warung lain yang menjajakan durian.

"Eh, mau duren nggak?" Tanya Irene.

"Lo suka? Mau makan itu?" Tanya Seulgi yang dijawab anggukan oleh Irene. "Aduh, gue bawa masker nggak ya?" Gumamnya pelan.

"Lo nggak suka?"

"Kalo lo mau makan duren nggak apa-apa kok. Tapi jangan kesinggung ya kalo gue nutup idung gue sepanjang perjalanan."

Irene tertawa, "Ya udah nggak usah. Bau duren tuh nyengat banget dan tahan lama. Gue nggak mau lo jekpot di mobil gue." Ledeknya.

"Dih." Seulgi menyenggol bahu Irene pelan. "Kita ke mana deh tujuannya?"

"Masih nanya juga, ya ampun..." Irene menghela napas dan Seulgi hanya nyengir, "Ke Kawah Putih – Ciwidey, Gi."

"Emang masih buka?"

"Masih."

"Tapi bukannya banyak kabut ya?"

"Nggak apa-apa, malah nambah kesan misterius nggak sih? Lo harusnya lebih antusias kali, Gi. Bayangin lo bakal moto kawah pas sunset terus banyak kabut di sekitarnya. Gue yakin bakal jadi landscape yang cihuy deh..."

"Ini yang anak fotografi gue apa lo sih?"

"Gue suka difoto, suka ngambil foto juga kalo pemandangannya bagus. Nanti pokoknya lo harus fotoin gue banyak-banyak." Irene menjulurkan lidahnya.

Seugi tertawa, "Iya dah. Tapi bayar ya?"

"Gue tinggal lo berani masang tarif sama gue." Ujar Irene tegas. "Eh tapi ngomong-ngomong, gue udah booking kamar buat nanti malem. Satu kamar tapi double bed kok. Kalo lo mau misah, silakan pesen sendiri ya."

NebengersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang