III: Dia... Siapa?

20 2 0
                                    

Di hari terakhir orientasi, tepat setelah istirahat dan jeda beberapa jam sebelum pentas seni, tiba-tiba para kakak panitia memberi pengumuman.

"Hayo, hayo. Dari kemarin kami nggak nagih-nagih. Jangan lupa diisi buku angkatannya! Isi minimal sepuluh orang DI LUAR kelompok kalian dan juga lima belas orang kakak kelas, campur kelas XI dan XII! Ayo, ayo nanti masing-masing kakak pendamping akan ngecek buku kalian." seru kakak panitia melalui miknya. 

Windy terhenti mematung di tempatnya. Aduh, pikirnya. Paling males deh mesti kenalan.. gimana ya, ohiya numpang orang-orang ekstrover lainnya aja deh.. I'm not that awkward, I just need a boost. Ia berpikir dalam benaknya sendiri, sambil mengangguk kecil. Puas dengan rencananya. 

"Eh bareng yuk. Gue belum sempet kenalan sama siapa-siapa kecuali kalian hehe." Nadine menepuk bahunya. Yang disusul anggukan setuju teman-teman perempuan sekelompoknya di sekitar mereka. Windy mengangguk setuju, lega dengan ajakan Nadine. Semakin ramai mereka berkenalan dengan orang baru, apalagi kakak kelas, semakin tidak terintimidasi ia nantinya. 

Ketika sudah delapan berlalu untuk nama teman seangkatan, Windy yang hendak menoleh untuk berjalan lurus terbentur bahu seseorang di depannya. 

"Aduh!" Windy meraba hidungnya. Cewek di depannya bahkan tak sadar bahunya sudah ditabrak orang. Ternyata di depan mereka ada banyak orang yang mengerubuni seseorang. Ada tiga laki-laki, lumayan tinggi. setidaknya 178cm. Semuanya good looking, yang sekaligus menjelaskan kenapa mereka dikerumuni. 

Salah satu laki-laki disitu sempat membuat Windy menahan napas. Laki-laki itu amat menarik di matanya, membuat dua laki-laki dan banyak orang disekelilingnya seperti blur, meremang dan melebur dengan latar belakang begitu saja. Tentu saja, sama dengan yang lain cowok itu berambut cepak. Tetapi auranya, wajahnya, sorot matanya yang teduh dan hangat, serta kulitnya yang sedikit gelap itu mengingatkan windy dengan Beck Oliver, salah satu karakter Victorious, drama remaja yang waktu kecil suka ia tonton dengan abangnya. Pikiran Windy sudah berkelana, membayangkan sosok itu juga berambut gondrong, membuatnya merona sendiri seperti seorang fangirl. 

Namanya siapa, ya? Windy bertanya dalam benaknya tapi satu sisi ia juga tidak memerlukan jawaban. Lalu, seperti kejahilan semesta, detik itu juga mata mereka bertemu. Mata cowok itu cokelat terang dan menyorotinya hangat. Windy merasakan alisnya berkedut. Ia malu karena terpergok mengagumi sosok yang memang pantas aja dikerumuni cewek-cewek itu. Tanpa diduga cowok itu mengangguk ke arahnya dan tersenyum ramah, membuat Windy semakin bingung. Ia balas mengangguk canggung dan dengan luwes cowok itu sudah menanggapi orang-orang sekelilingnya lagi. Windy terpana dengan momen sejenak itu, sampai Nadine tahu-tahu sudah disisinya setelah susah payah membelah kerumunan. 

"FYI, mereka bukan senior loh! Mau ikutan antre kenalan?" Nadine menyikut rusuknya lembut. "Kalo nggak salah, yang pake kacamata namanya Adrian, yang senyumnya banyak lesung pipit itu Bagas, terus yang kulitnya paling gelap itu Wisnu." Mereka udah populer banget dari tempo hari baris-berbaris."

Windy suka kurang memperhatikan sekeliling jadi ya, dia sudah ketinggalan dengan sosok tiga orang yang sudah dijadikan bahan antrean. Ia mengangkat bahu, "Gila ah, masa' temen seangkatan aja antrenya mesti susah payah ." Di dalam benaknya, Windy sudah membuat garis. Anak-anak populer seperti itu bukan termasuk calon teman. Bukannya Windy membeda-bedakan atau pemilih dalam berteman. Windy hanya berpikir realistis untuk menjalin pertemanan dengan yang ada-ada saja, yang biasa-biasa saja, yang aman-aman saja. Ya dengan sosok yang familier seperti Nadine. 

"Cari yang lain aja, yuk." Windy mengajak. "Pusing banget, kenalan bentar abis itu juga paling udah. Entar abis itu bonus jadi korban stampede."

Nadine terkekeh. "Oke! Fresh juga lo. Putri, Dita, dkk udah pada antre." ia menunjuk dengan jempolnya ke sebelah kanan kerumunan yang lumayan histeris itu. "Mereka aja nggak mau ketinggalan kenalan sama pangeran angkatan kita haha."

Windy menggeleng kecil, baru tiga hari udah ada gelar pangeran-pangeran segala. Ada-ada saja. 

"Gimana kalau kita kenalan sama senior aja? Kakak-kakak yang approachable lagi pada nongkrong di depan koperasi!"

"Boleh, gue masih kurang delapan orang lagi hehe."

"Ikut gue aja. Gue jamin semua target lo bakal beres!"

Setelah beberapa sesi, mereka kini sedang mengobrol dengan seorang kakak kelas bernama Natasha alias Sasa, yang merupakan senior keempatbelas yang diwawancara oleh kumpulan yang sedang bersama Nadine dan Windy. 

"Kalian udah ada bayangan mau ikut ekskul apa?" tanya Kak Sasa ke kerumunan anak baru yang duduk melingkar sekelilingnya. 

Semua anak menjawab satu-persatu termasuk akhirnya Nadine, yang menjawab bulu tangkis, dan Windy yang menjawab jurnalistik dan lingkar literatur. 

"Oh, kamu pasti suka baca terus anaknya kreatif, ya? Pas banget ini ketua ekskul jurnal ada disini nih!" ia menepuk paha teman cewek di sebelahnya dengan akrab. "Ini Dian!"

Windy tersenyum dan melambai kecil dikenalkan seperti itu. 

"Ketua ekskulnya cuma sampe akhir semester ini. Bentar lagi kan mesti fokus ujian akhir sama tes-tes penerimaan universitas." ujarnya ramah. Suaranya terdengar rendah namun lembut. Entah kenapa suara itu terdengar familier di telinga Windy. Membuatnya mengeruk memorinya.  "Nanti dateng ya ke stand kita kalau mau daftar er... kamu siapa namanya?"

"Windy, kak." ia menyahut. 

"Nah, sekarang gantian-gantian, ayo tanya-tanya ke Kak Dian. Eh ada yang belum? Ayo sini, sini kenalan sama aku." ujar Kak Sasa ramah. Lalu kerumunan itu pun terbelah. 


Sekitar pukul 2.30, para murid sudah dikumpulkan di aula untuk persiapan tugas akhir. Dua kelompok pertama dibuka dengan penampilan seni, lalu dilanjutkan oleh kelompok karya ilmiah sampai habis dan ditutup dengan penampilan pentas seni kembali. Hal ini diatur demikian barangkali biar ada ice breaking sebelum serius namun ditutup oleh sesuatu yang ringan dan menyenangkan. 

Ada yang sudah presentasi tentang komposisi murid cewek dan cowok di angkatan sampai mapping lokasi rumah, ada yang tentang tanggapan terhadap kokologi, psikotes, dan edukasi seks. Ada yang mengenai pemahaman terhadap nilai-nilai sekolah, dan sebagainya. Lalu sudah ada tampilan seni dari drama, beatbox, trend joged TikTok, stand-up comedy, ala-ala talkshow. Sampai tibalah di kelompok Windy. Kelompok Windy kayaknya bakal paling gado-gado. Tipe kelompok yang pingin melakukan semua dan memasukan aspek-aspek yang dirasa ngetrend dan menghibur tapi pasti bukan yang paling berkesan. 

Sesuai celetukan candaan di awal, kelompok mereka masuk dengan qasidahan dan berjoged-joged dengan lagu habibie. Semuanya memakai turban dan kumis palsu. Usai joged mereka melakukan sketch comedy dimana ternyata salah satu penari yaitu Koplo kehilangan kumisnya dan ingin menjajah kumis-kumis penari lain. Lalu jadilah adegan detektif mencari kumis Koplo yang sebenarnya yang ditutup dengan joged TikTok. 

Meski garing, teman-teman seangkatannya cukup kooperatif untuk tertawa di adegan tertentu dan bertepuk tangan cukup meriah. Akhirnya, masa orientasi selesai juga! Besok adalah waktunya untuk masuk kelas~~~


Oh, oh siapa dia?

Wisnu, Windy, dan Dua Cangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang